HOMILI Sabtu-Minggu, 26-27 Maret 2011: Hari Minggu Prapaskah III

Bacaan I: Kel. 17:3–7
Mazmur : 95:1–2,6–7,8–9; R: 8
Bacaan II : Rm. 5:1–2,5–8
Bacaan Injil : Yoh. 4:5–42
(Yoh. 4:5–15,19b–26,39a,40–42)



"Tepat katamu, bahwa engkau tidak mempunyai suami, sebab engkau sudah mempunyai lima suami dan yang ada sekarang padamu, bukanlah suamimu. Dalam hal ini engkau berkata benar."


Pak Anton (samaran) adalah seorang guru sebuah yayasan pendidikan katolik milik Keuskupan yang mengelola cukup banyak sekolah bagi orang-orang miskin. Dengan demikian kiranya dapat dimengerti bahwa gaji atau imbal jasa guru di yayasan tersebut pas-pasan, sesuai dengan peraturan yang berlaku yaitu PGPS (Peraturan Gaji Pegawai Sipil). Gaji sesuai dengan PGPS di kota besar seperti Jakarta kiranya tidak menjanjikan untuk menjadi kaya. Pada suatu hari Anton memperoleh tawaran untuk bekerja disebuah yayasan yang kaya dengan gaji kurang lebih 3 kali dari gaji yang ia peroleh pada saat ini. Setelah berbicara dengan Direktur yayasan akhirnya Anton mengundurkan diri dari tempat dimana ia bekerja/mengajar dan pindah ke yayasan baru tersebut. Dengan gembira Anton bekerja di yayasan baru karena memperoleh gaji yang cukup besar. Namun seiring dengan perjalanan waktu Anton merasa tidak krasan bekerja di tempat yang baru tersebut, ia merasa suasana kerja tidak manusiawi. Maka ia berminat mengundurkan diri, tetapi mau kembali ke yayasan yang lama merasa malu. Ia mengundurkan diri dan kemudian pindah bekerja di sebuah perusahaan, bukan bidang pendidikan, dan ternyata di perusahaan tersebut ia hanya bertahan satu tahun dan pindah ke tempat kerja yang lain, dst.. Hampir setiap tahun Anton pindah tempat bekerja, maka pada suatu saat ia merasa kecewa dan lelah ketika melihat dan memperhatikan rekan-rekan guru di yayasan milik keuskupan yang ia tinggalkan: rekan-rekannya nampak hidup damai sejahtera dan tenang meskipun tidak kaya, sementara ia sendiri merasa bagaikan benalu yang tidak menentu masa depannya. Ya begitulah kisah pengalaman orang yang bermental materialistis dan tidak setia pada panggilan atau niat semula yang bagus dan indah, yaitu bekerja melayani anak-anak sebagai pendidik atau guru. Ia bekerja tidak sesuai dengan bakat atau kemampuan yang ada padanya melainkan serakah mengikuti nafsu materialistisnya. Memang setia pada tugas atau panggilan utama atau pokok sarat dengan tantangan dan godaan, sehingga dengan mudah orang menyeleweng, bagaikan perempuan Samaria yang bergonta-ganti suami, sebagaimana dikisahkan dalam Warta Gembira hari ini, merasa selalu ‘haus’ dalam hidupnya.



“Kata perempuan itu kepada-Nya: "Tuhan, berikanlah aku air itu, supaya aku tidak haus dan tidak usah datang lagi ke sini untuk menimba air."Kata Yesus kepadanya: "Pergilah, panggillah suamimu dan datang ke sini."Kata perempuan itu: "Aku tidak mempunyai suami." Kata Yesus kepadanya: "Tepat katamu, bahwa engkau tidak mempunyai suami,sebab engkau sudah mempunyai lima suami dan yang ada sekarang padamu, bukanlah suamimu. Dalam hal ini engkau berkata benar” (Yoh4:15-18)



“Pergilah, panggillah suamimu dan datang ke sini, jika engkau ingin tidak haus lagi”, demikian sabda Yesus kepada perempuan Samaria yang sudah mempunyai lima suami. Perempuan itupun menjawab bahwa ia tidak bersuami lagi, dan memang yang ada sekarang bukan suaminya melainkan ‘simpanan’nya. “Panggillah suamimu” berarti kembalilah pada tugas, panggilan atau pekerjaan utama/ pokok serta tinggalkan tugas dan pekerjaan sampingan sebagai pelarian tanggungjawab atau pemuasan pribadi sesaat. Memang setia pada tugas, panggilan atau pekerjaan utama/pokok sering harus menghadapi aneka tantangan dan masalah yang menuntut pengorbanan dan perjuangan.



Kita semua kiranya mendambakan hidup bahagia, damai sejahtera sejati, maka marilah kita setia pada tugas, panggilan dan pekerjaan utama kita; setia pada janji-janji yang pernah kita ikrarkan ketika memasuki atau memeluk tugas, panggilan dan pekerjaan tersebut. Segala macam bentuk penyelewengan atau ketidaksetiaan pada tugas, panggilan dan pekerjaan utama akan membawa orang ke ketidak-puasan serta hidup kering, gersang, tidak damai dan tenteram. Maka baiklah siapapun yang telah menyeleweng atau tidak setia kami ajak untuk ‘back to basic’, kembali ke tugas, panggilan dan pekerjaan semula, yang utama dan pokok. Para suami-isteri hendaknya setia pada pasangannya masing-masing serta tidak tergoda untuk menyeleweng, para imam, bruder atau suster hendaknya setia pada janji imamat maupun kaul-kaulnya, para pelajar atau mahasiswa setia pada tugas belajar, para pekerja atau pegawai setia pada tugas dan tidak bercengkerama atau omong-omong selama waktu kerja/dinas dst… Yang tidak kalah penting kiranya masalah korupsi, maka kami berharap para pegawai, pekerja atau pejabat tidak korupsi; para pembuat proyek tidak membuat mark-up. Rasanya godaan paling kuat untuk menyeleweng adalah dalam hal keuangan, anggaran belanja atau pendapatan, maka hendaknya jujur dan transparan dalam hal pengelolaan uang, Jika orang tidak mampu mengurus apa yang kelihatan: harta benda atau uang apalagi mengurus yang tidak kelihatan yaitu hal-hal spiritual. Marilah kita renungkan sapaan Paulus kepada umat di Roma di bawah ini.



“Sebab itu, kita yang dibenarkan karena iman, kita hidup dalam damai sejahtera dengan Allah oleh karena Tuhan kita, Yesus Kristus.Oleh Dia kita juga beroleh jalan masuk oleh iman kepada kasih karunia ini. Di dalam kasih karunia ini kita berdiri dan kita bermegah dalam pengharapan akan menerima kemuliaan Allah.” (Rm5:1-2)



Kita semua telah menerima anugerah iman dan kasih karunia dari Allah serta ‘jalan’ atau pengharapan akan menerima kemuliaan Allah. Hendaknya anugerah, kasih karunia dan pengharapan tersebut jangan disia-siakan, dan marilah kita hayati atau wujudkan dalam cara hidup dan cara bertindak kita setiap hari sesuai dengan tugas pekerjaan dan panggilan kita masing-masing. Beriman berarti mempersembahkan diri seutuhnya kepada Tuhan dan secara konkret senantiasa melaksanakan kehendak Tuhan di dalam hidup sehari-hari.



Sesuai dengan tugas perutusan atau panggilan kita masing-masing, kita diutus untuk melakukan sesuatu dan percayalah bahwa jika Tuhan mengutus Ia juga menganugerahi kasih karunia atau kekuatan untuk melaksanakan tugas perutusan tersebut. Secara umum kita semua diutus untuk setia pada panggilan dan tugas perutusan yang memang dalam penghayatan konkret akan menghadapi aneka tantangan dan masalah, maka hadapilah tantangan dan masalah tersebut dengan atau bersama kasih karunia Tuhan, sehingga kita tetap bergairah atau penuh pengharapan dalam menghadapi tantangan dan hambatan. Tantangan dan hambatan yang lahir dari kesetiaan atas panggilan dan tugas perutusan adalah jalan menuju kemuliaan Allah yang akan dianugerahkan kepada kita, ‘penderitaan dan salib’ menuju ke kebangkitan dan hidup menurut Roh Kudus. Hadapilah aneka tantangan dan hambatan dengan gairah dan gembira alias penuh pengharapan, “pengharapan tidak mengecewakan, karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita.Karena waktu kita masih lemah, Kristus telah mati untuk kita orang-orang durhaka pada waktu yang ditentukan oleh Allah” (Rm5:5-6). Ketika dalam menghadapi tantangan dan hambatan merasa diri semakin lemah dan tak berdaya, bukalah hati, jiwa, akal budi dan tubuh anda akan kasih karunia Allah, dan biarkanlah kasih karunia-Nya bekerja di dalam kelamahan dan ketidak-berdayaan kita. Kita adalah orang-orang berdosa, lemah dan rapuh yang dipanggil Tuhan untuk berpartisipasi meneruskan atau mewartakan kasih karunia-Nya kepada sesama atau orang lain.



“Masuklah, marilah kita sujud menyembah, berlutut di hadapan TUHAN yang menjadikan kita.Sebab Dialah Allah kita, dan kitalah umat gembalaan-Nya dan kawanan domba tuntunan tangan-Nya. Pada hari ini, sekiranya kamu mendengar suara-Nya! Janganlah keraskan hatimu seperti di Meriba, seperti pada hari di Masa di padang gurun, pada waktu nenek moyangmu mencobai Aku, menguji Aku, padahal mereka melihat perbuatan-Ku” (Mzm95:6-9)



Jakarta,


Romo Ignatius Sumarya, SJ