Apa ciri-ciri perkawinan Kristiani (Katolik)?

Perkawinan Kristiani menandakan cinta kasih Kristus dengan Gereja-Nya.

Hubungan cintakasih Kristus dan Gereja-Nya yang ditandakan dan menjadi model hubungan cintakasih suami-istri itu sifatnya tunggal (monogam), setia (tidak dapat diceraikan), dan subur.

Tunggal (monogam):
Kristus selalu cinta kepada Gereja-Nya dan Kristus menuntut Gereja-Nya untuk tetap dalam cinta-Nya yang tunggal dan utuh. Maka hubungan suami-istri sifatnya juga harus tunggal (monogam).

Secara konkret dapat dikatakan bahwa suami/istri tidak mempunyai suami/istri lain, tidak mempunyai suami/istri simpanan, tidak mempunyai hubungan seks dengan orang lain (selingkuh), dan semacamnya.

“...hendaklah kamu bersungguh-sungguh saling mengasihi dengan segenap hatimu.” (1 Ptr 1:22)

“...sebab laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu.” (Mrk 10:7-8)

Perkawinan bersifat tunggal telah ditunjukkan sejak awal, melalui Kitab Kejadian bab 1 dan 2. sebelum terjadi dosa, suami-istri pertama (Adam dan Hawa) menjadi model bagi perkawinan selanjutnya.

Setia (tidak dapat diceraikan):
Kristus tidak akan pernah meninggalkan Gereja-Nya. Roh Kudus diutus untuk menemani dan membimbing Gereja. Kristus pun menuntut kesetiaan Gereja-Nya. Dan berkat Roh Kudus, Gereja dianugerahi rahmat kesetiaan. Maka cintakasih suami-istri pun sifatnya harus setia, tidak dapat diceraikan.

“Bukan nafsu birahi sekarang kuambil saudaraku ini, melainkan dengan hati benar. Sudilah kiranya mengasihi aku ini dan dia serta membuat kami menjadi tua bersama.” (Tobit 8:7)

“Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” (Mat 19:6)

“Dan janganlah orang tidak setia terhadap istri dari masa mudanya. Sebab Aku membenci perceraian, sabda Tuhan....” (Mal 2:15b-16a)

“Kepada orang yang telah kawin, aku – tidak, bukan aku, tetapi Tuhan – perintahkan supaya seorang istri tidak boleh menceraikan suami... dan seorang suami tidak boleh menceraikan istrinya.” (1Kor 7:10-11)

Subur
Dalam cinta-Nya kepada Gereja, Kristus mencurahkan rahmat-Nya yang berlimpah, sehingga membuat Gereja-Nya subur (berkembang) dari waktu ke waktu. Maka, hubungan suami-istri pun harus bersifat subur.

Subur secara rohani: semakin menumbuhkan kebersamaan suami-istri, cinta suami-istri semakin mendalam dan murni, serta suami-istri semakin berkembang dalam cintanya kepada Tuhan.

Subur secara jasmani: bahwa perkawinan dan cinta suami-istri dari kodratnya diarahkan (terbuka) untuk mengadakan dan mendidik anak. “Beranak-cuculah dan bertambah banyak....” (Kej 1:28)

Sumber: Bina Iman - Sakramen Perkawinan, F.X. Wibowo Ardhi, Kanisius, 1993