"Ia dengan keras melarang mereka memberitahukan siapa Dia." (Ibr 7:25-8:6; Mzm 40:7-10; Mrk 3:7-12)

"Kemudian Yesus dengan murid-murid-Nya menyingkir ke danau, dan banyak orang dari Galilea mengikuti-Nya. Juga dari Yudea, dari Yerusalem, dari Idumea, dari seberang Yordan, dan dari daerah Tirus dan Sidon datang banyak orang kepada-Nya, sesudah mereka mendengar segala yang dilakukan-Nya. Ia menyuruh murid-murid-Nya menyediakan sebuah perahu bagi-Nya karena orang banyak itu, supaya mereka jangan sampai menghimpit-Nya. Sebab Ia menyembuhkan banyak orang, sehingga semua penderita penyakit berdesak-desakan kepada-Nya hendak menjamah-Nya. Bilamana roh-roh jahat melihat Dia, mereka jatuh tersungkur di hadapan-Nya dan berteriak: "Engkaulah Anak Allah." Tetapi Ia dengan keras melarang mereka memberitahukan siapa Dia." (Mrk 3:7-12), demikian kutipan Warta Gembira hari ini.

Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:

· Dengan sukses Yesus melaksanakan tugas pengutusan-Nya, antara lain menyembuhkan banyak orang yang sedang menderita sakit, yang datang kepada-Nya dari segala penjuru. Ada kekhawatiran terjadi kesalah-fahaman dari mereka, jangan-jangan mereka hanya mempercayai Yesus sebagai manusia yang hebat, tidak sampai pada pemahaman sebagaimana disampaikan oleh roh-roh jahat kepada-Nya "Engkaulah Anak Allah". Teriakan roh-roh jahat tersebut di satu sisi memang benar, tetapi di sisi lain berbahaya bagi kebanyakan orang yang datang kepada-Nya untuk disembuhkan dari aneka macam penyakit, maklum mereka belum sampai mengimani bahwa Yesus adalah `Anak Allah': Manusia sekaligus Allah. Mengimani Yesus adalah Anak Allah memang merupakan misiteri atau dogma, dapat dihayati dengan baik namun sulit untuk dijelaskan secara `gamblang' dan difahami oleh akal sehat alias logis. Iman memang mengatasi logika dan iman dapat mendasari logika maka orang-orang yang pandai atau cerdas serta beriman pada umumnya rendah hati; semakin pandai atau cerdas semakin rendah hati, karena semakin mempelajari banyak hal semakin banyak yang tak diketahui. Maka orang yang demikian pada umumnya juga tidak vocal dalam kehidupan bersama, namun apa yang ia ketahui, pahami dan kuasa menjiwai cara hidup dan cara bertindak mereka, serta memfungsikan semuanya demi keselamatan atau kebahagiaan umum/bersama, terutama keselamatan atau kebahagiaan jiwa manusia. Orang yang sungguh cerdas dan beriman pada umumnya memang tak terpahami cara hidup dan cara bertindaknya bagi mereka yang tidak atau kurang beriman.

· "Ia sanggup juga menyelamatkan dengan sempurna semua orang yang oleh Dia datang kepada Allah. Sebab Ia hidup senantiasa untuk menjadi Pengantara mereka."(Ibr 7:25), demikian salah satu cirikhas imam agung. Hidup sebagai pengantara atau penyalur itulah jadi diri seorang imam. Namun sebagai orang beriman kita semua juga memiliki panggilan imamat umum, maka saya mengajak anda sekalian untuk merenungkan kutipan di atas. Hendaknya semua orang atau siapa saja yang mendatangi kita, segera kita selamatkan, artinya kita layani sebaik mungkin sehingga mereka sungguh berbahagia dan damai sejahtera, senang dan kerasan tinggal, hidup dan bekerja dengan kita. Segala sapaan, sentuhan, saran, kritik, tegoran atau perlakuan dari orang lain marilah kita tanggapi dan sikapi sebagai `tangan-tangan Allah' yang mengasihi dan memperhatikan kita, yang lemah dan rapuh ini. Kita hayati semuanya itu sebagai kasih karunia Allah yang kita terima melalui mereka yang telah berbuat baik kepada kita melalui aneka cara. Memang nasib sebagai pengantara atau penyalur antara lain harus berani dan siap sedia untuk menderita dan berkorban demi kebahagiaan umum/bersama. Pengantara atau penyalur bagaikan `leher', bagian anggota tubuh kita yang senantiasa siap sedia untuk dilewati namun tak mungkin menikmati serta tak pernah mengkorupsi atau mengambil sedikitpun apa yang melewatinya, entah itu makanan, minuman atau udara. Apa yang ia terima langsung diteruskan kepada mereka yang kemudian berhak menerimanya. Dengan kata lain penghayatan imamat umum kaum beriman dapat berupa hidup dan bertindak jujur, adil, rendah hati, tidak pernah korupsi atau menyakiti orang lain sedikitpun dst.. Keutamaan-keutamaan ini hendaknya sedini mungkin dibiasakan atau dididikkan pada anak-anak di dalam keluarga dengan teladan konkret dari orangtua/bapak-ibu. Marilah kita berantas aneka macam bentuk korupsi yang menyengsarakan banyak orang.



"Engkau tidak berkenan kepada korban sembelihan dan korban sajian, tetapi Engkau telah membuka telingaku; korban bakaran dan korban penghapus dosa tidak Engkau tuntut. Lalu aku berkata: "Sungguh, aku datang; dalam gulungan kitab ada tertulis tentang aku; aku suka melakukan kehendak-Mu, ya Allahku; Taurat-Mu ada dalam dadaku." Aku mengabarkan keadilan dalam jemaah yang besar; bahkan tidak kutahan bibirku, Engkau juga yang tahu, ya TUHAN" (Mzm 40:7-10)



Jakarta, 20 Januari 2011


Romo Ign Sumarya, SJ