Pernyataan Akhir & Rekomendasi Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) 2010



Ia Datang supaya Semua Memperoleh Hidup dalam Kelimpahan (bdk. Yoh 10:10)


PENGANTAR

1. Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) yang berlangsung dari tanggal 1 sampai dengan 5 November 2010 di Kinasih, Caringin – Bogor, Jawa Barat, dihadiri oleh utusan dari 37 keuskupan di Indonesia. Hadir 385 orang peserta, yang terdiri dari para Uskup, imam, biarawan-biarawati, dan sejumlah wakil umat. Sidang Agung ini bertema, Ia Datang supaya Semua Memperoleh Hidup dalam Kelimpahan (bdk. Yoh 10:10). Hidup dalam kelimpahan berarti ada dalam relasi dekat dengan Sang Gembala serta selalu merasakan perlindungan-Nya. Kedekatan dengan Sang Gembala itulah yang akan menjamin kehidupan manusia, dalam relasinya dengan sesama dan seluruh alam ciptaan.

2. Kami menyadari tema SAGKI ini diilhami pula oleh suatu perayaan iman Kongres Misi Asia I di Chiang Mai (Thailand, 2006) yang bertemakan, Telling the Story of Jesus in Asia. SAGKI ini merupakan suatu perayaan iman akan Yesus Kristus sekaligus kesempatan untuk berjumpa satu sama lain dan berbagi pengalaman iman dalam perjumpaan dengan keberagaman budaya, agama dan kepercayaan, serta dalam pergumulan hidup kaum terpinggirkan dan terabaikan.

3. SAGKI 2010 menegaskan pentingnya metode narasi (kisah) dalam pewartaan. Kami menyadari sepenuhnya bahwa dengan metode narasi (kisah) ini, pengalaman iman dapat disampaikan kepada orang lain secara lebih meyakinkan. Dengan cara mengisahkan Yesus, sebagaimana Ia sendiri berkisah, kami berharap diteguhkan dan digerakkan sebagai saksi Kristus. Sesungguhnya, metode narasi tidak asing dalam tradisi Asia, terutama Indonesia. Dalam metode bertutur para peserta SAGKI terlibat secara aktif mengungkapkan pengalaman dalam konteks bhinneka tunggal ika.

4. Seluruh proses SAGKI bertolak dari narasi publik. Para narator publik berkisah bukan saja dengan melaporkan apa yang dikerjakannya, melainkan juga dan terutama dengan pengalaman imannya. Sharing dalam kelompok yang menyusuli narasi publik pada prinsipnya merupakan ungkapan dan ajang berbagi pengalaman berkenaan dengan ketiga sub tema SAGKI 2010. Pada gilirannya hasil sharing kelompok itu dilaporkan dalam sidang pleno dan diperkaya dengan refleksi teologis.


HASIL


5. Sedemikian pentingnya makna paparan narator publik, berikut sharing dalam kelompok, yang masih diperkaya dalam pleno dan refleksi teologis, maka berikut ini akan dikemukakan rangkuman yang memuat sejumlah pokok gagasan terpenting dalam SAGKI. Kami menyadari bahwa rangkuman ini tidak memuat seluruh kekayaan Sidang ini. Aneka kisah dalam SAGKI masih akan terdokumentasikan dalam bentuk buku, video, dan foto. Kami yakin, para peserta SAGKI sendiri merupakan dokumen hidup yang terus menuturkan SAGKI ini.

6. Keberagaman budaya di Indonesia merupakan suatu kenyataan dan kekayaan yang patut kami syukuri. Dengan kebudayaan kami maksudkan segala sesuatu, dengan mana manusia mengasuh dan mengembangkan pelbagai bakat rohani dan jasmaninya, berupaya menguasai bumi dengan pengetahuan dan karyanya, lebih memanusiawikan kehidupan sosial, mengungkapkan melalui karya-karya, pengalaman-pengalaman rohani dan aspirasi-aspirasi besar sepanjang sejarah, serta mengkomunikasikannya dan memeliharanya sebagai inspirasi bagi kemajuan banyak orang, malah bagi seluruh umat manusia (bdk. Gaudium et Spes 53). Oleh karena itu, di dalam keragaman budaya, Allah hadir dan disapa dengan pelbagai macam nama. Kehadiran-Nya dikenali melalui orang dan unsur-unsur kebudayaan yang menghormati dan mencintai kehidupan. Kehadiran-Nya itu dimengerti oleh para pendukung setiap kebudayaan.

7. Gereja sebagai umat Allah yang percaya akan Yesus Kristus menampilkan sikap hormat dan kasih terhadap kebudayaan (bdk. Lumen Gentium 13). Gereja memperhatikan dan menjunjung tinggi setiap bentuk kebaikan, kasih persaudaraan dan kebenaran yang terdapat dalam kebudayaan. Gereja pun mengungkapkan diri dalam unsur-unsur kebudayaan setelah dilakukan refleksi teologis yang sesuai dengan Injil, tradisi, dan magisterium. Dalam perjumpaan dengan kebudayaan setempat, Gereja diperbarui dan sekaligus memperbarui beberapa unsur kebudayaan dengan kekuatan Injil.

8. Gereja mengakui bahwa Allah telah menyatakan karya-karya agung melalui pelbagai peristiwa keselamatan yang dituturkan dari generasi ke generasi lain. Dalam pertemuan dengan kebudayaan, Gereja ternyata mengenali aneka wajah Yesus, sebagai gembala yang baik, inspirator, guru, pengampun, raja damai, dan terutama pengasih tanpa batas dan syarat.

9. Dalam pelbagai kisah mengenai dialog dengan agama dan kepercayaan, para peserta SAGKI ternyata menyadari bahwa Gereja mampu menemukan nilai-nilai injili yang dihidupi oleh para penganut agama dan kepercayaan. Maka, Gereja perlu keluar dari dirinya sendiri, menjumpai para pemeluk agama dan penganut kepercayaan, sebagaimana yang diperlihatkan dan diajarkan oleh Yesus yang berani terbuka dan mengambil inisiatif untuk menyeberangi batas-batas agama – budaya (bdk. Yoh 4). Melalui perjumpaan tersebut, Gereja ditantang untuk menilai kembali pemahaman imannya akan Yesus Kristus. Kecuali itu, gambaran Gereja tentang Yesus juga diteguhkan.

10. Gereja mendengarkan ajakan Yesus untuk dengan rendah hati belajar beriman dari setiap orang yang beragama dan berkepercayaan (bdk. Mat 8: 10; Luk 7: 9). Gereja disadarkan akan pentingnya mewujudkan iman yang mendalam akan Kristus dalam tindakan-tindakan kemanusiaan dan mengungkapkannya dalam ibadat. Dengan belajar dari Yesus yang berwajah lembut, penuh empati, dan pendoa, Gereja mengembangkan kerja sama dengan semua orang yang berkehendak baik yang berasal dari pelbagai agama dan kepercayaan untuk mengembangkan dialog dan aksi-aksi kemanusiaan demi terwujudnya perdamaian (bdk. Mat 9: 13).

11. Sementara itu, kisah-kisah pergumulan hidup kaum terpinggirkan dan terabaikan menyadarkan para peserta SAGKI bahwa Gereja harus mengakui proses pemiskinan merupakan pencideraan manusia yang adalah citra Allah yang luhur, mulia, dan kudus (bdk. Kej 1:26-27). Hidup dalam kemiskinan sesungguhnya merupakan keadaan serba terbatas dalam sandang, pangan, papan, dan kehilangan akses terhadap hak-hak dasar. Gereja memandang pribadi si miskin sebagai “pewahyu” wajah Yesus yang sedang menderita, yang terluka, tabah, menangis, karena Yesus hadir dalam dirinya yang miskin, menderita, tertekan dan susah (bdk. Mat 25: 31-46).

12. Meneladani Yesus, Sang Penyelamat, Pembebas, Penolong, Pembawa Harapan, Gereja wajib solider dengan orang miskin. Solidaritas itu dinyatakan melalui keberpihakan dan pemberdayaan orang miskin, tindakan berbagi serta keterlibatan secara aktif dalam memperbaiki struktur atau sistem yang tidak adil, dan memelihara lingkungan hidup.


REKOMENDASI

13. Setelah pengayaan melalui proses narasi publik, sharing kelompok, pleno, dan refleksi teologis, kami sampai pada sejumlah rekomendasi berikut ini, yang merupakan misi perutusan Gereja agar seluruh keuskupan menanggapinya dalam program keuskupan.

13.1. Kami berkomitmen untuk melanjutkan dialog dengan kebudayaan setempat supaya kami semakin mampu mengenali dan menghadirkan wajah Yesus dalam kebudayaan.

13.2. Kami juga berkomitmen untuk menciptakan model-model baru dalam pewartaan dan katekese dengan metode naratif serta menggunakan pelbagai bentuk kesenian.

13.3. Tidak kurang juga komitmen kami untuk mengembangkan katekese naratif bagi anak-anak, yang sesuai dengan zaman, tempat dan budaya.

13.4. Kami akan meneruskan dan meningkatkan kerja sama dan dialog antar-umat beragama yang sudah dilaksanakan oleh Gereja di setiap tingkatan.

13.5. Kami merasa wajib mengembangkan sikap rela merendahkan diri dengan telinga seorang murid yang selalu siap mendengarkan.

13.6. Kami bertekad mengedepankan pewartaan lewat kesaksian hidup dan melakukan aksi-aksi kemanusiaan baik secara pribadi (orang per orangan), Gereja sendiri sebagai komunitas beriman maupun dalam kerja sama dengan pelbagai lembaga untuk memerdekakan orang miskin dari cengkeraman kemiskinan dan peminggiran.

13.7. Kami berkomitmen untuk menghidupi spiritualitas yang memerdekakan. Untuk itu diperlukan pertobatan hati yang mendalam dan diwujudkan secara nyata dalam aksi solidaritas. Para petani, nelayan, buruh, kelompok terabaikan, dan terpinggirkan perlu didampingi secara pastoral. Tidak kalah pentingnya, kami memelihara lingkungan hidup.


PENUTUP


14. Pada akhirnya, kami semakin diteguhkan bahwa kesaksian kami untuk menghadirkan Kristus di tengah masyarakat dapat terjadi secara efektif melalui komunitas-komunitas basis gerejawi. Kami percaya bahwa Roh Kudus membimbing dan menyertai Gereja dalam upaya mengenali dan mencintai wajah Yesus dalam keanekaragaman budaya, dalam dialog dengan agama dan kepercayaan, dan dalam pergumulannya dengan dan bersama orang-orang yang dipinggirkan dan diabaikan. Dan sebagaimana Maria selalu menyertai Puteranya, kami yakin bahwa Bunda Maria menyertai dan mendoakan kami.



Caringin, 5 November 2010

Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia


Untuk liputan selengkapnya silakan click:

http://pujasumarta.multiply.com/journal/item/280/SIDANG_AGUNG_GEREJA_KATOLIK_INDONESIA_2010_7

"Sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja" (Tit 1:1-9; Mzm 24:1-5; Luk 17:1-6)


"Yesus berkata kepada murid-murid-Nya: "Tidak mungkin tidak akan ada penyesatan, tetapi celakalah orang yang mengadakannya. Adalah lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya, lalu ia dilemparkan ke dalam laut, dari pada menyesatkan salah satu dari orang-orang yang lemah ini. Jagalah dirimu! Jikalau saudaramu berbuat dosa, tegorlah dia, dan jikalau ia menyesal, ampunilah dia. Bahkan jikalau ia berbuat dosa terhadap engkau tujuh kali sehari dan tujuh kali ia kembali kepadamu dan berkata: Aku menyesal, engkau harus mengampuni dia." Lalu kata rasul-rasul itu kepada Tuhan: "Tambahkanlah iman kami!" Jawab Tuhan: "Kalau sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja, kamu dapat berkata kepada pohon ara ini: Terbantunlah engkau dan tertanamlah di dalam laut, dan ia akan taat kepadamu." (Luk 17:1-6), demikian kutipan Warta Gembira hari ini.

Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:

• Orang yang tidak atau kurang beriman memang dapat menjadi batu sandungan bagi orang lain atau penyesatan, sebaliknya orang yang sungguh beriman menumbuhkan, membangkitkan dan meneguhkan mereka yang lemah lesu dan tak bergairah dalam kehidupan. "Kalau sekiranya kamu mempunyai iman sebesar bidi sesawi saja, kamu dapat berkata kepada pohon ara ini: Terbantunlah engkau dan tertanamlah di dalam laut, dan ia akan taat kepadamu", demikian sabda Yesus. Maka sebagai orang-orang beriman marilah kita mawas diri: sejauh mana cara hidup dan cara bertindak kita dijiwai oleh iman, sehingga segala sesuatu yang baik yang kita dambakan senantiasa menjadi kenyataan alias terwujud, kita senantiasa sukses atau berhasil dalam tugas pengutusan atau pekerjaan kita masing-masing. Jika kita memiliki dambaan, cita-cita atau harapan yang indah, baik dan mulia, hendaknya hal itu dijiwai oleh iman. Dambaan, cita-cita atau harapan tersebut kita pikirkan sungguh-sungguh dan kemudian kita komunikasikan kepada orang lain, sehingga apa yang kita pikirkan tersebut mempengaruhi jaringan syaraf dan otot kita untuk mewujudkannya. Dengan ini kami berseru kepada mereka yang merasa dalam penderitaan atau kesengsaraan: milikilah iman dan sekecil apapun iman anda teguhkan dengan harapan dan kasih, sehingga anda akan memperoleh jalan untuk melepaskan diri dari penderitaan atau kesengsaraan. Meneguhkan dengan harapan dan kasih berarti dalam penderitaan atau kesengsaraan tetap bergairah dalam menghayati panggilan atau melaksanakan tugas pengutusan, bekerja keras melaksanakan apa yang menjadi tugas atau pekerjaannya.

"Sebagai pengatur rumah Allah seorang penilik jemaat harus tidak bercacat, tidak angkuh, bukan pemberang, bukan peminum, bukan pemarah, tidak serakah, melainkan suka memberi tumpangan, suka akan yang baik, bijaksana, adil, saleh, dapat menguasai diri dan berpegang kepada perkataan yang benar, yang sesuai dengan ajaran yang sehat, supaya ia sanggup menasihati orang berdasarkan ajaran itu dan sanggup meyakinkan penentang-penentangnya" (Tit 1:7-9). Kutipan ini kiranya baik menjadi permenungan, refleksi atau pedoman hidup bagi para pengurus paguyuban umat Allah atau umat beriman, seperti pastor/pendeta/kyai, pengurus dewan paroki/jemaat/masjid, para ketua lingkungan/stasi/wilayah, dst.. Memang kemungkinan jarang ada pribadi yang seideal seperti diungkapkan oleh Paulus kepada Titus di atas ini, namun demikian kami berharap marilah saling membantu dan mengingatkan sebagai sesama `penilik jemaat' dalam rangka mengusahakan cara hidup dan cara bertindak sebagaimana diharapkan tersebut. Satu hal yang mungkin baik saya angkat di sini yaitu perihal pentingnya berkata benar sesuai dengan ajaran yang sehat, maklum apa yang dikatakan oleh para `penilik jemaat' pada umumnya disegani atau ditaati oleh jemaat. Maka kami berharap kepada para `penilik jemaat' untuk tidak berhenti mendidik, membina dan mengembangkan diri sendiri sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman. Salah satu kunci untuk mengetahui apakah apa yang kita katakan sesuai dengan ajaran sehat adalah yang kita katakan menambah keimanan, harapan dan cintakasih para pendengar. Mereka yang mendengarkan perkataan kita semakin beriman, semakin bergairah dan dinamis dan semakin berkasih-kasihan dalam hidup sehari-hari. Kami berharap kepada seluruh umat Allah atau jemaat: hendaknya tidak takut mengingatkan atau menegor para penilik jemaat yang cara hidup serta cara bertindaknya tidak sesuai seperti yang diharapkan oleh Paulus di atas.

"TUHANlah yang empunya bumi serta segala isinya, dan dunia serta yang diam di dalamnya. Sebab Dialah yang mendasarkannya di atas lautan dan menegakkannya di atas sungai-sungai. "Siapakah yang boleh naik ke atas gunung TUHAN? Siapakah yang boleh berdiri di tempat-Nya yang kudus?""Orang yang bersih tangannya dan murni hatinya, yang tidak menyerahkan dirinya kepada penipuan, dan yang tidak bersumpah palsu. Dialah yang akan menerima berkat dari TUHAN dan keadilan dari Allah yang menyelamatkan dia" (Mzm 24:1-5).


Jakarta, 8 November 2010



Romo. Ign. Sumarya, SJ.

Rakyat Tulus Berbagi

Hampir sepekan Mulyadi (52), warga Desa Winong, Kecamatan Boyolali Kota, Jawa Tengah, ini berbagi ruang dengan para pengungsi. Ia menyediakan rumahnya yang ”hanya” memiliki empat kamar untuk sekitar 125 pengungsi bencana Merapi asal Kecamatan Selo dan Cepogo, Boyolali.

Upaya Mulyadi membantu para pengungsi tak berhenti di situ. Bersama tiga tetangganya, yang juga menyediakan rumahnya, saban hari ia menyiapkan makanan bagi sekitar 250 orang pengungsi. Sabtu (6/11/2010) pagi, rumah Pak Guru, panggilan Mulyadi, mulai dari teras, ruang tamu, ruang belakang, hingga kamar tidur penuh dengan para pengungsi.

Karena menampung begitu banyak pengungsi, rumah seukuran 250 meter persegi itu menjadi ”milik” bersama. Mulyadi harus siap hidup berdampingan dengan orang lain, yang tadinya tidak pernah ia kenal.

Sudah pasti risikonya, ia juga harus siap dengan sejumlah perbedaan kebiasaan. Walau kemudian gagang pintu kamar mandinya serta keran dispensernya rusak, Mulyadi menyikapinya dengan ikhlas.

”Ya, namanya juga dari gunung, saya maklum saja, ha-ha-ha,” tutur Mulyadi.

Tak perlu kenal untuk saling berbagi. Itulah yang mendorong mantan guru ini menyediakan rumahnya sebagai tempat pengungsian. ”Saya senang bisa berguna buat orang lain,” katanya.

Perasaan senasib juga sering kali mendorong sikap toleran dan kebutuhan untuk saling membantu. Di antara sesama pengungsi pun solidaritas menggema di mana-mana. Ketika diminta mengungsi, Narti (42), warga Dusun Kopeng, Desa Kepuhan, Sawangan, Magelang, Jawa Tengah, sedang berada di ladang.

Oleh sebab itu, ia hanya sempat membawa sebuah selimut. ”Saat ngungsi, selimut satu kami pakai bersama,” katanya. Bahkan, para pengungsi di Gedung Koperasi Republik Indonesia, Kecamatan Borobodur, yang jumlahnya mencapai 150 orang ini, juga menggunakan sabun mandi secara bersama-sama.

Seorang perempuan bernama Jumini (30), yang mengungsi terpisah dengan suaminya, sering kali merasa terharu. Warga Desa Paten, Kecamatan Dukun, Magelang, ini berterima kasih kepada sesama pengungsi lantaran mereka setiap kali menyuapi Kiki (3), anaknya. ”Di pengungsian, Kiki jadi anak bagi banyak orang,” tutur Jumini sambil menyeka air matanya yang meleleh sampai pipinya.

Biskuit

Sikap berbagi juga ditunjukkan oleh para anak. Lihatlah Kuat (7), bocah pengungsi asal Dukuh Gowoksabrang, Desa Sengi, Kecamatan Dukun, Magelang. Kuat yang sedang ditampung di tempat pengungsian sementara Palbapang, Muntilan, bersama Eni (45), ibunya, tiba-tiba membagi biskuit kepada seorang anak yang sedang menangis dalam gendongan ibunya.

”Baru kali ini dia mau memberikan jajan miliknya kepada orang lain. Kuat biasanya selalu menyimpan makanannya sendiri,” tutur Eni.

Di tempat pengungsian sementara di Pabrik Kertas Blabak, Magelang, Sani (45) membagikan puluhan ikat kedelai kepada beberapa pengungsi. Kedelai rebus itu berasal dari ladangnya sendiri di Desa Kapuhan, Kecamatan Sawangan, kira-kira 13 kilometer dari tempat pengungsian. Sani bersama beberapa orang sengaja kembali ke desanya untuk memanen kedelai yang kemudian ia bagi kepada sesama pengungsi.

”Kami baru kenal di pengungsian. Karena banyak yang tidak kebagian jatah makan, saya kembali ke desa untuk memanen kedelai,” kata Sani. Ia tahu, kembali ke desa berarti menempuh risiko karena Desa Kapuhan termasuk dalam zona berbahaya.

Kampus

Solidaritas juga terlihat demikian kuat di kalangan kampus. Saat Merapi meletus pada Jumat (5/11/2010) dini hari, beberapa universitas di Yogyakarta meliburkan perkuliahan dan menyerukan kepada mahasiswa mereka untuk menjadi relawan. Selain itu, beberapa universitas menyiapkan kampus mereka sebagai tempat penampungan para pengungsi.

Di Gelanggang Olahraga (GOR) Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) kini ditampung tak kurang dari 590 pengungsi yang sebagian besar berasal dari Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, DI Yogyakarta. Saat mendapat instruksi untuk menampung para pengungsi, para mahasiswa bahu-membahu menyiapkan ruangan.

”Kami khusus mencari warga Hargobinangun agar mereka bisa berkumpul bersama keluarganya,” tutur Humas Posko Merapi UNY Akhmada Khasby Ash Shidiqy (22). Akhmad bergabung bersama 300 mahasiswa UNY menjadi relawan membantu para pengungsi.

Universitas yang juga spontan menyediakan ruangan kampus mereka untuk menampung pengungsi, di antaranya Universitas Gadjah Mada, Universitas Atmajaya Yogyakarta, Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran”, Universitas Sanata Dharma, dan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Di rumah warga, kampus, dan berbagai tempat penampungan lain, para pengungsi yang sebelumnya tidak saling mengenal kini harus hidup bersama.

Merangkul manusia

Kebersamaan itu membutuhkan toleransi dan membuang jauh-jauh egoisme. Melihat spontanitas dan ketulusan warga, rohaniwan Romo Kirjito mengatakan, Merapi sedang merangkul manusia. Erupsi gunung teraktif di Jawa itu telah menggerakkan manusia untuk memerhatikan sesama.

”Dalam peristiwa itulah rasa kemanusiaan mengalahkan segala-galanya. Semangat hidup berbagi untuk sesama menemukan jawabannya di tengah-tengah bangsa yang sedang mengalami krisis kemanusiaan ini,” ujar Romo Kirjito.

Masalahnya memang sering kali perasaan solidaritas sosial itu baru tumbuh dan membesar di saat-saat krisis. Tetapi, rasa itu tumbuh secara sporadis, tidak diorganisasikan secara masif sehingga menjadi modal kebersamaan yang besar. Solidaritas rakyat yang murni tanpa pamrih. (GAL/HEN/EGI/WHO/ ENY/IRE/BSW/CAN) (Editor: Jimmy Hitipeuw - Kompas Cetak)

SMS Kematian Versus Iman

Tanggal 26-12-1998…..Kerusuhan Poso, Tanggal 26-12-2004…. Gempa dan Tsunami di Aceh, tanggal 26-05-2006, Gempa bumi Jogjakarta, 26-06-2010, Gempa Tasikmalaya, 26-10-2010, Meletusnya Merapi dan Gempa serta Tsunami di Mentawai…Bacalah Hagai 2:6……..sebarkan jika ingin selamat, demikian bunyi sms dari tangan orang-orang beragama dan beriman setelah terjadi bencana meletusnya Gunung Merapi yang disusul dengan gempa dan tsunami di Mentawai. Ketika menerima bunyi sms di atas saya cuman menjawab: Hehe…Kacian dech Loe sms kok dipercaya…berarti Tuhan itu jahat dunk…Ada yang membalas; Tuhan tidak jahat…tetapi untuk kita renungkan. Jawabku; bagaimana saya bisa merenung kalau ayat dari teks yang disebutkan di atas saja salah….memangnya kalau kita mau mati atau bangkit, tunggu sms duluh yah dari Tuhan…..

Para Sahabat….

Kita kadang seperti orang-orang Farisi yang selalu menghubungkan peristiwa yang terjadi di dunia ini dengan kenyataan kehidupan lain yang di luar kuasa pengetahuan kita selain mengimani. Orang Farisi menyangka bahwa perkawinan yang terjadi di dunia ini, juga akan terjadi setelah kematian. Sama seperti kita; menghubungkan bencana yang terjadi dengan apa yang ada dalam Kitab Suci, yang sebenarnya merupakan kesalahan penafsiran seperti kesalahan penafsiran orang Farisi tentang Kebangkitan orang mati. Dengan klaim sms di atas, seakan-akan menunjukkan bahwa apa yang dialami oleh saudara-saudari kita baik di Wasior, Lereng Merapi dan Mentawai atau Aceh dan Poso merupakan kutukan dan kehancuran yang diberikan oleh Tuhan. Jika demikian maka kita telah mengklaim Tuhan adalah jahat. Namun kiranya tidak demikian. Klaim sms di atas seakan-akan mengungkapkan bahwa kematian yang dialami oleh saudara-saudari kita baik di Wasior, Aceh, Poso, Mentawai dan Lereng Merapi itu adalah sebuah kehancuran. Jika demikian, untuk apa Allah menunjukan belas kasih dan pengharapan kepada kita melalui peristiwa salib dan kebangkitan Yesus Kristus yang kita imani?.

Apakah kita juga akan diselamatkan atau dibangkitkan? Bagaimana sich situasi kebangkitan? Kebangkitan sebagaimana yang dijelaskan oleh Yesus dalam bacaan Injil (Luk 20:27-38) bagi kita orang beriman, tidak semat-mata menunggu kita meninggal, melainkan juga menyangkut PERUBAHAN PARADIGMA atau cara pandang terhadap segala situasi yang kita alami di dunia ini dalam hubungannya dengan Allah. Kebangkitan adalah PERUBAHAN CARA DAN SEMANGAT HIDUP kita yang ketika menghadapi persoalan atau masalah dalam keluarga, pekerjaan dan bencana sebagaimana yang dialami saat ini selalu menjadikan Allah pada posisi yang “dipersalahkan”. Yesus menegaskan bahwa Kebangkitan pertama-tama adalah IMAN, KESATUAN hidup dengan Allah yang dalam segala situasi, bahkan penderitaan sekalipun tidak pernah tergoyahkan. Kebangkitan adalah PERSATUAN, HIDUP BARU DALAM DAN BERSAMA BELAS KASIH ALLAH. Persatuan, hidup Baru dalam dan bersama Kasih Allah hanya bisa kita alami ketika kita menjadikan Yesus Kristus sebagai pusat kehidupan kita untuk membangun persatuan dengan sesama, membangun semangat hidup baru dalam kekuatan iman dan pengharapan dan bukannya melalui sms-sms penghakiman yang tak beriman. Yang menjadikan Yesus sebagai PUSAT HIDUPNYA (Pegangan dan pengharapan) adalah yang tidak pernah tergoyahkan oleh situasi apapun termasuk tidak menyalahkan Allah “Yah ini Kehendak Allah” apalagi menyebarkan dan menghubungkan serta mempercayai sms-sms yang bernada seakan-akan merasa diri paling baik dan bahwa kejadian sebagaimana yang dialami sesama kita di Lereng Merapi dan Mentawai merupakan kehendak Allah dan peringatan bagi manusia (bdk. 2Mak 7:1-2,9-14).

Satu hal yang kita imani bahwa BELAS KASIH ALLAH sama bagi siapapun setelah kehidupan kita di dunia ini. Baiklah kita BANGKIT dari cara pandang kita yang seakan-akan mengetahui segala hal atas setiap peristiwa yang terjadi selama di dunia ini sebagaimana orang-orang Farisi, BANGKIT untuk membangun kesatuan dan persatuan dengan Allah dan sesama serta dengan semesta dalam iman bahwa persatuan dengan Allah setelah kehidupan di dunia ini adalah persatuan yang semata-mata karena BELAS KASIH ALLAH MELALUI YESUS KRISTUS dan bukannya melalui perkawinan atau tidak, bukan pula kehendak kita manusia, ataupun sms-sms kematian yang membuat orang beriman pun takut dan percaya. Yesus telah menjadi jalan keselamatan, penghiburan dan pengharapan bagi kita, maka sebagai orang-orang yang dibangkitkan dalam Kristus kitapun diajak untuk menjadi jalan penghiburan dan pengharapan melalui tindakan nyata bagi sesama kita (Kebangkitan sejati)-(bdk 2Tes 2:16-3:5) dan bukannya menjadi jalan peramal yang menakutkan melalui sms-sms tak beriman…..


Satu dalam iman

07 November 2010

Lie Jelivan, MSF

HOMILI: Sabtu-Minggu, 6 - 7 November 2010

Hari Minggu Biasa XXXII : 2Mak 7:1-2.9-14; 2Tes 2:16-3:5; Luk 20:27-38.



"Ia bukan Allah orang mati, melainkan Allah orang hidup, sebab di hadapan Dia semua orang hidup."

Orang kaya raya dan bersikap materialistis atau duniawi pada umumnya senantiasa merasa was-was dan tidak tenang dalam hidup; demikian juga menjelang dipanggil Tuhan sungguh curiga dan was-was mengingat harta benda yang harus ditinggalkan. "Jika saya dipanggil Tuhan alias meninggal dunia, siapa yang akan mengurus harta benda yang saya tinggalkan, dan bagaimana nasib anak-anak, pasangan hidup, sahabat atau saudara-saudari saya", demikian mungkin yang bergema di dalam hatinya. Mereka khawatir dan bertanya-tanya seperti orang-orang Saduki, yang tidak percaya akan kebangkitan orang mati, mempertanyakan bagaimana nasib setelah mati nanti pada akhir zaman ketika semua orang mati dibangkitkan. Sungguh kontradiktif: tidak percaya tetapi mempertanyakan apa yang tidak dipercaya. Sebagai orang beriman kiranya kita percaya kepada Penyelenggaraan Ilahi serta kebangkitan orang mati, maka marilah kita renungkan jawaban Yesus terhadap pertanyaan orang-orang Saduki tersebut.
"Mereka tidak dapat mati lagi; mereka sama seperti malaikat-malaikat dan mereka adalah anak-anak Allah, karena mereka telah dibangkitkan. Tentang bangkitnya orang-orang mati, Musa telah memberitahukannya dalam nas tentang semak duri, di mana Tuhan disebut Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub. Ia bukan Allah orang mati, melainkan Allah orang hidup, sebab di hadapan Dia semua orang hidup." (Luk 20:36-38)

Orang yang sungguh beriman ketika dipanggil Tuhan akan hidup selama-lamanya di sorga bersama Allah Pencipta dan senantiasa bergembira dan damai sejahtera. Maka marilah sebagai orang-orang beriman, keturunan bapa Abraham, bapa dan teladan umat beriman, dalam hidup bermasyakat, berbangsa dan bernegara sungguh dijiwai oleh iman, dengan kata lain senantiasa hidup baik dan berbudi pekerti luhur.

"Ia bukan Allah orang mati, melainkan Allah orang hidup, sebab di hadapan Dia semua orang hidup", inilah yang kiranya baik kita renungkan sebagai umat beriman. Beriman antara lain juga berarti "hidup di hadapan Allah", dan karena Allah maha segalanya mau tak mau berhadapan denganNya kita pasti akan dikuasai atau dirajai, sehingga kita tidak dapat hidup dan bertindak seenaknya sendiri, mengikuti selera atau keinginan pribadi. Kita semua dipanggil untuk hidup dan bertindak sesuai dengan kehendak atau perintah Allah, dan perintah atau kehendak Allah antara lain tercermin dalam siapapun yang berkehendak baik serta dalam aneka tata tertib. Maka marilah dengan rendah hati kita dengarkan kehendak baik saudara-saudari kita serta kita tanggapi secara positif; kita baca, fahami dan laksanakan atau hayati aneka tata tertib yang terkait dengan hidup, panggilan serta tugas pengutusan kita masing masing.

Sebagai sesama umat beriman, karena masing-masing dari kita berkehendak baik dan dalam kenyataan wujudnya dapat berbeda satu sama lain, kita diajak untuk dengan rendah hati saling mendengarkan dan menanggapi kehendak baik untuk disinerjikan sehingga kita temukan kehendak baik yang lebih kuat, handal dan dapat diterima banyak orang. Kepada siapapun yang berkehendak baik hendaknya tidak takut dan tidak malu mengutarakan atau menyampaikan kehendak baiknya kepada orang lain untuk diteguhkan, dijernihkan dan dikuatkan. Orang yang berkehendak baik berarti beriman kepada Allah yang hidup, dan dengan demikian pada umumnya senantiasa dalam keadaan ceria, bergairah, bersemangat, enerjik, menarik dan mempesona, sebagai tanda Allah hidup dan berkarya dalam dirinya yang lemah dan rapuh. Maka marilah kita renungkan sapaan atau peringatan Paulus kepada umat di Tesalonika di bawah ini.
"Ia, Tuhan kita Yesus Kristus, dan Allah, Bapa kita, yang dalam kasih karunia-Nya telah mengasihi kita dan yang telah menganugerahkan penghiburan abadi dan pengharapan baik kepada kita, kiranya menghibur dan menguatkan hatimu dalam pekerjaan dan perkataan yang baik" (2 Tes 2:16-17) .
Allah sungguh mengasihi kita, menganugerahi penghiburan abadi dan pengharapan baik, menghibur dan menguatkan hati kita dalam pekerjaan dan perkataan baik. Dengan kata lain kita semua dipanggil untuk senantiasa mengerjakan dan mengatakan apa yang baik tanpa takut dan tanpa gentar meskipun harus menghadapi aneka tantangan, masalah dan hambatan. Apa yang baik senantiasa berlaku umum atau universal, maka ketika kita mengerjakan atau mengatakan apa yang baik pasti akan memperoleh dukungan dari banyak orang yang berkehendak baik. Percayalah, imanilah bahwa mereka yang berkehendak baik lebih banyak daripada mereka yang berkehendak jahat.

Apa yang baik senantiasa membahagiakan dan menyelamatkan. Segala tata tertib atau hukum hemat saya dibuat dan diundangkan atau diberlakukan demi kebahagiaan atau keselamatan umat manusia. Ada tata tertib atau hukum yang tertulis dengan jelas tetapi juga ada yang tidak tertulis sebagai tradisi lisan turun temurun dari nenek moyang. Maka baiklah kita senantiasa setia pada aneka macam tata tertib atau hukum yang terkait dengan hidup, panggilan dan tugas pengutusan kita masing-masing, meneladan tujuh orang bersaudara, sebagaimana diwartakan dalam kitab Makabe ini: "Apakah yang hendak baginda tanyakan kepada kami dan apakah yang hendak baginda ketahui? Kami lebih bersedia mati dari pada melanggar hukum nenek moyang." (2Mak 7:2), demikian kata salah seorang dari tujuh bersaudara yang akan dipaksa untuk `melanggar hukum nenek moyang'.

Kami percaya bahwa nenek moyang kita mewariskan nilai-nilai atau keutamaan-keutamaan baik yang harus kita lestarikan dengan menghayati atau melaksanakannya. Nilai-nilai atau keutamaan-keutamaan tersebut menjadi penghiburan, penguatan dan pengharapan bagi kita semua. Sebagai contoh di lingkungan orang Jawa ada nasihat sebagai berikut: "Yen arep nesu, ngombeyo banyu dhisik, nanging ojo diulu" = `kalau mau marah, silahkan minum air lebih dahulu, tetapi jangan ditelan'. Maksud nasihat ini tidak lain adalah jangan pernah marah kepada saudara-saudari kita. (tidak percaya: coba praktekkan ketika mau marah minum air terlebih dahulu, tetapi tidak boleh ditelan, bukankah hal itu berarti tutup mulut). Tingkatan marah yang lebih lembut adalah mengeluh atau menggerutu, hemat saya kita semua mudah mengeluh atau menggerutu. Jika ada sesuatu yang tidak sesuai dengan selera pribadi pada umumnya lalu mengeluh atau menggerutu, misalnya makanan atau minuman tertentu. Jika kita tidak mudah mengeluh atau menggerutu, maka hemat saya dengan mudah kita mentaati dan melaksanakan aneka tata tertib atau hukum yang terkait dengan hidup, panggilan dan tugas pengutusan kita masing-masing, maka marilah kita senantiasa berusaha tidak mengeluh dan menggerutu.

"Dengarkanlah, TUHAN, perkara yang benar, perhatikanlah seruanku; berilah telinga akan doaku, dari bibir yang tidak menipu. ..langkahku tetap mengikuti jejak-Mu, kakiku tidak goyang. Aku berseru kepada-Mu, karena Engkau menjawab aku, ya Allah; sendengkanlah telinga-Mu kepadaku, dengarkanlah perkataanku." (Mzm 17:1.5-6)



Jakarta, 7 November 2010



Romo. Ignatius Sumarya, SJ

"Barangsiapa setia dalam perkara kecil ia setia juga dalam perkara besar" (Flp 4:10-19; Mzm 112:1-2; Luk 16:9-15)


"Aku berkata kepadamu: Ikatlah persahabatan dengan mempergunakan Mamon yang tidak jujur, supaya jika Mamon itu tidak dapat menolong lagi, kamu diterima di dalam kemah abadi." "Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar. Dan barangsiapa tidak benar dalam perkara-perkara kecil, ia tidak benar juga dalam perkara-perkara besar. Jadi, jikalau kamu tidak setia dalam hal Mamon yang tidak jujur, siapakah yang akan mempercayakan kepadamu harta yang sesungguhnya? Dan jikalau kamu tidak setia dalam harta orang lain, siapakah yang akan menyerahkan hartamu sendiri kepadamu? Seorang hamba tidak dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon." Semuanya itu didengar oleh orang-orang Farisi, hamba-hamba uang itu, dan mereka mencemoohkan Dia. Lalu Ia berkata kepada mereka: "Kamu membenarkan diri di hadapan orang, tetapi Allah mengetahui hatimu. Sebab apa yang dikagumi manusia, dibenci oleh Allah." (Luk 16:9-15), demikian kutipan Warta Gembira hari ini.


Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:

· "Sing kathon wae ora biso nggarap, ojo maneh sing ora kathon" = "Yang kelihatan saja tidak dapat mengerjakan, apalagi yang tidak kelihatan", demikian salah satu kalimat atau nasihat dari bapak saya almarhum ketika saya masih kecil dan belum bersekolah, kepada kami anak-anaknya. Kata-kata tersebut sangat mengesan bagi saya pribadi sampai kini. Salah satu yang kelihatan dan disukai banyak orang pada masa kini antara lain 'uang', yang memang dapat menjadi 'jalan ke neraka' atau 'jalan ke sorga', jalan ke neraka jika orang tidak jujur dalam pengelolaan atau pengurusan uang dan jalan ke sorga jika orang jujur dalam pengelolaan atau pengurusan uang. Maka dengan ini kami berharap kepada kita semua untuk jujur dalam pengelolaan atau pengurusan uang dalam jumlah nominal berapapun. Selain itu kami berharap juga untuk menghayati atau memfungsikan harta benda atau uang sebagai sarana bukan tujuan, sarana untuk semakin beriman dan mempersembahkan diri seutuhnya kepada Tuhan. Secara khusus kami berseru kepada para pengurus atau pengelola karya-karya pastoral Gerejani seperti karya sosial, pendidikan dan kesehatan, yang juga tak terlepas dari urusan atau pengelolaan harta benda atau uang. Marilah kita sadari dan hayati bahwa aneka macam harta benda atau uang dalam karya-karya sebagai anugerah Tuhan yang kita terima dari mereka yang memperhatikan karya kita atau kita layani, maka hendaknya harta benda atau uang tersebut 'dikembalikan' arti difungsikan bagi mereka agar semakin beriman atau mempersembahkan diri seutuhnya kepada Tuhan. Uang dari rakyat/umat hendaknya kembalikan ke rakyat/umat melalui aneka pelayanan bagi rakyat/umat

· "Dalam segala hal dan dalam segala perkara tidak ada sesuatu yang merupakan rahasia bagiku; baik dalam hal kenyang, maupun dalam hal kelaparan, baik dalam hal kelimpahan maupun dalam hal kekurangan. Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku" (Flp 4:12-13), demikian kesaksian iman Paulus. "Dalam segala hal dan dalam segala perkara tidak ada sesuatu yang merupakan rahasia bagiku" inilah yang kiranya baik kita renungkan dan hayati dalam hidup sehari-hari. Tentu saja hal ini pertama-tama dan terutama kita hayati dalam keluarga atau komunitas kita masing-masing: hendaknya tidak ada rahasia di antara anggota keluarga atau komunitas. Mungkin pertama dan terutama hendaknya tidak ada rahasia dalam hal keuangan atau harta benda. Kami percaya jika dalam hal harta benda atau uang tidak ada rahasia alias jujur dan transparan, maka akan memperoleh kemudahan untuk saling tukat pengalaman dalam hal iman atau pengalaman hidup sehari-hari alias 'bercurhat' satu sama lain. Dalam hal ini saya pribadi sungguh terkesan dengan apa yang dihayati oleh Bapak Yustinus Kardinal Darmojuwono Pr alm dalam pengelolaan atau pengurusan uang selama Yang Mulia bertugas sebagai pastor paroki Banyumanik – Semarang Selatan, setelah berhenti sebagai uskup. Segala pengeluaran dan pemasukan uang berapa pun jumlahnya dicatat dalam buku jurnal setiap hari, kurang lebih selama sembilan tahun lamanya (hal itu terlihat dalam buku jurnal yang saya temukan ketika saya harus mengurus peninggalan alm yang berada di kamarnya). Ia yang besar ternyata setia juga terhadap yang kecil-kecil, itulah pelajaran yang saya peroleh. Tiada rahasia dalam hal keuangan yang diterima dari umat Allah.. Semoga antar suami-isteri di dalam keluarga tidak ada rahasia dalam hal uang atau harta benda dan bersama-sama mendidik dan mendampingi anak-anak untuk jujur dalam pemanfaatan, pengurusan atau pengelolaan aneka jenis harta benda atau uang.



"Haleluya! Berbahagialah orang yang takut akan TUHAN, yang sangat suka kepada segala perintah-Nya. Anak cucunya akan perkasa di bumi; angkatan orang benar akan diberkati." (Mzm 112:1-2)



Jakarta, 6 November 2010


Romo. Ignatius Sumarya, SJ

SAGKI 2010: “Mengenali Wajah Yesus di dalam Keberagaman Budaya”

SIDANG AGUNG GEREJA KATOLIK INDONESIA 2010

“Ia Datang Supaya Semua Memperoleh Hidup Dalam Kelimpahan”
(bdk. Yoh 10:10)

1-5 November 2010

“Mengenali Wajah Yesus di dalam Keberagaman Budaya”

Selasa, 2 November 2010, pagi sinar matahari menyeruak masuk ke kamar Melati No. 219, Wisma Caringin, memaksa saya untuk membuka mata dari tidur pulas semalam setelah pada tengah malam saya mem-published narasi tentang SAGKI 2010 (3) di weblog MP saya. Doa pagi sejenak, sendiri-sendiri. 07.30 makan pagi telah tersedia, kesempatan untuk berkenalan dengan peserta Sidang yang datang dari berbagai penjuru Nusantara, kesempatan pula untuk reuni keluarga, bila kebetulan peserta bersaudara.

07.45 acara pembuka Sidang hari ini dimulai dengan doa pembuka dan penjelasan dari Tim Pelaksana (OC) tentang tata tertib selama Sidang, tentang pelayanan tiket, dll. Mgr. Sensi Potokota, Ketua Tim Pengarah (SC) berkisah tentang kunjungannya ke paroki-paroki, yang disebutnya sebagai patroli atau turne. Yang biasa ditakutkan adalah kemungkinan kedinginan, juga ketika tahu bahwa SAGKI diselenggarakan di Caringin, Bogor. Namun, ternyata, setelah taruh kepala, tidur begitu nyenyak karena menyaksikan acara pembukaan SAGKI 2010 yang semarak dan mengesankan. Kebersamaan kita ini dilaksanakan untuk merayakan syukur yang tulus, dengan sukacita dan riang gembira, karena Tuhan telah datang dan hadir dalam sejarah kehidupan bangsa ini. Dalam bingkai syukur ini kita letakkan acara-acara kita selama Sidang berlangsung, yang bertemakan, “Ia datang supaya kamu hidup dalam kelimpahan” (Yoh 10:10).

Pengalaman tentang Yesus dalam SAGKI dituturkan dengan metode naratif, dirangkai dalam narasi publik, yang dikembangkan oleh peserta dalam kelompok campur dengan narasi kelompok. Dalam Sidang pleno narasi kelompok disharingkan. Sharing pengalaman tentang Yesus ditinjau dengan refleksi teologi, dan dirayakan dalam liturgi Ekaristi, dan masih dinyatakan lagi dalam ekpresi budaya. Proses tersebut bermuara pada draft final yang diolah oleh Tim Pengarah. Para peserta juga memperoleh kesempatan untuk menuliskan sharing pengalaman imannya tentang Yesus yang hidup, dituangkan dalam narasi 7.500 karakter,
08.30 Mgr. I. Suharyo menyampaikan paparannya tentang “Narasi dalam Kitab Suci”. Bahan tertulis telah dimuat dalam buku Panduan SAGKI, hal. 1-16. Sebelum menyampaikan paparannya, dipersilakan tamu dari FABC, Mgr. Thomas dari India, Ketua Komisi Evangelisasi FABC. Mgr. Thomas terkesan akan hubungan akrab di antara peserta, yang akrab bersaudara, hidup rukun bahagia, merasa disatukan sebagai warga Asia, Indonesia, dan bangsa manusia.

Dalam paparannya tentang Kisah dalam Kitab Suci, terutama Perjanjian Baru, dijelaskan bahwa penuturan Yesus dengan kisah dikembangkan dari rumusan iman bahwa Yesus dibangkitkan oleh Allah dari antara orang mati (1 Ko5 15:3-4; Rom 5: 6-8). Pada awal Gereja perdana penganiyaan dan penderitaan umat yang dilihat dalam terang kebangkitan menjadi bermakna bagi kehidupan. Dalam Injil tidak hanya ada kisah tentang Yesus, tetapi ada juga kisah yang diceritakan oleh Yesus, dalam perumpaan, pertikaan pendapat, pengusiran setan, dll.

Mengakhiri paparannya Mgr. Suharyo berkisah tentang lukisan relief yang di Candi Borobudur. Konon, dalam lukisan relief tersebut. Ada seorang tua yang diutus ke dunia untuk mengenali ulah manusia.Ada juga lukisan seekor kera yang membawa pisang, berang-berang yang membawa ekor pisang, seekor serigala yang membawa semangkok susu, dan seekor kelinci yang tidak membawa apa-apa. Makanan yang ditawarkan kera, berang-berang dan kepada tidak memenuhi hati pertama tua tersebut. Karena kelinci tidak membawa apa-apa, ia tidak menyerahkan apa-apa, kecuali dirinya sendiri untuk disembelih menjadi santapannya.

Setelah paparan tersebut para peserta yang dikelompokkan dalam 37 kelompok berkumpul dalam kelompok 10-11 orang untuk bertutur kisah tentang Yesus. Dalam kelompok timbul rasa bersyukur dapat bertemu dengan berbagai macam orang dengan latar belakang budaya berbeda, dan terasa ada kesatuan hati karena perjumpaan dengan Yesus telah mengubah hidup kami masing-masing.

Dalam Sidang Pleno sore harinya kisah tentang Yesus ini kemudian disharingkan. Syukur atas pengalaman akan Yesus yang hidup inilah yang dirayakan pada Ekaristi, peringatan semua arwah orang beriman, 2 November, yang dipimpin oleh Mgr. Josef Sowatan, Uskup Manado, didampingi oleh Mgr. John Liku Ada, Uskup Agung Makassar, dan Mgr. PC. Mandagi, MSC, Uskup Ambon, serta beberapa imam lain. Dalam homili Mgr. John Liku Ada menyampaikan kisah tentang Allah dalam budaya Toraja, yang mendapat pemenuhannya dalam diri Kristus, yang karena dibangkitkan oleh Allah Bapa-Nya, memenuhi kerinduan orang-orang yang telah meninggal kepada hidup abadi.

Malam hari setelah makan malam para peserta mendapat kesempatan untuk menyaksikan pentas Ekspresi Budaya yang dipandu oleh Bp. Adi Kurdi. Malam hari itu yang ditampilkan adalah pentas Sanggar Akar yang dipimpin oleh Ibe Karyanto, serta ekspresi peserta berkebudayaan Batak dan Sibolga. Penampilan yang sungguh memukau, dan menggentarkanhati untuk bersyukur karena kita menjadi bagian dari Indonesia yang beraneka budaya, namun mampu bersatu membangun Indonesia. Dalam budaya tersebut tersimpan nilai-nilai yang menjadi persiapan Injil, kabar sukacita kepada setiap orang dari segala suku bangsa.

Terimakasih, Tuhan!


Salam, doa ‘n Berkat Tuhan,

+ Johannes Pujasumarta
Uskup Keuskupan Bandung

Donasi untuk Wasior, Mentawai, Merapi

Apabila ada umat atau paroki yang tergerak untuk terlibat bersama kami, silakan mendonasikan bantuan ke:

1. Bank CIMB NIAGA cabang SUDIRMAN Yogyakarta
A.n Keuskupan Agung Semarang qq Gempa PGPM Kidul Loji
No rek 018-01-00505-00-1

2. Bank Mandiri cabang Semarang Pandanaran
A.n Keuskupan Agung Semarang.Karina Kas
No rek 135-00-4500045-0

3. Bank BCA KCU Semarang
A.n Keuskupan Agung Semarang qq Karina
No rek 009 509 3006


Keterlibatan sebagai relawan atau bantuan dalam bentuk barang dapat disampaikan ke:

KARINAKAS
Kompleks Realino
Jl. Affandi/Gejayan
Yogyakarta-55281

Kontak person:
Y. Baskoro 0813 2871 3052 (y.basskoro@gmail.com)
R. Anang S. 0812 2691 227 (rogatianusasetiyargo@gmail.com)

PS: silakan disebarluaskan berita ini supaya semakin banyak orang terlibat dan berbela rasa. Terima kasih.


Salam,
Albert Deby
Communication Officer
Karitas Indonesia Keuskupan Agung Semarang
0812 2949 8881

sumber: www.kas.or.id

Suara Gemuruh Itu Menakutkan...


Sebagian Jalan sekitar Gereja Promasan tak bisa dilalui.


Sekitar Gereja Promasan, 5 Nopember 2010


Pastoran Promasan Pasca Merapi meletus, 5 Nopember 2010

Foto-foto: Rm. A. Dadang Hermawan, Pr


JAKARTA, (Kompas.com) Dini hari, Jumat (5/11/2010), Gunung Merapi kembali meletus. Kali ini lebih dahsyat daripada hari-hari sebelumnya. Bahkan disertai dengan suara gemuruh yang menakutkan. Kesaksian itu disampaikan seorang warga Jalan Kaliurang, Sri, kepada Kompas.com, pagi ini.

"Sejak jam 10 (malam) ada suara gemuruh, hilang, terdengar lagi. Tetapi yang paling jelas terdengar sekitar pukul 12. Suara gemuruhnya kencang sekali, seperti datang dari dalam bumi," kata Sri saat dihubungi dari Jakarta.

Ketika suara gemuruh kencang itu datang, para warga langsung ke luar rumah. "Karena membuat rumah juga bergetar. Anak-anak dibangunkan semua," ujarnya.

Apalagi, malam tadi, cuaca juga mendung disertai petir. Situasinya sangat menakutkan," kata Sri.

Ia pun memilih untuk mengungsi ke Surabaya demi menjaga kondisi psikologis anak-anaknya yang masih balita. "Soalnya anak-anak mengalami ketakutan," ujarnya.

Secara terpisah, seorang warga Yogyakarta menuturkan, erupsi Merapi kali ini tak pernah terjadi sebelumnya. Letusan di tahun 2010 ini dinilainya sebagai yang terparah dari rentetan "batuk" Merapi yang pernah terjadi.

"Tahun 1994, hujan abu enggak sampai ke kota, apalagi sampai rumah saya. Sekarang yang jauh juga kena, paling parah sepanjang hidup saya tinggal di Jogja," kata Kurnia, seorang warga Bantul.

Erupsi Merapi yang terjadi dini hari tadi membuat warga-warga di barak pengungsian yang berjarak 15 kilometer dari puncak Merapi diungsikan ke tempat yang lebih aman. Wilayah rawan pun diperluas hingga 20 km dari puncak Merapi. (Penulis: KOMPAS.com Inggried Dwi Wedhaswary; Editor: Erlangga Djumena)

"Anak dunia ini lebih cerdik terhadap sesamanya dari pada anak terang" (Flp 3:17-4:1; Mzm 122:1-5; Luk 16:1-8)

"Yesus berkata kepada murid-murid-Nya: "Ada seorang kaya yang mempunyai seorang bendahara. Kepadanya disampaikan tuduhan, bahwa bendahara itu menghamburkan miliknya. Lalu ia memanggil bendahara itu dan berkata kepadanya: Apakah yang kudengar tentang engkau? Berilah pertanggungan jawab atas urusanmu, sebab engkau tidak boleh lagi bekerja sebagai bendahara. Kata bendahara itu di dalam hatinya: Apakah yang harus aku perbuat? Tuanku memecat aku dari jabatanku sebagai bendahara. Mencangkul aku tidak dapat, mengemis aku malu. Aku tahu apa yang akan aku perbuat, supaya apabila aku dipecat dari jabatanku sebagai bendahara, ada orang yang akan menampung aku di rumah mereka. Lalu ia memanggil seorang demi seorang yang berhutang kepada tuannya. Katanya kepada yang pertama: Berapakah hutangmu kepada tuanku? Jawab orang itu: Seratus tempayan minyak. Lalu katanya kepada orang itu: Inilah surat hutangmu, duduklah dan buat surat hutang lain sekarang juga: Lima puluh tempayan. Kemudian ia berkata kepada yang kedua: Dan berapakah hutangmu? Jawab orang itu: Seratus pikul gandum. Katanya kepada orang itu: Inilah surat hutangmu, buatlah surat hutang lain: Delapan puluh pikul. Lalu tuan itu memuji bendahara yang tidak jujur itu, karena ia telah bertindak dengan cerdik. Sebab anak-anak dunia ini lebih cerdik terhadap sesamanya dari pada anak-anak terang" (Luk 16:1-8), demikian kutipan Warta Gembira hari ini. .



Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:

· Orang pandai menjadi bodoh karena uang, sebaliknya orang bodoh menjadi pandai karena uang, begitulah yang sering terjadi. Juga terjadi orang pandai menjadi kaya raya akan harta benda atau uang dengan membodohi orang lain. Warta Gembira hari ini mengingatkan kita semua perihal kecerdikan orang yang bersikap mental materialistis atau duniawi, yang sering menipu atau mengelabui orang. Mereka yang lemah dalam hal kepribadian, keimanan atau spiritual pada umumnya dengan mudah menjadi korban penipuan yang dilakukan oleh orang-orang cerdik. Maka marilah kita membina diri maupun sesama kita agar memiliki kepribadian dan keimanan yang tangguh, kuat dan handal sehingga tahan terhadap aneka godaan, rayuan dan penipuan. Hendaknya juga jangan bersikap mental materialistis atau duniawi, karena dengan demikian juga dengan mudah ditipu atau dicerdiki orang lain. Marilah kita menjadi 'anak-anak terang', orang-orang yang jujur: jujur terhadap diri sendiri, sesama maupun lingkungan hidup kita. "Jujur adalah sikap dan perilaku yang tidak suka berbohong dan berbuat curang, berkata-kata apa adanya dan berani mengakui kesalahan, serta rela berkorban untuk kebenaran" (Prof Dr Edi Sedyawati/edit: Pedoman Penanaman Budi Pekerti Luhur, Balai Pustaka – Jakarta 1997). Jika kita sungguh hidup dan bertindak jujur kiranya tidak akan mudah ditipu atau dikelabui orang lain. Tentu saja kejujuran ini perlu disertai dengan kesederhanaan dalam hidup dan bertindak.


· "Saudara-saudara, ikutilah teladanku dan perhatikanlah mereka, yang hidup sama seperti kami yang menjadi teladanmu.Karena, seperti yang telah kerap kali kukatakan kepadamu, dan yang kunyatakan pula sekarang sambil menangis, banyak orang yang hidup sebagai seteru salib Kristus. Kesudahan mereka ialah kebinasaan, Tuhan mereka ialah perut mereka, kemuliaan mereka ialah aib mereka, pikiran mereka semata-mata tertuju kepada perkara duniawi." (Flp 3;17-19), demikian peringatan Paulus kepada umat di Filipi, kepada kita semua umat beriman. Kita diingatkan agar tidak menjadi perut sebagai Tuhan kita maupun perkara duniawi menjadi pikiran kita. Orang yang menjadi perut sebagai Tuhan berarti makan dan minum dengan serakah tanpa aturan dan akibatnya adalah penderitaan atau sakit, demikian juga orang yang hanya memikirkan perkara duniawi akan mudah menjadi stress, tertekan serta marah-marah. Pengalaman menunjukkan bahwa mereka yang hanya memikirkan perkara duniawi ketika kehilangan atau tidak memiliki harta benda atau uang pada umumnya frustrasi, putus asa dan ada kecenderungan untuk bunuh diri atau menghabisi diri sendiri. Marilah meneladan Paulus yang bekerja keras serta hidup sederhana dan senantiasa mewartakan 'salib Kristus' dalam cara hidup dan cara bertindaknya maupun dalam apa yang dikatakannya, bahkan menghayati dirinya bagaikan tanah liat yang mudah dibentuk, dihancurkan dan remuk. Pada masa ini cukup banyak orang berduit makan dan minum seenaknya tanpa memperhatikan kesehatan phisik atau tubuh, apalagi kesehatan rohani atau spiritual, sehingga muncul penyakit seperti kelebihan kolesterol atau trikeserit dalam darahnya yang membawanya ke kebinasaan. Aneka macam jenis paket atau kemasan makanan maupun minuman yang bersifat instant pada umumnya kurang sehat.



"Aku bersukacita, ketika dikatakan orang kepadaku: "Mari kita pergi ke rumah TUHAN." Sekarang kaki kami berdiri di pintu gerbangmu, hai Yerusalem. Hai Yerusalem, yang telah didirikan sebagai kota yang bersambung rapat, ke mana suku-suku berziarah, yakni suku-suku TUHAN, untuk bersyukur kepada nama TUHAN sesuai dengan peraturan bagi Israel. Sebab di sanalah ditaruh kursi-kursi pengadilan, kursi-kursi milik keluarga raja Daud." (Mzm 122:1-5)

Jakarta, 5 November 2010



Romo. Ign. Sumarya, SJ

Update Purbayan Peduli

Karena bantuan barang akan direkap & dibuatkan laporan sebagai transparansi, maka pengiriman ke Purbayan paling lambat hari Kamis, 4 Nopember 2010. Tim peduli akan berangkat Jumat pagi.

Beberapa bahan yang dibutuhkan untuk bantuan korban bencana alam sebagai berikut: (update terakhir hasil kerjasama dengan KARINA-KAS):

tandon air (4bh)
lampu baterai/lampu badai (kapal) (50 bh)
minyak tanah (50lt)
kasur bayi (20bj)
susu cair
kue kering,
plastik es/gelas plastik untuk minum dan kertas untuk makan
dan pakaian layak pakai.


Bagi yang ingin membantu silahkan hubungi Fr. Vincent untuk koordinasi. Keberangkatan : Jumat 5 Nopember 2010 menuju Muntilan. Kloter 2 akan berangkat Sabtu yad (13 nop 2010) dan kloter 3 (20 nop 2010)

Terima kasih atas perhatian, kepedulian dan partisipasi anda.

Santo Karolus Boromeus, Uskup dan Pengaku Iman

Karolus Boromeus lahir di Rocca d'Arona, tepi danau Maggiore pada tanggal 2 Oktober 1538. la adalah putera kedua dari Giberto Berromeo dan Margherita de'Medici, saudari Paus Pius IV (1846-1878). Di kemudian hari ia menjadi Kardinal dan Uskup Agung Milano serta tokoh utama usaha pembaharuan Tridentine. Dari seluruh kisah kehidupannya dan karyanya dapat dikatakan bahwa Karolus sudah ditentukan Tuhan sajak lahirnya untuk menjadi pelayan Allah bagi kemajuan Gereja-Nya.

Kurang lebih 40 tahun setelah meletusnya Reformasi Protestan, Tuhan menggerakkan Karolus Boromeus untuk membantu Paus dalam usahanya menangkal segala sepak terjang para penganut Protestan. Dalam usia yang masih sangat muda (22 tahun), Karolus diangkat menjadi Kardinal oleh pamannya Paus Pius IV (1846-1878). la menjabat sebagai Sekretaris Negara dan menjadi orang terkuat di Kuria Roma. Ia tekun belajar hingga larut malam.

Setelah kakaknya meninggal mendadak, ia memutuskan mengikuti suatu retret khusus. Kemudian ia menjadi imam dan mulai hidup sangat sederhana. Sehari-hari ia berdoa berjam-jam dan menjalani matiraga keras. Kekayaannya dibagi-bagikan kepada orang-orang miskin; jumlah pelayanannya diperkecil, dan banyak dana disisihkannya untuk memberikan beasiswa.

Ia dikenal sebagai salah seorang pemeran utama Konsili Trente, bahkan keberhasilan Konsili itu merupakan hasil jerih payahnya. Ia berusaha keras meneruskan Konsili Trente dan mendesak agar keputusan-keputusan Konsili itu dilaksanakan. Dalam hubungan itu ia meminta Paus agar ia dibebaskan dari tugasnya di Kuria Roma untuk membaharui keuskupannya, keuskupan Milano. Meskipun masih muda belia, Karolus sangat menyadari kebutuhan umatnya jaman itu. Di masa itu hidup keagamaan amat Parah: banyak anak tidak mengenal Tuhan, bahkan membuat tanda salib saja pun tidak bisa; gereja-gereja sepi dari kunjungan umat, bahkan ada gereja yang diubah menjadi toko atau bangsal pesta. Para imam tidak bisa berkotbah karena tak terdidik baik dalam hal pewartaan iman.

Karolus mengambil bagian di dalam sidang-sidang terakhir Konsili Trente, yang membahas pembaharuan Gereja. Lalu ia mulai bekerja sekuat tenaga untuk membaharui keuskupannya. Mula-mula ia menegaskan agar staf keuskupan menghayati suatu corak hidup yang lebih mencerminkan status mereka sebagai rohaniwan. Ia sendiri memberi teladan serta bersemangat doa, rajin mengaku dosa, berpuasa dan hidup sederhana. Berulang kali ia mengunjungi paroki-paroki, menyelenggarakan rapat dengan para pastor, mengajar agama dan berkhotbah.

Pada tahap awal, usahanya hampir kandas karena ia tidak bisa berbicara dengan lancar. Tetapi ia pantang menyerah dan senantiasa berbicara dengan penuh keyakinan. Untuk memberantas kebutaan anakanak dalam hal keagamaan, ia mendirikan 'sekolah-sekolah minggu'. Ia membuka seminari-seminari keuskupan untuk menggembleng para calon imam yang tangguh. Itulah seminari model pertama. Dengan usaha usahanya itu, ia berhasil menyalakan api semangat Kristiani dalam hati umatnya dan membuat Kristus dicintai lagi.

Pengaruhnya tidak terbatas di dalam wilayahnya sendiri. Terbukti pada tahun 1576, ketika Milano terserang wabah sampar yang ganas, tempat tinggalnya dijadikan sebagai rumah sakit. Ia sendiri melayani sebagai perawat dan pembimbing rohani para pasien. Selain itu, ia masih juga menangani tugas-tugas berat lainnya: ia banyak mengadakan kunjungan-kunjungan ke wilayah-wilayah yang lain seperti Italia, Switzerland dan lain-lain dalam usaha mengatasi kerisauan di dalam tubuh Gereja akibat Reformasi Protestan dan timbulnya bidaah-bidaah. Ia berusaha memekarkan kembali kehidupan menggereja di daerah-daerah yang telah lemah semangat imannya. Namun ada saja orang yang menentang kebijaksanaannya. Beberapa biarawan yang tidak mau ditertibkan berusaha melawan melalui pembunuh bayaran. Untunglah ia selamat. Ia disukai umat dan dianggap sebagai penyelamat kota Milano. Pemerintah sendiri, yang seharusnya merasa beruntung dan oleh sebab itu harus berterimakasih kepada Karolus, kurang menyukainya, malahan memfitnahnya. Untunglah ia dilindungi oleh Paus. Memang berbuat baik amat banyak cobaan dan rintangannya. Dunia sepertinya iri hati atas semua keberhasilannya. Namun iman dan ketabahannya tetap membuat Karolus berdiri tegak dalam prinsipnya. Pekerjaan berat ditambah penderitaan-penderitaan tersebut merongrong kesehatannya. Ia wafat di Milano pada tanggal 3 Nopember 1584. (Sumber: www.imankatolik.or.id)

Bencana Merapi: Misa Darurat di Pengungsian

Meski mengungsi akibat ancaman bahaya Gunung Merapi, tetapi sekitar 150 umat Katolik, tetap tidak lupa memuja Tuhan. Tetapi yang namanya mengungsi itu semuanya serba darurat. Misa kudus Minggu (31/10), bukan dilaksanakan di sebuah gedung, bernama gereja.

Namun, di sebuah halaman rumah Fransiskus Xaverius, warga Dusun Japunan, Desa Dukun, Kabupaten Magelang. Umat duduk bersila di atas tikar dan sebagian kecil di kursi plastik seperti yang digunakan pada hajatan di desa.

Misa dalam bahasa Jawa itu dipimpin oleh pastor Gereja Paroki Santa Maria Lourdes Desa Sumber, Romo Yohanes Maryono, Pr. Tuan rumah ternyata secara swadaya menampung 50 pengungsi dari Ngargomulyo, tetangga desa, sejak Merapi meletus Selasa (26/10) lalu.

Beberapa umat mengemukakan, pengalaman pribadinya dalam menghadapi tahapan Merapi meletus. Juga pengalamannya di tempat penampungan, layanan logistik serta yang bertahan di desanya untuk menjaga rumah dan ternaknya.

"Pengungsi harus arif. Harus berusaha mencermati perkembangan situasi Merapi, yang dilaporkan Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) yang disampaikan melalui pemerintah daerah," pesan Romo Maryono.

Dia mempersonifikasikan Merapi sebagai manusia, yang kadang memerlukan perhatian lebih, tetapi lain waktu biasa saja. Jika aktivitasnya meningkat, disarankan sebaiknya warga menyingkir lebih dulu ke tempat yang aman, untuk memperkecil kemungkinan jatuh korban.

Menurut dia, kehidupan masyarakat Merapi saat ini dalam keadaan darurat. Tetapi situasi itu justru membuat mereka menjadi semakin pandai menyikapi keadaan. "Menjadikan masyarakat semakin pandai menghadapi keadaan apapun," katanya.

Diakui, memang tidak nyaman tinggal di pengungsian. Ada rasa bosan karena situasinya berbeda dengan tinggal di rumah sendiri. Semua kejadian itu bisa direnungkan lebih dalam menjadi pengalaman iman dan hidup yang baik.

MERAPI KRISIS

Sementara itu, Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Surono pada hari Rabu (3/11) angkat tangan terhadap perilaku Gunung Merapi akhir-akhir ini. Tabiat Merapi jauh menyimpang dari perilakunya selama ini. Menurut pantauan Surono, sejak pukul 11.00 WIB Merapi kembali mengeluarkan erupsi berupa awan panas. Semburan dari perut magma berlangsung susul-menyusul rata-rata dua menit.

Namun, sejak pukul 14.27 WIB, semburan berlangsung terus-menerus. Bahkan, kata Surono, sampai pukul 16.09 WIB semburan awan panas baru berhenti. "Ini sangat-sangat istimewa. Ini baru pertama kali satu jam lebih semburan awan panas belum berhenti," kata Surono. Surono menyebut Merapi dalam kondisi krisis. Ia tidak tahu kapan kondisi akan bertahan.

Menurut Surono, seharusnya sejak terjadi letusan eksplosif pada 26 Oktober lalu semburan awan panas semakin menurun. Semburan awan panas akan diiringi pembentukan kubah lava di puncak Merapi. Setelah itu, akan terjadi guguran lava dari kubah. Tapi tabiat Merapi sudah menyimpang dari semua itu. "Kekuatan letusan kali ini tiga kali lebih besar dari letusan 26 Oktober lalu," kata Surono. Karena itu, Surono memperluas daerah rawan bencana dari 10 kilometer menjadi 15 kilometer.

Apa yang akan terjadi berikutnya? Surono angkat tangan. "Saya tidak tahu sama sekali," kata Surono. Ia berharap, wedhus gembel alias awan panas tidak semakin besar. Surono hanya bisa memastikan status awas Merapi tidak akan dicabut segera. Makanya, ia meminta warga sabar di pengungsian masing-masing sembari mengamati perkembangan yang terjadi. "Saya tidak tahu, sekarang (Merapi) sudah krisis seperti ini," kata Surono. Ia akan melihat kembali aktivitas kegempaan untuk memperkirakan apa yang akan terjadi.

Semburan awan panas ini membuat warga panik. Warga yang tinggal di posko pengungsian berlarian. Warga yang selama ini di luar daerah rawan bencana juga ikut panik. Mereka berbondong-bondong naik motor atau truk untuk menyelamatkan diri. Maklum, selain awan panas, erupsi kali ini disertai semburan debu yang tebal. Semburan awan panas dan debu itu mengarah ke segala arah. (Suara Merdeka/MetroTV)

"Ia menerima orang berdosa dan makan bersama dengan mereka." (Flp 3:3-8a; Mzm 105:2-6; Luk 15:1-10)

"Para pemungut cukai dan orang-orang berdosa biasanya datang kepada Yesus untuk mendengarkan Dia. Maka bersungut-sungutlah orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat, katanya: "Ia menerima orang-orang berdosa dan makan bersama-sama dengan mereka." Lalu Ia mengatakan perumpamaan ini kepada mereka: "Siapakah di antara kamu yang mempunyai seratus ekor domba, dan jikalau ia kehilangan seekor di antaranya, tidak meninggalkan yang sembilan puluh sembilan ekor di padang gurun dan pergi mencari yang sesat itu sampai ia menemukannya? Dan kalau ia telah menemukannya, ia meletakkannya di atas bahunya dengan gembira, dan setibanya di rumah ia memanggil sahabat-sahabat dan tetangga-tetangganya serta berkata kepada mereka: Bersukacitalah bersama-sama dengan aku, sebab dombaku yang hilang itu telah kutemukan. Aku berkata kepadamu: Demikian juga akan ada sukacita di sorga karena satu orang berdosa yang bertobat, lebih dari pada sukacita karena sembilan puluh sembilan orang benar yang tidak memerlukan pertobatan." (Luk 15:1-7), demikian kutipan Warta Gembira hari ini.

Berrefleksi atas bacaan-bacaan serta mengenangkan pesta St.Karolus Borromeus hari ini, saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:

· St.Karolus Borromeus dikenal sebagai gembala umat/uskup yang merakyat, pendoa dan sederhana. Sebagai Uskup ia memberi perhatian khusus kepada 'domba-domba' atau umat yang hilang atau tersingkir, antara lain yang menderita sakit, wabah penyakit pes yang merajalela saat ini. Ia sungguh meneladan Yesus yang 'menerima orang-orang berdosa dan makan bersama-sama dengan mereka'. Maka baiklah dalam rangka mengenangkan pesta St.Karolus Borromeus hari ini saya mengajak kita semua untuk mawas diri perihal salah satu prinsip hidup beriman atau beragama yaitu "preferential option for/with the poor" = 'keberpihakan pada orang-orang miskin dan berkekurangan', entah miskin secara phisik maupun spiritual, jasmani maupun rohani.. Kami berharap mereka yang berpengaruh dalam kehidupan bersama dapat menjadi contoh atau teladan dalam keberpihakan kepada mereka yang miskin dan berkekurangan, entah pejabat pemerintah, masyarakat maupun agama. Kiranya baik dan perlu bahwa prinsip ini sedini mungkin dibiasakan pada anak-anak di dalam keluarga dengan pendampingan dan contoh dari para orangtua.
Marilah kita sadari bahwa ketika masih ada orang yang miskin dan berkekurangan berarti ada sementara orang hidup serakah, hanya mencari keuntungan dan kenikmatan diri sendiri. Salah satu bentuk keberhasilan pemerintahan atau mungkin keberhasilan utama adalah kesejahteraan seluruh rakyat, maka jika masih cukup banyak anggota masyarakat atau rakyat yang miskin dan berkekurangan berarti pejabat pemerintah kurang melayani dan lebih menguasai. Semakin tinggi jabatan atau kedudukan hendaknya semakin bersemangar melayani, terutama bagi mereka yang miskin dan berkekurangan.


· "Segala sesuatu kuanggap rugi, karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih mulia dari pada semuanya. Oleh karena Dialah aku telah melepaskan semuanya itu dan menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh Kristus" (Fil 3:8). Kesaksian iman Paulus ini kiranya baik menjadi permenungan atau refleksi kita semua. Marilah kita jadikan atau hayati segala sesuatu sebagai sarana atau wahana untuk semakin mengenal Yesus Kristus, Tuhan atau mempersembahkan diri seutuhnya kepada Tuhan dalam hidup sehari-hari. Untuk itu pertama-tama hendaknya dihayati bahwa segala sesuatu yang kita miliki, kuasai dan nikmati sampai saat ini adalah anugerah atau rahmat Tuhan yang kita terima melalui orang-orang yang mengasihi dan telah berbuat baik kepada kita. Hendaknya kita juga jangan bersikap mental materialistis atau duniawi. Kami juga mengingatkan para orangtua maupun guru/pendidik untuk lebih mengutamakan anak-anak tumbuh berkembang menjadi pribadi baik dan berbudi pekerti luhur atau cerdas spiritual daripada cerdas intelektual dalam pendidikan atau pendampingan anak-anak. Mendidik dan membina anak-anak agar tumbuh berkembang menjadi pribadi baik dan berbudi pekerti luhur kiranya tidak mudah, sarat dengan tantangan, hambatan atau masalah, maka baiklah tidak hanya mengandalkan kekuatan atau keterampilan diri sendiri dalam mendidik atau membina, tetapi juga dengan rendah hati mohon rahmat Tuhan. Dengan kata lain hendaknya sebagai orangtua atau pendidik/guru tidak melupakan hidup doa atau rohani, antara lain sering mendoakan anak-anak atau peserta didik yang menjadi tanggungjawabnya atau yang dianugerahkan Tuhan kepada anda. Dampingi dan didik anak-anak dalam semangat cintakasih dan kebebasan kristiani.



"Bernyanyilah bagi-Nya, bermazmurlah bagi-Nya, percakapkanlah segala perbuatan-Nya yang ajaib! Bermegahlah di dalam nama-Nya yang kudus, biarlah bersukahati orang-orang yang mencari TUHAN! Carilah TUHAN dan kekuatan-Nya, carilah wajah-Nya selalu! Ingatlah perbuatan-perbuatan ajaib yang dilakukan-Nya, mujizat-mujizat-Nya dan penghukuman-penghukuman yang diucapkan-Nya, hai anak cucu Abraham, hamba-Nya, hai anak-anak Yakub, orang-orang pilihan-Nya" (Mzm 105:2-6)



Jakarta, 4 November 2010



Romo. Ign. Sumarya, SJ.

“Yang tidak melepaskan dirinya dari segala miliknya tidak dapat menjadi murid-Ku.” (Flp 2:12-18; Mzm 27:1.4.13-14) Luk 14:25-33

“Pada suatu kali banyak orang berduyun-duyun mengikuti Yesus dalam perjalanan-Nya. Sambil berpaling Ia berkata kepada mereka: "Jikalau seorang datang kepada-Ku dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, isterinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi murid-Ku. Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak dapat menjadi murid-Ku. Sebab siapakah di antara kamu yang kalau mau mendirikan sebuah menara tidak duduk dahulu membuat anggaran biayanya, kalau-kalau cukup uangnya untuk menyelesaikan pekerjaan itu? Supaya jikalau ia sudah meletakkan dasarnya dan tidak dapat menyelesaikannya, jangan-jangan semua orang yang melihatnya, mengejek dia, sambil berkata: Orang itu mulai mendirikan, tetapi ia tidak sanggup menyelesaikannya. Atau, raja manakah yang kalau mau pergi berperang melawan raja lain tidak duduk dahulu untuk mempertimbangkan, apakah dengan sepuluh ribu orang ia sanggup menghadapi lawan yang mendatanginya dengan dua puluh ribu orang? Jikalau tidak, ia akan mengirim utusan selama musuh itu masih jauh untuk menanyakan syarat-syarat perdamaian. Demikian pulalah tiap-tiap orang di antara kamu, yang tidak melepaskan dirinya dari segala miliknya, tidak dapat menjadi murid-Ku.” (Luk 14:25-33), demikian kutipan Warta Gembira hari ini.

Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:

· Tidak sedikit orang yang tidak setia pada panggilan dan tugas pengutusannya, misalnya: mengaku beragama tetapi tidak menghayati ajaran agamanya dengan baik dan benar, hidup sebagai suami-isteri tetapi masing-masing masih bagaikan belum menikah karena hidup seenaknya sendiri, hidup terpanggil sebagai imam, bruder atau suster hanya mengikuti kehendak atau selera pribadi dalam melaksanakan tugas pengutusan atau pekerjaan, dst.. Sabda hari ini mengajak dan mengingatkan kita semua untuk “melepaskan diri dari segala milik dalam rangka mengikuti Yesus, hidup beriman atau beragama”. Dengan kata lain hendaknya dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara kita dijiwai oleh iman kita, bukan mengikuti selera pribadi atau kelompoknya. Dalam atau dengan iman di dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara antara lain berarti senantiasa taat dan setia terhadap aneka macam tata tertib yang berlaku, dan untuk itu memang butuh pengorbanan diri. Kita juga diingatkan untuk setia pada panggilan dan tugas pengutusan kita masing-masing, apapun bentuknya dan dimanapun tempatnya. Bagaikan gending Jawa ‘gamelan’ dimana ada aneka macam alat atau perangkat atau jenis alat musik dan masing-masing berfungsi pada waktunya sehingga terdengar alunan suara gamelan yang mempesona dan menarik, demikian pula hendaknya kebersamaan hidup kita dimanapun dan kapanpun masing-masing berfungsi optimal pada waktunya. Dengan kata lain penabuh gamelan tidak membunyikan alatnya menurut kemauan sendiri melainkan sesuai petunjuk dari pimpinan. Marilah kita jauhkan aneka bentuk egoisme dan kita kembangkan serta perdalam kepekaan sosial kita.

· “Lakukanlah segala sesuatu dengan tidak bersungut-sungut dan berbantah-bantahan, supaya kamu tiada beraib dan tiada bernoda, sebagai anak-anak Allah yang tidak bercela di tengah-tengah angkatan yang bengkok hatinya dan yang sesat ini, sehingga kamu bercahaya di antara mereka seperti bintang-bintang di dunia, sambil berpegang pada firman kehidupan” (Flp 2:14-16a), demikian nasihat atau peringatan Paulus kepada umat di Filipi, kepada kita semua umat beriman. Jangan bersungut-sungut, menggerutu atau mengeluh dalam menghayati panggilan atau melaksanakan tugas pengutusan! Nikmati saja segala sesuatu yang menjadi konsekwensi dari hidup terpanggil atau diutus. “Carpe diem” = nikmati atau petik hari ini, demikian kata sebuah pepatah bahasa Latin. Hidup terpanggil atau diutus memang harus melaksanakan tugas pekerjaan atau kewajiban yang tidak sesuai dengan selera pribadi, dan mungkin juga berat, sarat dengan tantangan dan masalah. Hadapi dan kerjakan segala tantangan dan masalah dengan tidak bersungut-sungut atau berbantah-bantahan, tetapi dengan sabar, lemah lembut, bergairah dan ceria sambil ‘berpegang pada firman kehidupan’, yaitu aneka macam petunjuk atau pedoman untuk melaksanakan tugas atau pekerjaan. Percayalah jika Tuhan mengutus, Ia juga akan menyelesaikannya pula. Asal kita bertindak jujur, disiplin, kerja keras, tekun, teliti, tertib dan tenang pasti akan mampu mengerjakan segala sesuatu yang dibebankan atau diserahkan kepada kita. Marilah kita hayati salah satu motto dari Bapak Andrie Wongso: “Besi batangan pun kalau digosok terus menerus dengan keteguhan hati , pasti akan menjadi jarum yang tajam”, atau senanitiasa berpikir ‘sukses’ dalam melaksanakan segala sesuatu.

“TUHAN adalah terangku dan keselamatanku, kepada siapakah aku harus takut? TUHAN adalah benteng hidupku, terhadap siapakah aku harus gemetar? Satu hal telah kuminta kepada TUHAN, itulah yang kuingini: diam di rumah TUHAN seumur hidupku, menyaksikan kemurahan TUHAN dan menikmati bait-Nya” (Mzm 27:1.4)


Jakarta, 3 November 2010

Romo. Ignatius Sumarya, SJ

Purbayan Peduli

Dibutuhkan SEGERA beberapa bahan (untuk bantuan korban bencana alam) sebagai berikut: (update terakhir hasil kerjasama dengan KARINA-KAS):

  • tandon air (4bh)
  • lampu baterai/lampu badai (kapal) (50 bh)
  • minyak tanah (50lt)
  • kasur bayi (20bj)
  • handuk (100 bj)

Silahkan hubungi Fr. Vincent untuk koordinasi. Keberangkatan : Jumat 5 November 2010 menuju Muntilan.

Terima kasih.

HOMILI: Peringatan Arwah Semua Orang Beriman

PERINGATAN ARWAH SEMUA ORANG BERIMAN
2Mak 12:43-46; 1Kor 15:12-34; Yoh 6: 37-40


"Semua yang telah diberikan-Nya kepada-Ku jangan ada yang hilang, tetapi supaya Kubangkitkan pada akhir zaman."

Pada hari `Peringatan Arwah Semua Orang beriman' ini kita diajak untuk mengenangkan saudara-saudari kita, orangtua, kakak-adik, kenalan atau sahabat kita yang telah dipanggil Tuhan atau meninggal dunia. Maka pada hari ini secara tradisionil ada kebiasaan berdoa bersama di makam orangtua, kakak-adik, saudara atau kenalan Sekiranya tidak mungkin berdoa di makam karena bertempat tinggal cukup jauh, maka baiklah diselenggarakan doa bersama di rumah untuk mendoakan mereka yang telah dipanggil Tuhan. Isi atau ujud doa-doa kita adalah semoga mereka yang telah dipanggil Tuhan kelak dibangkitkan oleh Tuhan pada akhir zaman, maka baiklah saya mengajak anda sekalian untuk berrefleksi atas sabda-sabda hari ini.
"Inilah kehendak Bapa-Ku, yaitu supaya setiap orang, yang melihat Anak dan yang percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal, dan supaya Aku membangkitkannya pada akhir zaman." (Yoh 6:40)
Dalam mendoakan mereka yang telah dipanggil Tuhan atau meninggal dunia, kiranya baik kita mawas diri bahwa sewaktu-waktu, kapan saja dan dimana saja, kita juga dipanggil Tuhan. Kiranya setelah dipanggil Tuhan kita semua berharap memperoleh hidup yang kekal, hidup mulia dan bahagia selamanya di sorga bersama Allah Bapa, Pencipta dan Yesus Kristus yang kita imani, maka marilah kita mawas diri sejauh mana selama ini di dalam hidup sehari-hari kita `melihat Tuhan dan percaya kepada-Nya'. Tuhan hidup dan berkarya terus menerus dalam ciptaan-ciptaan-Nya: manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan, maka baiklah pertama-tama dan terutama kami mengajak anda sekalian mawas diri perihal `melihat Tuhan dan percaya kepada-Nya' dalam diri manusia, sesama atau saudara-saudari kita.

"Melihat dan percaya kepada Tuhan dalam diri manusia" berarti sebagai sesama manusia kita saling percaya satu sama lain. Jika kita dapat percaya kepada sesama atau saudara-saudari kita, maka dengan mudah kita percaya kepada Tuhan. Saling percaya antar saudara atau sesama pada masa kini rasanya sedang mengalami erosi atau kemerosotan. Pernahkah anda mawas diri bahwa HP (Hand Phone) sedikit banyak telah merongrong saling percaya antar kita? Coba perhatikan: karena ada atau memiliki HP, maka begitu mudah berkomunikasi dengan pasangannya, suami atau isterinya, anaknya, sahabatnya, dst… Suami atau isteri bepergian karena tugas untuk beberapa waktu/hari dan kepergiaannya cukup jelas, namun kiranya masih ada rasa curiga atau kurang percaya kepada pasangannya, tandanya adalah sering mengontak dengan HP-nya. Jujur mawas diri: menilpon pasangan tersebut sebagai tanda cinta atau tanda curiga/was-was atau kurang percaya? Kami yakin kebanyakan dari kita karena HP menjadi saling curiga terhadap pasangan hidupnya, anaknya, saudaranya dst..

Ada kemungkinan dengan kemudahan berkomunikasi dengan HP orang lupa atau meninggalkan komunikasi dalam doa alias mendoakan pasangannya, saudaranya atau anaknya, dengan kata lain orang malas atau jarang berdoa lagi. Salah satu bentuk saling percaya kepada pasangan hidup, saudara atau sesama adalah ketika `berpisah cukup lama' maka saling mendoakan, saling mempersembahkan sesamanya kepada Penyelenggaraan Ilahi. Dengan kata lain kami mengajak dan mengingatkan kita semua: marilah kita saling mendoakan ketika harus `berpisah untuk sementara' dan percaya bahwa Tuhan senantiasa mendampingi dan menghidupi saudara-saudari kita dimanapun dan kapanpun. Hendaknya saling percaya ini dibiasakan, diperteguh dan diperdalam di dalam keluarga, antar anggota keluarga, sehingga apa yang dialami di dalam keluarga dapat dikembangkan lebih lanjut di dalam kehidupan bersama yang lebih luas, dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

"Jadi, bilamana kami beritakan, bahwa Kristus dibangkitkan dari antara orang mati, bagaimana mungkin ada di antara kamu yang mengatakan, bahwa tidak ada kebangkitan orang mati? Kalau tidak ada kebangkitan orang mati, maka Kristus juga tidak dibangkitkan. Tetapi andaikata Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah pemberitaan kami dan sia-sialah juga kepercayaan kamu" (1Kor 15:12-14).

Percaya kepada kebangkitan orang mati antara lain berarti tidak bersikap hidup materialistis atau duniawi, melainkan hidup dan bertindak dijiwai oleh semangat spiritual, oleh Roh Kudus, sehingga menghasilkan buah-buah Roh seperti "kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri" (Gal 5:22-23). Sedangkan mereka yang tidak percaya kepada kebangkitan orang mati pada umumnya hidup dan bertindak lebih dijiwai oleh roh jahat, sehinga menghasilkan buah-buah seperti "percabulan, kecemaran, hawa nafsu, penyembahan berhala, sihir, perseteruan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, percideraan, roh pemecah, kedengkian, kemabukan, pesta pora dan sebagainya" (Gal 5:19-21)
Sebagai umat beriman kami berharap kita semua `percaya kepada kebangkitan orang mati' dan dengan demikian tidak bersikap mental materialistis dalam hidup sehari-hari. "Jika tidak menaruh harapan bahwa orang-orang yang gugur itu akan bangkit, niscaya percuma dan hampalah mendoakan orang-orang mati" (2Mak 12:44).
Percaya kepada kebangkitan orang mati erat kaitannya dengan hidup doa, mendoakan mereka yang telah dipanggil Tuhan. Maka baiklah kita dengan penuh harapan berdoa, hidup dan bertindak dijiwai oleh Roh Kudus. Kita imani kemurahan hati Tuhan bagi saudara-saudari kita yang telah dipanggil Tuhan. Percaya kepada kemurahan hati Tuhan berarti kita harus bermurah hati, sehingga dalam kebersamaan hidup kita saling bermurah hati.

Bermurah hati mungkin tak akan terlepas dari aneka macam bentuk penderitaan, antara lain dapat dicurigai, diejek atau dihina dan tentu saja butuh perjuangan dan pengorbanan. Namun demikian marilah kita imani bahwa derita, perjuangan dan pengorbanan tersebut tidak akan sia-sia, asal hal itu kita laksanakan sesuai dengan kehendak Tuhan atau bisikan Roh Kudus. Marilah sebagai orang yang percaya kepada Yesus Kristus kita kenangkan Yesus yang telah rela menderita dan wafat di kayu salib demi keselamatan atau kebahagiaan seluruh dunia. `Salib/wafat Yesus dan kebangkitan-Nya' adalah satu, tak dapat dipisahkan, pada saat Ia wafat saat itu juga dibangkitkan, hidup tiada terikat oleh ruang dan waktu melalui Roh-Nya. Dalam derita, perjuangan dan pengorbanan sekaligus kita nikmati kebahagiaan dan kegembiraan sejati, itulah misteri iman.

"Dari jurang yang dalam aku berseru kepada-Mu, ya TUHAN! Tuhan, dengarkanlah suaraku! Biarlah telinga-Mu menaruh perhatian kepada suara permohonanku. Jika Engkau, ya TUHAN, mengingat-ingat kesalahan-kesalahan, Tuhan, siapakah yang dapat tahan? Tetapi pada-Mu ada pengampunan, supaya Engkau ditakuti orang. Aku menanti-nantikan TUHAN, jiwaku menanti-nanti, dan aku mengharapkan firman-Nya. Jiwaku mengharapkan Tuhan lebih dari pada pengawal mengharapkan pagi, lebih dari pada pengawal mengharapkan pagi." (Mzm 1301-6)

Jakarta, 2 November 2010



Romo. Ign. Sumarya, SJ.