Hakekat Perkawinan Kristiani: Kesatuan dan Kesetiaan

Perkawinan merupakan kesepakatan (Lat. “concensus”, “foedus”, “contractus”) antara seorang pria dan wanita untuk membentuk kebersamaan seluruh hidup (GS, art. 52 & 48: bdk. KHK Kan, 1056). Kesepakatan ini bersifat tetap dan berlaku untuk setiap bentuk perkawinan, khususnya perkawinan kristiani. Sifat hakiki perkawinan kristiani adalah monogam (satu) dan indissolubilitas (tak terceraikan).

Perkawinan selalu bersifat monogam. Artinya, perkawinan merupakan kesepakatan dan ikatan perjanjian antara seorang pria dan seorang wanita. Dasar kesatuan perkawinan adalah pencipataan Allah sendiri. Dalam kisah penciptaan digambarkan bahwa Allah menciptakan seorang pria dan seorang wanita menurut gambar-Nya (Kej 1:26-30). Mereka akan bersatu menjadi satu daging (Kej 2:24). Satu daging dipahami sebagai kebersatuan yang total dan integral, menyeluruh menyangkut kehidupan seutuhnya. Dengan demikian, sifat monogam itu mendapat pendasaran yang amat kokoh pada kehendak Allah sendiri. Allah menghendaki perkawinan satu dengan satu, dan sifat monogam itu berlaku untuk setiap bentuk perkawinan. Demikian juga dalam Perjanjian Baru, kesatuan suami-istri tetap mendapatkan perhatian lebih. Dasar dan sumber kesatuan itu adalah kesatuan Kristus dengan Gereja-Nya yang tak pernah tergoyahkan (Ef 5:22-33). Suami-istri kristiani yang mengimani Yesus Kristus berpola dan bersumber pada kebersatuan antara Yesus dengan Gereja-Nya.

Demikian juga hubungan suami-istri yang dipersatukan dalam ikatan perkawinan berlaku untuk seumur hidup. Sifat ini menunjuk pada ketakterceraikannya perkawinan (indissolubilitas). Sifat tak terceraikan didasar-kan pada ajaran Yesus sendiri yang mengacu kepada Kej 1:27 dan Kej 2:24, “Allah menciptakan pria dan wanita...dan menghendaki hubungan mereka menjadi lembaga suci yang utuh dan tak terceraikan” (bdk. Mat 19:6; Mrk 1:2-12).