"Adalah lebih baik bagi orang itu sekiranya ia tidak dilahirkan." (Yes 50:4-9a; Mzm 69:9-10.31.33-34; Mat 26:14-25)

"Kemudian pergilah seorang dari kedua belas murid itu, yang bernama Yudas Iskariot, kepada imam-imam kepala. Ia berkata: "Apa yang hendak kamu berikan kepadaku, supaya aku menyerahkan Dia kepada kamu?" Mereka membayar tiga puluh uang perak kepadanya. Dan mulai saat itu ia mencari kesempatan yang baik untuk menyerahkan Yesus. Pada hari pertama dari hari raya Roti Tidak Beragi datanglah murid-murid Yesus kepada-Nya dan berkata: "Di mana Engkau kehendaki kami mempersiapkan perjamuan Paskah bagi-Mu?" Jawab Yesus: "Pergilah ke kota kepada si Anu dan katakan kepadanya: Pesan Guru: waktu-Ku hampir tiba; di dalam rumahmulah Aku mau merayakan Paskah bersama-sama dengan murid-murid-Ku." Lalu murid-murid-Nya melakukan seperti yang ditugaskan Yesus kepada mereka dan mempersiapkan Paskah. Setelah hari malam, Yesus duduk makan bersama-sama dengan kedua belas murid itu. Dan ketika mereka sedang makan, Ia berkata: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya seorang di antara kamu akan menyerahkan Aku." Dan dengan hati yang sangat sedih berkatalah mereka seorang demi seorang kepada-Nya: "Bukan aku, ya Tuhan?" Ia menjawab: "Dia yang bersama-sama dengan Aku mencelupkan tangannya ke dalam pinggan ini, dialah yang akan menyerahkan Aku. Anak Manusia memang akan pergi sesuai dengan yang ada tertulis tentang Dia, akan tetapi celakalah orang yang olehnya Anak Manusia itu diserahkan. Adalah lebih baik bagi orang itu sekiranya ia tidak dilahirkan."Yudas, yang hendak menyerahkan Dia itu menjawab, katanya: "Bukan aku, ya Rabi?" Kata Yesus kepadanya: "Engkau telah mengatakannya." (Mat 26:14-25), demikian kutipan Warta Gembira hari ini.

Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:

• Secara manusiawi kiranya sangat berat bagi Yesus bahwa Ia harus mempersembahkan diri dengan wafat di kayu salib, maka tentang Yudas Ia bersabda "Adalah lebih baik bagi orang itu sekiranya ia tidak dilahirkan" dan Ia mengajak makan bersama-sama dengan para rasul sebagai `perpisahan'. "Ilang-ilangan endhog siji" (=kehilangan satu telor), demikian ungkapan kekecewaan yang sering muncul dari orangtua ketika salah satu anaknya terpanggil untuk menjadi imam, bruder atau suster. Marilah kisah dalam Warta Gembira hari ini kita sikapi secara positif dengan merenungkan "Anak Manusia memang akan pergi sesuai dengan yang ada tertulis tentang Dia". Ia datang dan lahir sebagai manusia untuk melaksanakan tugas pengutusan, karya penyelamatan dunia dan untuk itu Ia harus menderita dan wafat di kayu salib. Kami berharap kita semua setia menghayati panggilan kita masing-masing, entah panggilan hidup berkeluarga atau membujang dengan menjadi imam, bruder atau suster, dan untuk itu meskipun berat harus siap sedia untuk menderita dan berkorban demi keselamatan orang lain. Kiranya juga tidak salah jika sewaktu-waktu kita merasa kesal seperti Yesus
secara manusiawi.

"Tuhan ALLAH telah memberikan kepadaku lidah seorang murid, supaya dengan perkataan aku dapat memberi semangat baru kepada orang yang letih lesu. Setiap pagi Ia mempertajam pendengaranku untuk mendengar seperti seorang murid.Tuhan ALLAH telah membuka telingaku, dan aku tidak memberontak, tidak berpaling ke belakang" (Yes 50:4-5), demikian kesaksian iman nabi Yesaya. Sebagai orang beriman kita semua dipanggil untuk meneladan Yesaya. Hendaknya kata-kata yang keluar dari mulut kita senantiasa `memberi semangat baru kepada orang yang letih lesu' dan untuk itu antara lain kita harus `mempertajam pendengaran-ku untuk mendengar seperti seorang murid Tuhan Allah'. Kita dengarkan, tanam dalam hati dan hayati kehendak dan firman Tuhan Allah, sehingga kita dikuasai atau dirajai oleh Allah, hidup bersama dan bersatu dengan Allah. Bersama dan bersatu dengan Allah kita tak akan `berpaling ke belakang' dalam menghayati panggilan atau melaksanakan aneka tugas pengutusan, maju terus pantang mundur, dan siap sedia untuk menjadi pahlawan penyelamatan jiwa manusia. Marilah kita sadari dan hayati bahwa tubuh kita terus berkembang tiada henti sampai mati, dan semoga demikian pula dengan hati, jiwa dan akal budi kita. Dengan kata lain marilah kita senantiasa siap sedia untuk berubah, tentu saja berubah menjadi lebih baik, mulia, luhur, suci, beriman, bermoral dan berbudi pekerti luhur. Marilah kita siapkan hati, budi, jiwa dan tubuh kita untuk memasuki Tri Hari Suci dalam
rangka mengenangkan wafat dan kebangkitan Tuhan Yesus, puncak iman kita. Marilah kita sungguh siap sedia memperbaharui janji-janji kita di hari Kamis Putih (bagi para imam dalam Perayaan Ekaristi Krisma bersama Uskup) dan malam Paskah (bagi kita semua yang telah dibaptis).

"Aku telah menjadi orang luar bagi saudara-saudaraku, orang asing bagi anak-anak ibuku; sebab cinta untuk rumah-Mu menghanguskan aku, dan kata-kata yang mencela Engkau telah menimpa aku. Aku akan memuji-muji nama Allah dengan nyanyian, mengagungkan Dia dengan nyanyian syukur; Lihatlah, hai orang-orang yang rendah hati, dan bersukacitalah; kamu yang mencari Allah, biarlah hatimu hidup kembali! Sebab TUHAN mendengarkan orang-orang miskin, dan tidak memandang hina orang-orang-Nya dalam tahanan" (Mzm 69:9-10.31.33-34)


Jakarta, 20 April 2011 .


Romo Ignatius Sumarya, SJ