Hendaklah kamu juga siap sedia, karena Anak Manusia datang pada saat yang tidak kamu sangka-sangka (Luk 12:35-40)

Sabtu-Minggu, 07-08 Agustus 2010 - Hari Minggu Biasa XIX

Keb 18:6-9; Ibr 11:1-2.8-12; Luk 12:35-40


Saudara-saudari terkasih,

Ada seorang guru ilmu bumi yang mempunyai kebiasaan untuk memberikan tes mendadak kepada siswanya. Maka, para siswa harus selalu siap sedia. Bila tidak, mereka akan gagal dalam tes mendadak itu.

Cara semacam ini sering kali membuat siswa serba susah. Belajar terus tapi tidak tahu kapan ujiannya juga membuat jengkel. Tetapi tidak belajar sama sekali juga semakin membuat tidak tenang. Siap sedia adalah sikap paling bijaksana untuk menghadapi segala keadaan dan kemungkinan. Jika kita siap, kita akan tenang dan kuat, tidak banyak khawatir dan berdalih.

Dalam hidup rohani sikap siap sedia juga sangat penting. Kita tidak tahu kapan kematian kita akan tiba. Kita tidak tahu kapan Tuhan akan memanggil kita. Hal itu dapat setiap saat. Maka, kita perlu siap sedia sehingga jika waktu itu datang. Kita siap menyambut Tuhan dengan gembira. Salah satu cara untuk mempersiapkan hidup kita ialah tidak jemu berbuat baik kepada sesama dan selalu mempererat hubungan pribadi kita dengan Tuhan. Kesiapan atau ketidaksiapan menghadapi kedatangan Tuhan sungguh sangat tergantung diri sendiri. Hal ini pun berlaku untuk hal-hal lain yang biasa dalam hidup sehari-hari.

Dari bacaan kedua, "Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat”. (Ibr 11:1) Dengan sikap iman kepada Tuhan, kita dimampukan untuk membangun harapan-harapan yang lebih realistis dan sesuai dengan rencana Allah; bukan membangun harapan menurut rencana dan keinginan kita sendiri. Sehingga kita selaku umat percaya senantiasa mengedepankan sikap taat kepada Tuhan, walaupun kita saat itu belum bahkan mungkin akhirnya tidak memperoleh apa yang kita harapkan dan inginkan. Dalam hal ini kita perlu memiliki iman menurut model Abraham yang senantiasa diuji oleh Allah dalam seluruh hidupnya. Dia diperintahkan Allah keluar dari negeri dan tanah kelahirannya menuju negeri yang belum diketahui dengan baik (Ibr. 11:8-9). Dia taat kepada sabda Tuhan tentang janji keturunan baginya, walau dia sebenarnya waktu itu sudah mati pucuk (Ibr. 11:12). Tuhan memberkati.


Share|

HOMILI: Sabtu-Minggu, 07-08 Agustus 2010 Hari Minggu Biasa XIX

Hari Minggu Biasa XIX: Keb 18:6-9; Ibr II:1-2.8-19; Luk 12:32-48


“Hendaklah kamu juga siap sedia, karena Anak Manusia datang pada saat yang tidak kamu sangkakan.”


Jika kita cermati dalam kehidupan atau kinerja kita, ada salah satu kecenderungan umum yang terjadi dalam diri kita, yaitu menunda pekerjaan dan bekerja keras pada minggu, hari, jam atau menit terakhir. Misalnya: para murid atau pelajar serta mahasiwa hanya belajar menjelang ulangan umum atau ujian, bahkan satu jam sebelum ulangan atau ujian masih belajar. Sikap mental macam itu kelak kemudian hari akan berkembang menjadi orang dewasa (pekerja) yang suka menunda tugas pekerjaan serta kerja keras pada hari-hari atau jam-jam terakhir sampai kurang tidur dan kurang makan. Cara kerja mereka bagaikan salah satu ciri wartawan yang harus menulis dan melaporkan kerjanya sesegera mungkin sebelum edit dan pencetakan majalah atau surat kabar dikerjakan. Namun wartawan hemat saya tidak hanya bekerja pada jam-jam terakhir untuk mengejar ‘death line’ saja, tetapi mereka harus bekerja siang malam terus menerus dalam rangka mencari berita yang baik dan diharapkan. Para wartawan pada umumnya senantiasa siap sedia dan peka terhadap aneka peristiwa maupun issue serta ajakan atau panggilan untuk meliputi kejadian. Memang para wartawan tahu kapan harus batas akhir harus melapor, namun mereka tidak hanya asal lapor saja, tetapi berusaha seoptimal mungkin apa yang dilaporkan akan menjadi berita yang menarik, menyelamatkan dan membahagiakan banyak orang. Masing-masing dari kita tidak tahu kapan kita meninggal dunia atau dipanggil Tuhan, dan sewaktu-waktu, kapan saja dan dimana saja kita dapat meninggal dunia, misalnya karena kecelakaan lalu lintas atau bencana alam. Siapkah kita sewaktu-waktu dipanggil Tuhan atau meninggal dunia? Karena kita tidak tahu kematian kita, marilah kita senantiasa siap sedia untuk meninggal dunia atau dipanggil Tuhan.

“Ketahuilah ini: Jika tuan rumah tahu pukul berapa pencuri akan datang, ia tidak akan membiarkan rumahnya dibongkar. Hendaklah kamu juga siap sedia, karena Anak Manusia datang pada saat yang tidak kamu sangkakan." (Luk 12:39-40)

Yang dimaksudkan dengan kedatangan ‘Anak Manusia’ disini adalah akhir zaman atau hari kiamat. Bagi kita masing-masing akhir zaman itu berarti kematian kita, ketika dipanggil Tuhan. Siap sediakah kita setiap saat dipanggil Tuhan alias meninggal dunia? Jam-jam atau menit-menit atau detik-detik terakhir hidup orang yang akan dipanggil Tuhan pada umumnya gelisah, jika yang bersangkutan senantiasa hidup dan bersatu dengan Tuhan maka kegelisahan itu lembut sekali, sebaliknya jika orang tidak bersatu dengan Tuhan dalam hidup sehari-hari maka kegelisahannya luar biasa, antara lain berteriak-teriak, kaki jejak sana-sini, tangan gerak ke sana kemari dst.. (bahasa Jawa -> ‘mecati’). Bersama dan bersatu dengan Tuhan berarti hidup baik dan berbudi pekerti luhur, hidup dan bertindak dijiwai oleh iman.

Peringatan agar kita senantiasa siap sedia sewaktu-waktu dipanggil Tuhan berarti kita diharapkan hidup baik dan berbudi pekerti luhur. Maka baiklah sekali lagi saya kutipkan ciri-ciri berbudi pekerti luhur di bawah ini untuk kita fahami, refleksikan dan hayati dalam hidup kita sehari-hari, yaitu: “bekerja keras, berani memikul resiko, berdisiplin, beriman, berhati lembut, berinisiatif, berpikir matang, berpikiran jauh ke depan, bersahaja, bersemangat, bersikap konstruktif, bersyukur, bertanggung jawab, bertenggang rasa, bijaksana, cerdik, cermat, dinamis, efisien, gigih, hemat, jujur, berkemauan keras, kreatif, kukuh hati, lugas, mandiri, mawas diri, menghargai karya orang lain, menghargai kesehatan, menghargai waktu, pemaaf, pemurah, pengabdian, pengendalian diri, produktif, rajin, ramah tamah, rasa kasih sayang, rasa percaya diri, rela berkorban, rendah hati, sabar, setia, sikap adil, sikap hormat, sikap tertib, sopan santun, sportif, susila, tangguh, tegas, tekun, tetap janji, terbuka dan ulet “ (Prof.Dr.Sedyawati: Pedoman Penananam Budi Pekerti Luhur, Balai Pustaka, Jakarta 1997). Kiranya kita tak mungkin menghayati semua ciri tersebut sepenuhnya, tetapi hemat kami ketika kita unggul dalam salah satu ciri tersebut di atas berarti secara inklusif ciri-ciri yang lain dihayati juga. Maka baiklah masing-masing dari kita mengusahakan nilai atau ciri mana yang paling cocok atau memadai untuk dengan unggul kita hayati dalam hidup kita sehari-hari.

Diam-diam anak-anak suci dari orang yang baik mempersembahkan korban dan sehati membebankan kepada dirinya kewajiban ilahi ini: orang-orang suci sama-sama akan mengambil bagian baik dalam hal-hal yang baik maupun dalam bahaya. Dalam pada itu sebelumnya sudah mereka dengungkan lagu-lagu pujian para leluhur” (Keb 18:9)

Kita semua diharapkan menjadi orang yang suci dan baik. Suci berarti senantiasa mempersembahkan atau menyisihkan diri seutuhnya kepada Tuhan di dalam hidup sehari-hari, sehingga hidup dan bertindak sesuai dengan kehendak Tuhan. Ingat bahwa dibaptis berarti disucikan, dan ketika dibaptis antara lain dahi kita dicurahi air diiringi dengan kata-kata “…aku membaptis engkau dalam nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus’. Dalam kebiasaan beberapa aliran/sekte Kristen pembaptisan dilakukan dengan menenggelamkan seluruh tubuh dalam air kolam. Dahi dicurahi air berarti otak atau pikiran kita dibersihkan atau disucikan. Apa yang akan kita lakukan hari ini tergantung apa yang ketika bangun pagi kita pikirkan, yang ada dalam pikiran kita masing-masing. Semoga dalam pikiran kita senantiasa apa yang suci dan baik. Ingat juga bahwa ketika dibaptis kita diharapkan berpakaian putih bersih yang melambangkan kesucian; semoga kita setia menjaga kesucian hati, jiwa, pikiran dan tubuh kita.

Orang-orang suci sama-sama akan mengambil bagian baik dalam hal-hal yang baik maupun dalam bahaya”, demikian peringatan penulis kitab Kebijaksanaan. Peringatan ini kiranya senada dengan kutipan dari surat Ibrani ini,yaitu “Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat. Sebab oleh imanlah telah diberikan kesaksian kepada nenek moyang kita” (Ibr 11:1-2) Yang mungkin baik kita refleksikan kiranya adalah bahwa orang-orang suci mengambil bagian dalam bahaya, mengingat dan memperhatikan banyak di antara kita cenderung untuk menghindari atau melepaskan diri dari bahaya begitu saja tanpa alasan. Tumbuh berkembang dalam iman atau kesucian atau setia hidup suci memang tak akan terlepas dari aneka macam bahaya, termasuk bahaya mati atau dipanggil Tuhan sewaktu-waktu. Orang-orang suci takkan takut terhadap aneka macam bahaya.

Apa yang saya kutipkan dari surat Ibrani di atas selayaknya kita renungkan dan hayati juga, yaitu bahwa ‘iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat’. Apa yang disebut dengan harapan memang tak terlihat atau masih samara-samar dan tidak jelas secara akal sehat. Kita semua memliki harapan, entah harapan untuk sukses dalam belajar atau bekerja, harapan sukses menghayati hidup terpanggil sebagai suami-isteri, imam, bruder atau suster, dst.. Iman mendasari harapan berarti jika kita mendambakan apa yang kita harapkan terwujud atau menjadi kenyataan, kita diharapkan dengan sungguh-sungguh dalam belajar atau bekerja, dalam menghayati hidup terpanggil, setia dan mentaati aneka aturan dan tatanan yang terkait dengan hidup, panggilan dan tugas pengutusan.

“Sesungguhnya, mata TUHAN tertuju kepada mereka yang takut akan Dia, kepada mereka yang berharap akan kasih setia-Nya, untuk melepaskan jiwa mereka dari pada maut dan memelihara hidup mereka pada masa kelaparan. Jiwa kita menanti-nantikan TUHAN. Dialah penolong kita dan perisai kita! Kasih setia-Mu, ya TUHAN, kiranya menyertai kami, seperti kami berharap kepada-Mu.”

(Mzm 33:18-20.22)

Jakarta, 8 Agustus 2010


Romo. Ign Sumarya, SJ




Share|

HOMILI: Pesta Yesus menampakkan kemuliaan-Nya

“Betapa bahagianya kami berada di tempat ini”

(2Ptr 1:16-19; Luk 9:28b-36)


“Yesus membawa Petrus, Yohanes dan Yakobus, lalu naik ke atas gunung untuk berdoa. Ketika Ia sedang berdoa, rupa wajah-Nya berubah dan pakaian-Nya menjadi putih berkilau-kilauan.Dan tampaklah dua orang berbicara dengan Dia, yaitu Musa dan Elia. Keduanya menampakkan diri dalam kemuliaan dan berbicara tentang tujuan kepergian-Nya yang akan digenapi-Nya di Yerusalem. Sementara itu Petrus dan teman-temannya telah tertidur dan ketika mereka terbangun mereka melihat Yesus dalam kemuliaan-Nya: dan kedua orang yang berdiri di dekat-Nya itu. Dan ketika kedua orang itu hendak meninggalkan Yesus, Petrus berkata kepada-Nya: "Guru, betapa bahagianya kami berada di tempat ini. Baiklah kami dirikan sekarang tiga kemah, satu untuk Engkau, satu untuk Musa dan satu untuk Elia." Tetapi Petrus tidak tahu apa yang dikatakannya itu. Sementara ia berkata demikian, datanglah awan menaungi mereka. Dan ketika mereka masuk ke dalam awan itu, takutlah mereka. Maka terdengarlah suara dari dalam awan itu, yang berkata: "Inilah Anak-Ku yang Kupilih, dengarkanlah Dia." Ketika suara itu terdengar, nampaklah Yesus tinggal seorang diri. Dan murid-murid itu merahasiakannya, dan pada masa itu mereka tidak menceriterakan kepada siapa pun apa yang telah mereka lihat itu.” (Luk 9:28b-36), demikian kutipan Warta Gembira hari ini.


Berrefleksi atas bacaan-bacaan dalam rangka mengenangkan pesta “Yesus Menampakkan Kemuliaan-Nya” hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:


· Pengalaman ‘fascinosum’ atau mempesona, itulah yang dialami oleh Petrus, Yohanes dan Yakobus, ketika mengalami “Yesus Menampakkan KemuliaanNya”, sehingga mereka sungguh merasa bahagia. Ketika orang memgalami yang demikian itu pada umumnya muncul dari kebahagiaan hatinya suatu cita-cita mulia sebagaimana dikatakan oleh Petrus “Baiklah kami dirikan sekarang tiga kemah, satu untuk Engkau, satu untuk Musa dan satu untuk Elia”. Kemah memang merupakan tempat berteduh yang sungguh mempesona dan membahagiakan dan tentu saja hal itu terjadi bagi mereka yang memiliki pengalaman berkemah. Baiklah kami mengajak anda sekalian untuk mengenangkan aneka macam pengalaman mempesona dan membahagiakan dalam perjalanan hidup, panggilan dan tugas pengutusan kita masing-masing, misalnya ketika sedang/baru saja menerima Sakramen Baptis, Sakramen Perkawinan, Sakramen Imamat atau Berkaul, dst.. atau mungkin pengalaman konkret lain misalnya para suami-isteri ketika sedang bermesraan berdua dimana saling curhat, membelai, mencium, memeluk dst.. sampai pada hubungan seksual. Ketika anda mengalami tantangan, masalah atau hambatan dalam hidup, panggilan dan tugas pengutusan baiklah kita kenangkan atau angkat kembali pengalaman yang mempesona tersebut untuk menambah dan memeperkuat keperucayaan diri dalam menghadapi tantangan, hambatan atau masalah.


· Alangkah baiknya kalau kamu memperhatikannya sama seperti memperhatikan pelita yang bercahaya di tempat yang gelap sampai fajar menyingsing dan bintang timur terbit bersinar di dalam hatimu” (2Ptr 1:19), demikian nasihat Petrus kepada kita semua umat beriman. Ketika di dalam gelap ada pelita bernyala, maka perhatian kita sepenuhnya akan terarah ke pelita tersebut, dan kita sungguh merasa bahagia, bergairah dan aman. Hati kita masing-masing diharapkan senantiasa bahagia dan bergairah dalam menghadapi aneka macam tantangan, masalah dan hambatan kehidupan, dan dengan demikian kita menghadapinya dengan gembira dan ceria. Dalam kegembiraan, keceriaan, kebahagaian dan kegairahan berarti kinerja syaraf serta metabolisme darah di dalam tubuh kita berfungsi secara prima, sehingga kita memiliki keteguhan hati mendalam. Dalam keadaan demikian otak atau pikiran kita ‘encer’, berada dalam terang sehingga dapat memperhatikan, melihat dan memperlakukan segala sesuatu pada tempat, sesuai dengan fungsinya masing-masing. Hidup sekali hendaknya terus bergembira saja. Punya hutang atau tidak punya hutang, punya masalah atau tak punya masalah lebih baik terus gembira dan ceria daripada sedih atau cemberut. Orang yang gembira dan ceria senantiasa menarik perhatian, sebagaimana terjadi pada mereka yang gila/sakit jiwa, dan pada umumnya tidak pernah menyakiti orang lain. Bukankah ketika ada orang gila/sakit jiwa lewat sambil menyanyi, berjoget, atau asal omong saja, maka mereka yang melihatnya merasa memperoleh hiburan gratis? Marilah kita menjadi orang yang ‘gila akan sinar terang sejati/Roh Kudus’, sehingga kita senantiasa tetap dalam keadaan gembira, ceria, bahagia dan bergairah serta menarik semua orang.


“TUHAN adalah Raja! Biarlah bumi bersorak-sorak, biarlah banyak pulau bersukacita! Awan dan kekelaman ada sekeliling Dia, keadilan dan hukum adalah tumpuan takhta-Nya. Gunung-gunung luluh seperti lilin di hadapan TUHAN, di hadapan Tuhan seluruh bumi. Langit memberitakan keadilan-Nya, dan segala bangsa melihat kemuliaan-Nya.” (Mzm 97:1-2.5-6)



Jakarta, 6 Agustus 2010


Romo Ign Sumarya, SJ




Share
|

Buku Tamu

Anda memiliki informasi-informasi yang perlu disampaikan ke blog ini atau ingin menyampaikan salam, sapaan, silahkan isi formulir dibawah ini. Terima kasih.



  • Syarat dan ketentuan: Tulisan Sopan, tidak disingkat (contoh: BuK4Nk@h tuLiSaN iNi tIdaK eNAk dIBaCa?
  • Tulisan bukan SARA, bukan fitnah, tidak promosi atau mendiskreditkan pihak maupun produk tertentu.

“Jadilah kepadamu seperti yang kaukehendaki." (Yer 31:1-7; Mat 15:21-28)

“Lalu Yesus pergi dari situ dan menyingkir ke daerah Tirus dan Sidon. Maka datanglah seorang perempuan Kanaan dari daerah itu dan berseru: "Kasihanilah aku, ya Tuhan, Anak Daud, karena anakku perempuan kerasukan setan dan sangat menderita." Tetapi Yesus sama sekali tidak menjawabnya. Lalu murid-murid-Nya datang dan meminta kepada-Nya: "Suruhlah ia pergi, ia mengikuti kita dengan berteriak-teriak." Jawab Yesus: "Aku diutus hanya kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel." Tetapi perempuan itu mendekat dan menyembah Dia sambil berkata: "Tuhan, tolonglah aku." Tetapi Yesus menjawab: "Tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing." Kata perempuan itu: "Benar Tuhan, namun anjing itu makan remah-remah yang jatuh dari meja tuannya." Maka Yesus menjawab dan berkata kepadanya: "Hai ibu, besar imanmu, maka jadilah kepadamu seperti yang kaukehendaki." Dan seketika itu juga anaknya sembuh.” (Mat 15:21-28), demikian kutipan Warta Gembira hari ini.

Berrefleksi atas bacaan-bacaan serta mengenangkan pesta St.Yohanes Maria Vianney, imam dan pelindung para imam, hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:

· Yohanes Maria Vianney dikenal sebagai pastor desa, yang dengan penuh kesabaran, kerendahan hati dan matiraga selama berjam-jam duduk di kamar pengakuan untuk menerimakan Sakramen Tobat bagi umat yang datang kepadanya. Baik Yohanes Maria Vianney maupun umat yang datang kepadanya kiranya memiliki sikap iman yang sama yaitu “kasihanilah aku, ya Tuhan” dengan penuh kepercayaan bahwa Tuhan akan menganugerahi apa yang terbaik demi keselamatan jiwa mereka. Maka baiklah kami mengajak rekan pastor khususnya maupun umat pada umumnya untuk memiliki sikap iman tersebut dalam rangka menghayati panggilan, tugas pengutusan maupun melaksanakan aneka kewajiban. Kepada rekan pastor kami berharap untuk senantiasa bersikap rendah hati dan terbuka bagi siapapun yang datang untuk minta bantuan atau secara khusus ingin mengaku dosa. Marilah kita melayani umat dengan kerendahan hati yang mendalam. Sedangkan kepada umat pada umumnya kami ajak juga untuk dengan rendah hati menyadari dan menghayati kelemahan dan kerapuhannya maupun kedosaannya serta tanpa malu-malu atau ragu-ragu untuk minta bantuan kepada para pastor, sejauh dibutuhkan, entah untuk berkonsultasi/bimbingan rohani atau mengaku dosa. Hendaknya berani mengimani sabda Yesus “
Jadilah kepadamu seperti yang kau kehendaki”.

·
“Aku mengasihi engkau dengan kasih yang kekal, sebab itu Aku melanjutkan kasih setia-Ku kepadamu. Aku akan membangun engkau kembali, sehingga engkau dibangun” (Yer 31:3-4), demikian firman Tuhan kepada bangsa terpilih, kepada kita semua umat beriman. Marilah kita imani dan hayati firman ini di dalam hidup kita sehari-hari dimanapun dan kapanpun. Kasih setia Tuhan kiranya dapat kita lihat, hayati atau nikmati melalui siapapun yang berbaik hati kepada kita atau memperhatikan kita melalui aneka cara dan bentuk, lebih-lebih kita yang merasa lemah dan rapuh. Jika kita jujur dan terbuka kiranya masing-masing dari kita telah menerima kasih setia Tuhan secara melimpah ruah, maka kita juga dipanggil untuk saling membagikan kasih setia tersebut kepada sesama atau saudara-saudari kita. Ketika ada saudara-saudari kita menyalahi atau menyakiti kita hendaknya tidak balas dendam, melainkan kasihi dan ampunilah mereka. Marilah kita saling membangun atau menyehatkan diri, sehingga kebersamaan hidup kita dimanapun dan kapanpun dalam keadaan damai sejahtera dan aman tenteram. Tentu saja kami sungguh berharap bahwa hidup dalam kasih setia satu sama lain ini pertama-tama dan terutama terjadi di dalam keluarga atau komunitas kita masing-masing. Pengalaman hidup dalam kasih setia dalam keluarga atau komunitas akan menjadi modal atau kekuatan dalam hidup kasih setia dalam hidup bersama atau komunitas yang lebih luas seperti tempat kerja atau masyarakat. “Aku melanjutkan kasih setia-Ku kepadamu”, demikian firman Tuhan, maka hendaknya firman Tuhan ini juga menjadi sikap hidup kita sehari-hari dimanapun dan kapanpun. Setiap kali bertemu atau berjumpa dengan orang lain dalam hati kita senantiasa berkata “aku melanjutkan kasih setiaku kepadamu”. Kita semua diharapkan menjadi orang-orang yang sosial dengan memberi perhatian kepada mereka yang miskin dan berkekurangan, yang lemah lesu dan kurang bergairah dalam hidup.


“Dengarlah firman TUHAN, hai bangsa-bangsa, beritahukanlah itu di tanah-tanah pesisir yang jauh, katakanlah: Dia yang telah menyerakkan Israel akan mengumpulkannya kembali, dan menjaganya seperti gembala terhadap kawanan dombanya! Sebab TUHAN telah membebaskan Yakub, telah menebusnya dari tangan orang yang lebih kuat dari padanya. Mereka akan datang bersorak-sorak di atas bukit Sion, muka mereka akan berseri-seri karena kebajikan TUHAN, karena gandum, anggur dan minyak, karena anak-anak kambing domba dan lembu sapi; hidup mereka akan seperti taman yang diairi baik-baik, mereka tidak akan kembali lagi merana.” (Yer 31:10-12)



Jakarta, 4 Agustus 2010


Ign Sumarya, SJ



Share
|

AGUSTUS BULAN AJARAN SOSIAL GEREJA


Peristiwa Bangsa Bagian dari Sejarah Keselamatan Minggu, 1 Agustus 2010, saya merayakan Ekaristi Minggu Biasa XVIII di kapel Adorasi Ekaristi Abadi Gua Maria Kerep Ambarawa Keuskupan Agung Semarang (Adeka GMKA KAS). Pengumuman tentang Ekaristi itu kiranya mendapat perhatian para peziarah, sehingga ada cukup banyak umat ikut serta dalam perayaan Ekaristi pada hari pertama bulan Agustus, yang di Keuskupan Agung Semarang sejak beberapa tahun terakhir ini dijadikan sebagai Bulan Ajaran Sosial Gereja (BASG).

Gagasan menjadikan Agustus sebagai BASG berawal dari keprihatinan dan harapan yang muncul dari tegangan hidup beriman, tegangan sejarah antara cita-cita dan kenyataan, tegangan eskatologis antara sudah dan belum terjadinya keselamatan. Dalam terang iman, dari satu pihak keselamatan sudah terjadi dalam peristiwa Yesus Kristus - namun di lain pihak keselamatan itu belum terjadi sepenuhnya dalam sejarah bangsa manusia. Tegangan eskatologis demikian itu menjadi daya kekuatan bagi kita untuk tetap berharap kendati seolah-olah tanpa harapan karena keprihatinan demi keprihatinan muncul dari kenyataan sejarah hidup yang rapuh ini.

Pada bulan Agustus bangsa Indonesia mengalami peristiwa sangat menentukan ketika diproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Dalam terang iman dapatlah dikatakan bahwa peristiwa bangsa itu merupakan bagian dari sejarah keselamatan bangsa Indonesia. Selama itu kerap dialami krisis multidimensional yang menyangkut kehidupan bangsa ini, namun setiap kali pula krisis itu mengantar kita pada penegasan terhadap kesepakatan kita untuk membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia di atas dasar Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, dengan semangat "Bhinneka Tunggal Ika". Dewasa ini, setelah 65 tahun proklamasi kemerdekaan itu, krisis mutlidimensiona yang kita alami dalam dekade terakhir ini mengantar kita untuk menegaskan lagi empat pilar yang menopang kelestarian kehidupan bangsa, yaitu Pancasila, UUD 1945, dasar bangunan NKRI, dan kearifan hidup bersama "Bhinneka Tunggal Ika". Keprihatinan berhadapan dengan kenyataan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dapat saja mendorong kita menuju titik tanpa harapan ketika kita menemukan keredupan bahkan kegelapan yang mencekam karena penyakit bangsa tak tersembuhkan seperti korupsi yang seperti kanker gabas merusak seluruh jaringan kehidupan bangsa ini. Cita-cita keutuhan bangsa dalam kenyataan keberagaman dewasa ini berada di ujung tanduk ketika kita kenali ada upaya sistematik untuk mengganti dasar negara ini dengan dasar lain, yang berbeda dari semangat proklamasi 1945. Upaya tersebut bahkan disertai dengan tindak kekerasan karena memaksakan kehendak secara terang-terangan dalam ruang publik kita, negara Pancasila ini. Kendati keprihatinan-kepruhatinan tersebut mencemaskan hati kita, namun iman kita kepada Allah, yang adalah Gembala Sejarah Bangsa, tetap saja menjadi dasar bagi umat beriman untuk berharap akan masa depan yang lebih baik.

Untuk itulah kiranya, perlu kita merumuskan ulang kabar sukacita yang bersumber pada Injil Kerajaan Allah, agar kabar sukacita itu tetap relevan pada zaman kita. Ajaran Sosial Gereja, atau ASG, yang dikena dimulai dengan Ensiklik Rerum Novarum, 1981, merupakan "Evangelium applicatum", "applied Evangelium", Injil yang diterapkan untuk situasi zaman yang selalu berubah karena hal-hal baru muncul. Hal-hal baru selalu muncul, baik pada tingkat lokal maupun pada tingkat global-transnasional, dalam tanda-tanda zaman yang harus kita tangkap, kita kritisi, dan kita maknai dalam terang Injil Kerajaan Allah. Agar dinamika aksi - refleksi - aksi secara berkesinambungan terjadi itulah maka Agustus dijadikan Bulan Ajaran Sosial Gereja, atau BASG, sehingga peristiwa bangsa Indonesia, 17 Agustus, dapat dimaknai sebagai bagian dari sejarah keselamatan, ketika Allah kita akui bersama sebagai Gembala Sejarah Bangsa juga.

Untuk melancarkan pembelajaran kita mengenai ASG telah diterbitkan Kompendium Ajaran Sosial Gereja (http://www.vatican.va/roman_curia/pontifical.../kompendium_text_id.pdf), yang dapat membantu kita menemukan mutiara-mutiara berharga yang tetap cemerlang
dalam keredupan dan bahkan dalam kegelapan hidup bersama kita sebagai warga
masyarakat, bangsa dan negara Republik Indonesia. Selamat merayakan Agustus sebagai Bulan Ajaran Sosial Gereja. Dirgahayu Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Minggu, 1 Agustus 2010

Salam, doa 'n Berkat Tuhan,

dalam perjalanan dari GMKA menuju Bandung, ketika kami sampai di Pekalongan pk. 12.30.

+ Johannes Pujasumarta


Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT


HOMILI: Minggu, 01 Agustus 2010 Hari Minggu Biasa XVIII

Hari Minggu Biasa XVIII: Pkh 1:2; 2:21-23; Kol 3:1-5.9-11; Luk 12:13-21

“Demikianlah jadinya dengan orang yang mengumpulkan harta bagi dirinya sendiri, jikalau ia tidak kaya di hadapan Allah.”

Kami bercita-cita mengumpulkan harta benda atau uang untuk tujuh turunan, demi anak, cucu, buyut, canggah dst... masa depan” demikian motto beberapa orang yang serakah dan bersikap mental materialistis. Dalam terbitan majalah mingguan ‘Tempo’ akhir bulan Juni 2010, antara lain dihebohkan perihal jumlah simpanan atau rekening beberapa jendral polisi. Komentar atas tulisan itu, entah yang bersikap positif atau negatif, cukup meramaikan dalam pemberitaan di media massa, baik elektronik maupun cetak. Saat ini pun para penegak hukum sedang disibukkan oleh masalah korupsi yang telah dilakukan oleh para pejabat beserta kroni-kroninya. Tenaga dan dana cukup besar dibutuhkan untuk menangani aneka macam bentuk korupsi, termasuk mereka yang sedang berkuasa, yang mungkin terlibat dalam korupsi, harus berjuang demi pembersihan diri. Yang cukup menarik bulan lalu adalah bahwa penanganan kasus korupsi sementara ‘di peti es kan’ dengan dibesar-besarkannya kasus video porno Ariel-Luna Maya maupun kasus ‘Gaza’ perihal relawan-relawati yang konon diserang oleh tentara-tentara Israel. Mau tidak mau masyarakat disibukkan dengan dua kasus tersebut, dan lupa memperhatikan kasus-kasus korupsi. Berbagai macam peristiwa dan pemborosan waktu maupun tenaga tersebut hemat saya mencerminkan perhatian “orang yang mengumpulkan harta bagi dirinya sendiri”, sehingga suasana hidup bersama kurang damai dan selamat. Warta Gembira atau Injil hari ini kiranya dapat menjadi bahan permenungan atau refleksi yang baik bagi kita semua, maka marilah kita renungkan atau refleksikan.

“Hai engkau orang bodoh, pada malam ini juga jiwamu akan diambil dari padamu, dan apa yang telah kausediakan, untuk siapakah itu nanti? Demikianlah jadinya dengan orang yang mengumpulkan harta bagi dirinya sendiri, jikalau ia tidak kaya di hadapan Allah." (Luk 12:20-21)

Aneka bentuk harta benda atau uang dapat musnah dalam sesaat atau waktu singkat, entah karena kebakaran, banjir bandang atau judi, dst.. namun keutamaan-keutamaan atau nilai-nilai kehidupan tidak akan mudah musnah atau berkurang karena aneka macam bentuk bencana alam maupun musibah, tetapi justru semakin bertambah, handal dan mendalam. Dalam rangka hidup beriman atau beragama memang mereka yang bersikap mental materialistis atau pengumpul harta benda/uang adalah orang bodoh, miskin di hadapan Allah. Maka marilah dalam hidup dan kerja atau pelayanan kita senantiasa lebih mengutamakan atau mengedepankan keutamaan-keutamaan atau nilai-nilai kehidupan.

Pada saat itu juga Roh Kudus akan mengajar kamu apa yang harus kamu katakan." (Luk 12:12), demikian sabda Yesus. Roh Kudus hidup dan berkarya terus menerus dalam hidup dan kerja kita maupun lingkungan hidup kita, dan mengajar kita apa yang harus kita lakukan. Maka marilah kita lihat, dengarkan, laksanakan pengajaran Roh Kudus, yang antara lain menjadi nyata dalam keutamaan-keutamaan atau nilai-nilai kehidupan seperti “kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri” (Gal 5:22-23). Keutamaan-keutamaan atau nilai-nilai kehidupan ini kiranya ada dalam dan dihayati oleh saudara-saudari kita yang berkehendak baik, tanpa pandang bulu, SARA, usia, jabatan, kedudukan atau fungsi. Marilah kita dengarkan apa yang dikatakan oleh saudara-saudari kita yang berkehendak baik maupun meneladan cara hidup dan cara bertindaknya.

Kepada mereka atau siapapun yang kaya akan harta benda atau uang kami harapkan hidup penuh syukur dan terima kasih serta menghayati maupun memfungsikan semua harta benda atau uang sebagai anugerah Tuhan. Harta benda atau uang pada dasarnya bersifat sosial, maka semakin memiliki harta benda atau uang hendaknya semakin sosial, antara lain semakin memperhatikan mereka yang miskin dan berkekurangan di lingkungan hidup kita masing-masing. Dengan bertindak demikian, maka anda tidak hanya kaya akan harta benda atau uang, melainkan sekaligus kaya di hadapan Allah. Marilah kita jauhkan dan berantas sikap mental materialistis dalam diri kita masing-masing maupun dalam lingkungan hidup dan kerja atau pelayanan kita.

“Karena itu, kalau kamu dibangkitkan bersama dengan Kristus, carilah perkara yang di atas, di mana Kristus ada, duduk di sebelah kanan Allah. Pikirkanlah perkara yang di atas, bukan yang di bumi” (Kol 3:1-2)

Apa yang akan kita lakukan atau kerjakan hari ini sangat tergantung pada apa yang kita pikirkan begitu terjaga dari tidur di pagi hari. Masing-masing dari kita sebagai manusia adalah ciptaan Allah, berasal dari Allah dan diharapkan kembali kepada Allah ketika hidup kita di dunia ini berakhir. Kita berasal dari atas dan diharapkan kembali ke atas, maka baiklah kita senantiasa memikirkan perkara yang di atas. Dengan kata lain marilah kita berusaha melihat, memikirkan dan menghayati karya Allah di bumi ini melalui ciptaan-ciptaanNya, entah di dalam binatang-binatang, tumbuh-tumbuhan maupun dalam diri manusia yang diciptakan sebagai gambar atau citra Allah.

Marilah setiap pagi kita berdoa sebagaimana didoakan oleh raja Salomo,yang dikenal sebagai raja bijaksana:”Berikanlah kepada hamba-Mu ini hati yang faham menimbang perkara untuk menghakimi umat-Mu dengan dapat membedakan antara yang baik dan yang jahat, sebab siapakah yang sanggup menghakimi umat-Mu yang sangat besar ini?”(1Raj 3:9). Yang dimaksudkan dengan perkara oleh Salomo adalah ‘umur panjang atau kekayaan atau nyawa musuh’. Perkara ini kiranya juga kita hadapi setiap hari dalam hidup, kerja atau pelayanan kita, maka marilah kita senantiasa mohon kepada Tuhan agar kita dianugerahi ‘hati yang faham menimbang perkara’, agar kita mampu membedakan antara yang baik dan buruk dan kemudian memilih dan melaksanakan apa yang baik. Ingatlah dan sadarilah bahwa semakin tambah umur berarti semakin banyak perkara yang harus dihadapi, demikian juga semakin kaya akan harta benda maupun musuh alias apa atau siapa yang kurang disenangi atau tidak sesuai dengan selera pribadi.

Kami berharap kita semua berada ‘di atas’ harta benda atau uang atau aneka macam ciptaan Allah di bumi ini, sebagaimana kepada manusia yang pertama kali diciptakan, Adam, menerima tugas dari Allah "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi." (Kej 1:28). Hendaknya kita jangan sampai berada ‘ di bawah’ ciptaan lainnya maupun aneka jenis harta benda alias dijajah, sehingga kita berbakti kepada ‘berhala’. Perkembangan dan pertumbuhan aneka jenis produksi elektronik maupun assesori sedikit banyak telah mempengaruhi banyak orang lebih dikuasai atau dirajai oleh produk-produk atau harta benda tersebut daripada oleh Allah. Marilah kita saling membantu dan mengingatkan agar kita senantiasa setia menjadi ‘tuan’ atas ciptaan-ciptaan Allah lainnya di dunia ini.

“Engkau mengembalikan manusia kepada debu, dan berkata: "Kembalilah, hai anak-anak manusia!" Sebab di mata-Mu seribu tahun sama seperti hari kemarin, apabila berlalu, atau seperti suatu giliran jaga di waktu malam.Engkau menghanyutkan manusia; mereka seperti mimpi, seperti rumput yang bertumbuh, di waktu pagi berkembang dan bertumbuh, di waktu petang lisut dan layu

(Mzm 90:3-6)

Jakarta, 1 Agustus 2010


Romo Ign Sumarya, SJ




Share|