Sabtu-Minggu, 10-11 April 2010 HR Minggu Paskah II, Hari Minggu Kerahiman Ilahi

Tanggal 10-11 April 2010 ini seluruh liturgi Gereja Katolik dirayakan sebagai hari minggu kerahiman Ilahi. Apa dan bagaimana kerahiman Ilahi itu? Berikut ulasannya: Buku Catatan Harian St Faustina memuat setidak-tidaknya empatbelas bagian di mana Tuhan kita meminta suatu “Pesta Kerahiman Ilahi” ditetapkan secara resmi dalam Gereja.

“Pesta ini muncul dari lubuk kerahiman-Ku yang terdalam, dan diperteguh oleh kedalaman belas kasih-Ku yang paling lemah lembut (420)…. Adalah kehendak-Ku agar pesta ini dirayakan dengan khidmad pada hari Minggu pertama sesudah Paskah.… Aku menghendaki Pesta Kerahiman Ilahi menjadi tempat perlindungan dan tempat bernaung bagi segenap jiwa-jiwa, teristimewa para pendosa yang malang. Pada hari itu, lubuk belas kasih-Ku yang paling lemah-lembut akan terbuka. Aku akan mencurahkan suatu samudera rahmat atas jiwa-jiwa yang menghampiri sumber kerahiman-Ku (699)”

Tergerak oleh permenungan akan Allah sebagai Bapa yang Maharahim, maka Bapa Suci Yohanes Paulus II menghendaki agar sejak saat ditetapkannya, Minggu Paskah II secara resmi dirayakan sebagai Minggu Kerahiman Ilahi oleh segenap Gereja semesta. Hal ini dimaklumkan beliau pada tanggal 30 April 2000, tepat pada hari kanonisasi St Faustina Kowalska.

INDULGENSI KHUSUS PADA MINGGU KERAHIMAN ILAHI


Tuhan kita berjanji untuk menganugerahkan pengampunan penuh atas dosa dan penghukuman pada Pesta Kerahiman Ilahi, seperti dicatat sebanyak tiga kali dalam Buku Catatan Harian St Faustina; setiap kali dengan cara yang sedikit berbeda:

“Aku akan menganugerahkan pengampunan penuh kepada jiwa-jiwa yang menerima Sakramen Tobat dan menyambut Komuni Kudus pada Pesta Kerahiman Ilahi (1109).”

“Jiwa yang menghampiri Sumber Hidup pada hari ini akan dianugerahi pengampunan penuh atas dosa dan penghukuman (300).”

“Jiwa yang menerima Sakramen Tobat dan menyambut Komuni Kudus akan mendapatkan pengampunan penuh atas dosa dan penghukuman (699).”

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


BACAAN PERTAMA Kis 5:12-16
MAZMUR TANGGAPAN: Mzm 118:2-4.22.25-27a;R1
BACAAN KEDUA: Why1:9-11a12-1317-19
I N J I L: Yoh 20:19-31
Dalam suatu kesempatan audiensi dengan umat katolik yang berziarah ke Roma, di lapangan Santo Petrus, Paus Yohanes Paulus II, berkeliling dengan berdiri di atas bak mobil terbuka untuk memberi salam dan memberkati umat. Tiba-tiba ada seorang lelaki menembak Paus, dan Paus pun tersungkur didukung oleh para pengawalnya. Begitu sadar Paus langsung berkata bahwa Yang Mulia mengampuni penembaknya. Apa yang dikatakan tersebut menjadi kenyataan ketika Paus telah sembuh dari sakitnya, Paus mengunjungi penembaknya yang pada waktu itu berada di sel penjara. Sang penembak pun dengan menyesal mengaku dosa di hadapan Paus dan Paus menyampaikan kasih pengampunan atau kerahiman Ilahi kepadanya. Peristiwa itu kiranya layak kita kenangkan dalam rangka merayakan Hari Minggu Kerahiman Ilahi hari ini. Maka marilah kita renungkan sabda Yesus yang telah bangkit dari mati kepada para murid, kepada kita semua, di bawah ini.

"Terimalah Roh Kudus. Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni, dan jikalau kamu menyatakan dosa orang tetap ada, dosanya tetap ada." (Yoh 20:22-23)

Kerahiman dalam bahasa Latin adalah ‘misericordia’ ; sedangkan ‘misericordia’ dapat berarti kasihan, belas-kasihan, kerahiman, kerelaan, kemurahan, kedermawanan’. Yesus mengugerahkan Roh Kudus kepada para rasul beserta para penerusnya masa kini yaitu para uskup beserta para pembantunya, para imam, serta kuasa untuk ‘mengampuni dosa orang atau menyatakan dosa orang tetap ada’. Hemat saya apa yang lebih banyak telah diberikan dan kita terima adalah pengampunan atau kerahiman ilahi, maka selayaknya kita bersyukur dan berterima kasih dengan meneruskan pengampunan atau kerahiman Ilahi tersebut kepada saudara-saudari kita dimanapun dan kapanpun. Dalam menyampaikan pengampunan atau kerahiman ilahi kiranya secara implicit juga kita sampaikan keutamaan-keutamaan seperti arti dari kata misericordia diatas, yaitu belas-kasih, kerelaan, kemurahan dan kedermawanan. Maka kerahiman Ilahi kiranya juga dapat diwujudkan dalam bentuk harta benda atau uang, lebih-lebih dan terutama bagi mereka yang miskin dan berkekurangan.

Masing-masing dari kita pernah tinggal penuh cintakasih dan kerahiman di rahim ibu kita masing-masing selama kurang lebih sembilan bulan lamanya sebelum dilahirkan di dunia ini, dan kiranya setelah dilahirkan juga menerima terus menerus kerahiman dan kasih pengampunan dari ibu kita masing-masing. Bukankah ketika kita masih bayi sering rewel dan mengganggu ketenangan ibu dan ibu tidak marah, melainkan dengan penuh kasih mesra dan kerahiman memeluk, menciumi dan membelai serta menimang-nimang kita? Dengan kata lain masing-masing dari kita telah menerima kasih pengampunan dan kerahiman secara melimpah ruah, maka panggilan untuk membawa dan memberitakan kasih pengampunan maupun kerahiman hemat saya tidak sulit asal tidak pelit, karena kita tinggal meneruskan apa yang telah kita miliki secara melimpah ruah.

Rekan-rekan kaum wanita atau perempuan memiliki rahim, dan secara khusus bagi yang telah menjadi ibu kiranya telah mewartakan kasih pengampunan dan kerahiman luar biasa terutama dan lebih-lebih bagi anak yang telah dikandungnya selama sembilan bulan serta dilahirkan dalam derita yang membahagiakan. Maka kami berharap rekan-rekan wanita atau perempuan sungguh dapat menjadi saksi kasih pengampunan dan kerahiman Ilahi di dalam hidup sehari-hari, entah di dalam keluarga maupun tempat kerja, dimana setiap hari memboroskan waktu dan tenaga. Terutama di dalam keluarga hendaknya para ibu dapat menjadi ‘pahlawan kasih pengampunan dan kerahiman Ilahi’ bagi suami maupun anak-anaknya. Pengalaman akan apa yang terjadi di dalam keluarga akan sangat berpengaruh bagi semua anggota keluarga di dalam kehidupan bersama yang lebih luas, entah di dalam masyarakat, tempat kerja atau dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

“Mereka membawa orang-orang sakit ke luar, ke jalan raya, dan membaringkannya di atas balai-balai dan tilam, supaya, apabila Petrus lewat, setidak-tidaknya bayangannya mengenai salah seorang dari mereka.Dan juga orang banyak dari kota-kota di sekitar Yerusalem datang berduyun-duyun serta membawa orang-orang yang sakit dan orang-orang yang diganggu roh jahat. Dan mereka semua disembuhkan” (Kis 5:15-16)

Kerahiman Ilahi melalui Petrus sungguh luar biasa, karena melalui Petrus banyak orang disembuhkan dari aneka macam penyakit, bahkan mereka menerima bayangan Petrus yang sedang lewat pun percaya akan disembuhkan dari sakit atau gangguan roh jahat. Kiranya kita semua yang beriman kepada Yesus yang telah bangkit dari mati juga dipanggil untuk bersaksi seperti Petrus, kemanapun kita pergi atau dimanapun kita berada hendaknya memotivasi sesama untuk bertobat atau lebih bergairah dalam rangka menghayati panggilan atau melaksanakan tugas pengutusannya. Memang untuk itu kita sendiri diharapkan senantiasa bersama dan bersatu dengan Tuhan dalam hidup sehari-hari alias berbudi pekerti luhur atau cerdas spiritual.

Beriman pada Yesus yang telah bangkit dari mati diharapkan menjadi pribadi yang menarik, memikat, mempesona bagi orang lain untuk mendekat pada kita serta kemudian bersahabat mesra dengan kita. Mereka yang sedang menghadapi aneka masalah atau kesulitan, yang sedang menderita sakit atau kurang bergairah dalam kehidupan, dst.. tergerak untuk mendatangi kita serta mohon ditolong, maka baiklah kita tetap menjaga diri sebagai pribadi yang menarik, mempesona dan memikat. Marilah kita dengan rendah hati dan bantuan rahmat Tuhan senantiasa berusaha untuk ‘bermurah hati dan berderma’ kepada saudara-saudari kita, terutama yang miskin dan berkekurangan. Bermurah hati berarti menjual hati dengan murah kepada siapapun alias memperhatikan siapapun yang dijumpai atau hidup bersama dengan kita, sedangkan berderma rasanya erat kaitannya dengan harta benda atau uang, maka berarti memberi bantuan harta benda atau uang dengan sukarela dan besar hati.

Secara kelompok atau organisatoris kita semua juga diharapkan menjadi daya tarik, pikat dan mempesona bagi orang lain: keluarga kita, tempat kerja/kantor kita, kampung atau lingkungan hidup kita, dst.. Tanda bahwa kebersamaan hidup atau kerja kita menarik, memikat dan mempesona, antara lain adalah bahwa mereka yang pernah bergabung dengan kita atau bersama dengan meskipun hanya sesaat saja akan menceritakan atau menyebarluaskan pengalaman yang baik dan membahagiakan; dengan kata lain mereka yang pernah tinggal dan bekerja bersama dengan kita menjadi ‘sarana marketing’ kebersamaan hidup maupun karya-karya pelayanan kita. Maka dengan ini kami berharap kepada semua anggota, dalam bentuk hidup dan kerja apapun, untuk saling bekerjasama satu sama lain sehingga kebersamaan sungguh mempesona, menarik dan memikat.

“Batu yang dibuang oleh tukang-tukang bangunan telah menjadi batu penjuru. Hal itu terjadi dari pihak TUHAN, suatu perbuatan ajaib di mata kita. Inilah hari yang dijadikan TUHAN, marilah kita bersorak-sorak dan bersukacita karenanya! Ya TUHAN, berilah kiranya keselamatan! Ya TUHAN, berilah kiranya kemujuran! Diberkatilah dia yang datang dalam nama TUHAN! Kami memberkati kamu dari dalam rumah TUHAN. TUHANlah Allah, Dia menerangi kita.” (Mzm 118:22-27a)




(Ign Sumarya, SJ)





Ekaristi: Yesus bersama kita


Apakah Misa suatu kurban atau suatu perjamuan? Pertanyaan ini membawa beban berat bagi sebagian umat Katolik. Pertanyaan yang lebih baik adalah: Bagaimanakah perayaan dan pemahaman kita mengenai Ekaristi sehubungan dengan peristiwa-peristiwa mendasar iman kita: Kamis Putih, Jumat Agung dan Minggu Paskah? Ini sekaligus pertanyaan yang penting dan amat sulit. Pertanyaan inilah yang akan kita bahas dalam artikel ini.

Tetapi mengapakah saya tak hendak bertanya: Apakah Misa suatu kurban atau suatu perjamuan? Pertama-tama, dan yang terpenting, sebab ini bukan masalah salah satu dari dua /atau, melainkan, keduanya /dan. Tetapi juga, saya tak hendak mengajukan pertanyaann ini sebab bagi sebagian umat Katolik pertanyaan ini memunculkan masalah-masalah yang bukan inti artikel ini, misalnya, hubungan antara iman dan perbuatan baik, indulgensi dan identitas Katolik.

Mengunjungi Kembali Gunung Es

Dalam seri pertama “Ekaristi: Yesus Bersama Kita”, saya berbicara mengenai kiasan gunung es. Ketika kita melihat sebuah gunung es, kita sungguh melihat hanya sebagian kecil darinya. Sebagian besar dari massanya terdapat di bawah permukaan air dan tak kelihatan. Ketika kita berbicara mengenai Ekaristi dan menggunakan kata-kata kurban atau perjamuan atau kehadiran nyata, kita berhubungan bukan hanya dengan definisi kata-kata itu menurut kamus (bandingkan dengan bagian gunung es yang kelihatan) tetapi juga dengan makna-makna dan permasalahan yang tak terucapkan (bandingkan dengan bagian gunung es yang besar, yang tak kelihatan) yang tercakup dalam kata-kata itu.

Pada masa Konsili Trente (1545-1563), sebagai reaksi atas mungkin khotbah yang gencar mengenai indulgensi, ada sebagian orang yang bersikeras bahwa umat Kristiani tidak membeli “keselamatan”. Keselamatan merupakan suatu anugerah, yang diberikan secara cuma-cuma, dan kita tidak perlu menambahkan apapun pada kurban Kristus. Sebagian orang beranggapan bahwa menyebut Misa sebagai kurban memerosotkan nilai kurban Kristus yang sekali-dan-untuk-selamanya, sebab itu mereka lebih suka menyebut Ekaristi sebagai Perjamuan Tuhan. Ringkas cerita, kurban diidentifikasikan dengan identitas Katolik, dan Misa sebagai perjamuan diidentifikasikan sebagian orang sebagai sesat.

Apa Masalahnya?

Pertanyaan “perjamuan atau kurban” mungkin terdengar aneh bagi kaum muda - mereka yang dibentuk dalam iman sepanjang tahun-tahun sesudah Konsili Vatican Kedua. Tetapi bagi kami, umat Katolik yang lebih tua, itu merupakan suatu pertanyaan yang amat penting sebab jawabannya berhubungan dengan identitas Katolik kita.

Orang-orang Katolik seperti saya yang belajar katekese dalam tahun-tahun sebelum Konsili Vatican Kedua ingat bahwa jawaban atas “Apa itu Misa?” ialah “Misa adalah kurban Perjanjian Baru....” Berbicara mengenai Misa sebagai “Perjamuan Tuhan” akan terdengar asing di telinga muda saya.


Kunci Misteri

Saya yakin bahwa kunci pemahaman misteri Ekaristi terletak pada pemahaman hubungannya dengan peristiwa-peristiwa Kamis Putih, Jumat Agung dan Minggu Paskah. Saya mempergunakan ketiga peristiwa ini sebagai kiasan bagi konsep teologis “Perjamuan” (Kamis Putih), “kurban” (Jumat Agung) dan “kehadiran Tuhan yang bangkit” (Minggu Paskah).

Kata-kata pertama Konsili Vatican Kedua mengenai Ekaristi menggabungkan ketiga msiteri ini: “Pada Perjamuan Terakhir [Kamis Putih] ... Penyelamat kita mengadakan Kurban Ekaristi [Jumat Agung] ... kenangan wafat dan kebangkitan-Nya [Minggu Paskah]” (Konstitusi tentang Liturgi Suci, #47).

Seri-seri selanjutnya dari serial ini akan membicarakan “Kurban Jumat Agung” dan “Kehadiran Tuhan yang Bangkit”. Di sini kita akan melihat bentuk perjamuan dari Ekaristi (Kamis Putih).

Perjamuan dan Kurban

Menyebut Misa suatu perjamuan sama sekali bukan berarti menyangkal bahwa Misa adalah suatu kurban. Tetapi bagaimanakah kita dapat menyatukan kedua gagasan yang tampaknya berbeda ini? Jika saya katakan kepada kalian, “Saya baru saja membeli sebuah kulkas baru dan, wow, ngomong-ngomong, kulkas itu juga sebuah alat penyedot debu yang hebat,” saya yakin kalian akan berpikir ini aneh. Kulkas dan penyedot debu adalah dua peralatan yang sama sekali berbeda.

Bagi sebagian umat Kristiani, kurban dan perjamuan adalah dua cara pemahaman yang terpisah dan berbeda mengenai Ekaristi. Tantangannya adalah menyatukan keduanya. Salah satu cara menyatukan perjamuan dan kurban adalah melihat Ekaristi sebagai sakramen dari Kurban Kristus.

Pada umumnya ketika kita mendengar kata kurban, kita berpikir akan “merelakan sesuatu” seperti merelakan tidak minum kopi selama Masa Prapaskah. Atau kita berpikir akan mengurbankan binatang seperti dalam Perjanjian Lama. Dan tentu saja kita berpikir akan kurban Kristus di salib. Tetapi di sini, perhatian kita harus diarahkan melampaui darah dan aspek-aspek sengsara Jumat Agung guna melihat secara lebih mendalam pada makna peristiwa ini. Yesus memberikan Dirinya Sendiri kepada kita. Ia tak menahan apapun. Ia tak membiarkan suatupun menghalangi antara kehendak-Nya dan kehendak Allah. Di sini kita melihat tujuan utama kurban: persatuan dengan Allah, sungguh persatuan penuh sukacita dengan Allah.

Sekarang kita hadir dalam kurban Kristus di Kalvari dalam suatu cara yang nyata namun mistis ketika kita berkumpul bersama dalam perjamuan kudus yang ditinggalkan-Nya bagi kita pada malam sebelum Ia menderita. Dalam perjamuan itu, kita makan daging-Nya dan minum darah-Nya dan kita masuk ke dalam persatuan sukacita dengan Tuhan. Dalam berbagi perjamuan, Komuni Kudus (communio, persatuan) kita menjadi satu dengan Kristus dan dengan satu sama lain.

Kita tak perlu menanyakan apakah Misa adalah suatu perjamuan atau suatu kurban. Ini bukan masalah satu dari dua /atau, ini masalah keduanya /dan. Perjamuan adalah tanda sakramental dari kurban. Setiap sakremen adalah suatu tanda kelihatan dari rahmat yang tak kelihatan. Dalam Perayaan Ekaristi, tanda kelihatannya adalah komunitas yang berkumpul yang berbagi perjamuan kudus, makan dan minum tubuh dan darah Tuhan dan menggenapi perintah “Lakukanlah ini untuk mengenangkan Daku.”

Suatu Analogi Syukur

Perjamuan adalah tanda sakramental dari kurban; guna memahami Ekaristi adalah penting mengetahui sesuatu mengenai perjamuan. Perjamuan menyangkut lebih dari sekedar menyantap makanan. Marilah membayangkan apa-apa yang terjadi dalam suatu perjamuan syukur tradisional.

Pertama-tama, keluarga besar berkumpul pada waktu dan tempat yang telah ditentukan. Kita menyambut sanak-saudara dan sahabat dan melewatkan waktu dalam percakapan, saling berbagi cerita. Kita menanyakan kabar mereka yang telah beberapa waktu lamanya tidak kita jumpai dan kita mendengarkan sementara Paman Otto sekali lagi menceritakan kisah favoritnya mengenai orangtua kita ketika mereka masih muda.

Akhirnya tibalah waktu untuk makan bersama. Kita pindah ke ruang makan, dan makanan dibawa dari dapur dan disajikan di meja. Di tengah harum lezat makanan yang menggugah selera, kepala keluarga mengundang kita untuk berdoa dan mengucap syukur kepada Tuhan atas makanan ini dan atas segala berkat-Nya. Lalu makanan diedarkan dan anggur dituang dan kita makan dan minum. Setelah sedikit berbincang-bincang lagi, kita pulang ke rumah, gembira dan kenyang, sudah membayangkan perjamuan syukur tahun depan.

Ketika saya menggunakan contoh di atas untuk menjelaskan Ekaristi, saya menunjukkan bahwa perjamuan syukur memiliki empat bagian atau pergerakan: kita 1) berkumpul; 2) bercerita; 3) makan bersama dan 4) pulang ke rumah. Ekaristi memiliki struktur serupa: 1) berkumpul; 2) bercerita; 3) makan bersama dan 4) pengutusan.

Suatu contoh biblis

Saya biasa berpikir bahwa ini adalah struktur yang sama dengan yang ada di benak Santo Lukas ketika ia menggambarkan Ekaristi dengan dua murid dari Emaus (Lukas 24:13-35). Sementara mereka berjalan, seorang asing menggabungkan diri dengan mereka. Mereka menceritakan kisah mereka dan mengingat Kitab Suci. Mereka mengundang masuk si orang asing dan, sementara makan bersama, mereka “mengenali-Nya ketika Ia memecah-mecahkan roti”. Dipenuhi sukacita dan kekuatan dari mengalami Tuhan yang bangkit, mereka bergegas kembali ke Yerusalem untuk menyampaikan kepada para rasul lain Kabar Baik. Lagi, kita melihat: berkumpul, bercerita, makan bersama dan pengutusan.

Dalam dua seri sebelumnya dari serial ini, kita telah melihat Ritus Pembuka dalam “Komunitas Berkumpul” dan penyampaian cerita (Liturgi Sabda) dalam “Lakukanlah Ini Untuk Mengenangkan Daku”. Ini menghantar kita ke bagian ketiga dari Ekaristi: makan bersama.

Dalam perjamuan syukur, makan bersama memiliki tiga gerakan: 1) makanan di bawa ke meja; 2) kita mengucap syukur; dan 3) kita mengedarkan makanan dan makan dan minum. Ketiga gerakan yang sama ini kita temukan dalam perjamuan Ekaristi: 1) kita menyiapkan meja (Persiapan Persembahan); 2) kita mengucap syukur (Doa Syukur Agung); dan 3) kita makan dan minum (Komuni).


Persiapan Persembahan

Tiga unsur kunci dalam Persiapan Persembahan adalah: 1) membawa roti dan anggur dari jemaat; 2) menempatkannya di altar / meja; dan 3) memanjatkan doa atas persembahan. Pencampuran air dalam anggur dan pembasuhan tangan adalah tindakan-tindakan yang dilakukan orang-orang Yahudi dalam setiap ritual perjamuan dan yang, tak diragukan lagi, dilakukan Yesus juga dalam Perjamuan Malam Terakhir. Ritual ini mengingatkan kita akan dimensi perjamuan dari Ekaristi. Pada masa-masa sebelum uang menjadi sarana pertukaran yang lazim, perarakan menghantarkan roti dan anggur guna menyiapkan meja untuk Perjamuan Tuhan juga adalah kesempatan ketika orang-orang menghantarkan roti dan anggur, buah dan sayur, dll untuk menopang para pelayan Gereja, kaum miskin dan tahanan.

Sekarang, perarakan ini adalah saat ketika kita juga memberikan persembahan berupa uang. Dalam berbagi buah-buah karya kita, masing-masing kita dengan cara kita sendiri berpartisipasi dalam misi Gereja untuk memaklumkan hingga ke ujung-ujung bumi Kabar Gembira bahwa kita telah diselamatkan oleh salib Kristus dan untuk mengenapi perintah Tuhan untuk memberi makan mereka yang lapar dan memberi minum mereka yang haus.

Penyampaian persembahan kita dan gerak imam mengunjukkan roti dan anggur adalah alasan mengapa dulunya kita menyebut bagian Misa ini Persembahan. Sekarang doa persembahan dipanjatkan dalam Doa Syukur Agung; sehingga nama yang lebih tepat bagi bagian Misa ini sekarang adalah Persiapan Persembahan.

Persiapan Persembahan diakhiri dengan imam mengundang kita untuk berdoa agar persembahan kita diterima oleh Allah. Kemudian imam memanjatkan Doa Persiapan Persembahan. Perhatikan bahwa masing-masing bagian utama Misa diakhiri dengan sebuah doa yang dimaklumkan oleh imam yang memimpin Misa. Imam memimpin doa-doa ini, tetapi ia senantiasa berdoa dalam kata ganti orang pertama jamak. Imam berdoa atas nama kita, memanjatkan doa Gereja. Dan kita menjadikan doa itu sebagai doa kita sendiri dan memberikan persetujuan kita, “terjadilah demikian” kita, “Amin” kita.


Pertukaran Yang Kudus

Para Bapa Gereja awali bersuka dalam menjelaskan pertukaran persembahan yang misteius yang terjadi dalam Misa. Kita maju dalam prosesi persembahan menghaturkan roti dan anggur kepada Allah. Allah menerima persembahan kita dan mengubahnya menjadi persembahan-Nya, Tubuh dan Darah Putra-Nya. Dan kita maju sesudahnya dalam perarakan kedua, prosesi komuni, untuk menerima anugerah, anugerah Allah. Kerapkali doa-doa Misa menyebut ini sebagai “pertukaran persembahan yang kudus”.

Kita telah mempersiapkan persembahan kita dan “menata meja”. Ini menghantar kita ke pusat inti Misa: Dosa Syukur Agung - subyek pembicaraan dalam seri selanjutnya.


* Fr. Thomas Richstatter, O.F.M., has a doctorate in liturgy and sacramental theology from the Institute Catholique de Paris. A popular writer and lecturer, Father Richstatter teaches courses on the sacraments at St. Meinrad (Indiana) School of Theology.

sumber : “The Lord's Supper,” Eucharist: Jesus With Us by Thomas Richstatter, O.F.M.; Copyright St. Anthony Messenger Press; www.americancatholic.org

Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: yesaya.indocell.net”




Simbol-simbol Paskah dan maknanya



ANAK DOMBA PASKAH

Di antara simbol-simbol Paskah yang populer, anak domba adalah yang paling penting dalam perayaan agung ini. Anak Domba Paskah, yang melambangkan Kristus, dengan bendera kemenangan, dapat dilihat dalam lukisan-lukisan yang dipasang di rumah-rumah keluarga Eropa. Doa paling kuno untuk pemberkatan anak domba ditemukan dalam buku ritual abad ketujuh biara Benediktin di Bobbio, Italia. Dua ratus tahun kemudian Roma mempergunakannya dan sesudah itu, selama berabad-abad kemudian, menu utama santap malam Paus pada Hari Raya Paskah adalah anak domba panggang. Setelah abad kesepuluh, sebagai ganti anak domba utuh, disajikan potongan-potongan daging yang lebih kecil.

Tradiri kuno anak domba Paskah juga mengilhami umat Kristiani untuk menyajikan daging anak domba sebagai hidangan populer pada masa Paskah. Hingga sekarang, daging anak domba disajikan sebagai menu utama Minggu Paskah di berbagai daerah di Eropa timur. Tetapi, seringkali bentuk-bentuk anak domba kecil terbuat dari mentega, roti atau pun gula-gula menggantikan sajian daging anak domba, dan menjadi hidangan utama jamuan Paskah.

Di abad-abad yang silam, dianggap merupakan suatu tanda keberuntungan jika orang menjumpai anak domba, teristimewa pada masa Paskah. Merupakan takhayul populer bahwa iblis, yang dapat mengambil wujud segala macam binatang, tidak pernah diperkenankan menampakkan diri dalam wujud anak domba karena simbol religiusnya.


TELUR PASKAH

Telur Paskah berasal dari tradisi kesuburan kaum Indo-Eropa. Bagi para leluhur kita yang belum mengenal ajaran Kristiani, sungguh merupakan peristiwa yang menakjubkan menyaksikan suatu makhluk hidup yang baru muncul dari suatu obyek yang tampaknya mati. Bagi mereka, telur merupakan simbol musim semi. Di masa silam, di Persia, orang biasa saling menghadiahkan telur pada saat equinox musim semi, yang bagi mereka juga menandakan dimulainya tahun yang baru.

Pada masa Kristen, telur mendapatkan makna religius, yaitu sebagai simbol makam batu darimana Kristus keluar menyongsong hidup baru melalui Kebangkitan-Nya. Selain itu ada alasan yang sangat praktis menjadikan telur sebagai tanda istimewa sukacita Paskah, yaitu karena, dulu, telur merupakan salah satu makanan pantang selama Masa Prapaskah. Kaum beriman sejak awal telah mewarnai telur-telur Paskah dengan warna-warna cerah, meminta berkat atasnya, menyantapnya, serta memberikannya kepada teman dan sahabat sebagai hadiah Paskah.

Tradisi telur Paskah berkembang di antara bangsa-bangsa Eropa utara dan di Asia segera sesudah mereka masuk Kristen. Tetapi, di antara bangsa-bangsa Eropa selatan, dan dengan demikian juga di Amerika Selatan, tradisi telur Paskah tidak pernah menjadi populer.

Ritual Romawi mempunyai tata cara khusus untuk pemberkatan telur-telur Paskah:

“Kami mohon kepada-Mu, ya Tuhan, untuk menganugerahkan berkat-Mu atas telur-telur ini, menjadikannya makanan yang sehat bagi umat beriman, yang dengan penuh syukur menyantapnya demi menghormati Kebangkitan Tuhan kami Yesus Kristus.”

Pada abad pertengahan, menurut tradisi telur-telur dibagikan pada Hari Raya Paskah kepada semua pelayan. Terdapat catatan bahwa Raja Edward I dari Inggris (1307) memerintahkan agar 450 butir telur direbus menjelang Paskah, diberi warna atau dibungkus dengan daun keemasan, yang kemudian akan dibagi-bagikannya kepada seluruh anggota keluarga kerajaan pada Hari Raya Paskah.

Telur Paskah biasanya dibagikan kepada anak-anak sebagai hadiah Paskah bersama dengan hadiah-hadiah lain. Kebiasaan ini berakar kuat di Jerman di mana telur-telur disebut “Dingeier” (telur-telur yang “dihutang”). Anak-anak tidak berlambat dalam menuntut apa yang “dihutang” dari mereka, dan dengan demikian berkembanglah berbagai macam pantun di Perancis, Jerman, Austria dan Inggris, di mana anak-anak, bahkan hingga sekarang, menuntut telur-telur Paskah sebagai hadiah mereka. Berikut adalah salah satunya yang berasal dari Austria:

Kami menyanyi, kami menyanyi lagu Paskah:
Tuhan membuatmu sehat, kuat dan pintar.
Penyakit dan badai dan segala yang jahat
kiranya jauh dari kerabat, dan ternak dan ladang.
Sekarang, berilah kami telur,
yang hijau, yang biru dan yang merah;
jika tidak, anak-anak ayammu akan mati semuanya.

Di beberapa daerah di Irlandia, anak-anak mengumpulkan telur-telur angsa dan bebek sepanjang Pekan Suci, untuk diberikan sebagai hadiah pada Minggu Paskah. Sebelumnya, pada Minggu Palma, mereka membuat sarang-sarang kecil dari batu, dan sepanjang Pekan Suci mereka mengumpulkan sebanyak mungkin telur, menyimpannya dalam sarang-sarang batu mereka yang tersembunyi. Pada Minggu Paskah, mereka memakan semuanya, membaginya dengan anak-anak lain yang masih terlalu kecil untuk mengumpulkan telur-telur mereka sendiri.

Orang-orang dewasa juga memberikan telur-telur sebagai hadiah di Irlandia. Jumlah telur yang akan dihadiahkan ditentukan menurut peribahasa kuno di kalangan rakyat Irlandia: “Satu telur untuk pria sejati; dua telur untuk pria terhormat; tiga telur untuk yang miskin; empat telur untuk yang termiskin [pengemis].”

Di kebanyakan negara, telur-telur diberi warna polos dengan pewarna dari tumbuh-tumbuhan. Di kalangan orang Chaldean, Syria dan Yunani, kaum beriman saling menghadiahkan telur-telur berwarna merah demi menghormati darah Kristus. Di daerah-daerah di Jerman dan Austria, hanya telur-telur berwarna hijau saja yang dipergunakan pada Hari Kamis Putih, tetapi telur-telur yang berwarna-warni dipergunakan selama perayaan Paskah. Orang-orang Slavic membuat pola-pola istimewa dengan emas dan perak. Di Jerman dan di beberapa negara Eropa tengah, telur-telur yang dipergunakan untuk memasak hidangan Paskah tidak dipecahkan, melainkan ditusuk dengan jarum di kedua ujungnya, lalu isinya dikeluarkan dengan meniupnya ke dalam mangkok. Kulit-kulit telur kosong diberikan kepada anak-anak untuk dipergunakan dalam berbagai macam permainan Paskah. Di beberapa daerah di Jerman, kulit-kulit telur kosong tersebut digantungkan pada semak-semak dan pohon sepanjang Pekan Paskah, mirip pohon Natal. Orang-orang Armenia menghiasi kulit telur kosong mereka dengan gambar-gambar Kristus yang Bangkit, Bunda Maria, dan gambar-gambar religius lainnya, untuk diberikan kepada anak-anak sebagai hadiah Paskah.

Berbagai Permainan Menggunakan Telur

Masa Paskah merupakan masa bermain-main dengan telur di seluruh daratan Eropa. Lomba telur tumbuk dengan berbagai macam variasinya banyak dilakukan di Syria, Iraq, dan juga Iran. Di Norwegia, permainan itu disebut knekke (ketuk). Di Jerman, Austria dan Perancis, telur yang direbus keras digelindingkan di lapangan atau bukit dan saling diadu; telur yang tetap tak retak hingga akhir dinyatakan sebagai “telur kemenangan”. Permainan ini amat digemari di Amerika lewat pesta telur gelinding di lapangan Gedung Putih di Washington.

Tradisi umum lainnya di antara anak-anak adalah perlombaan mencari telur, baik di dalam rumah maupun di kebun pada hari Minggu Paskah. Di Perancis, anak-anak mendengarkan dongeng bahwa telur-telur Paskah dijatuhkan dari lonceng-lonceng gereja dalam perjalanan mereka kembali dari Roma. Di Jerman dan Austria, keranjang-keranjang kecil berisi telur, kue-kue serta permen diletakkan di tempat-tempat tersembunyi, dan anak-anak percaya bahwa kelinci Paskah, yang juga begitu populer di negeri ini, telah meletakkan telur-telur itu beserta permennya.

Di Rusia dan Ukrainia dan juga Polandia, orang memulai santapan Paskah mereka dengan penuh sukacita setelah masa puasa Prapaskah yang panjang dengan sebutir telur yang telah diberkati pada hari Minggu Paskah. Sebelum duduk makan, sang bapak akan dengan hati-hati membagikan sepotong bagian kecil dari telur Paskah kepada setiap anggota keluarga dan para tamu, sembari mengucapkan selamat berbahagia di hari yang kudus ini. Sebelum mereka memakan telur bagian mereka dalam keheningan, mereka tidak akan duduk untuk menyantap jamuan Paskah mereka.


KELINCI PASKAH

Kelinci Paskah berasal dari tradisi kesuburan masyarakat sebelum masa Kristiani. Kelinci merupakan binatang yang paling subur menurut para leluhur, karenanya kelinci dipergunakan sebagai simbol kehidupan baru yang melimpah di masa musim semi. Kelinci Paskah tidak pernah mempunyai makna religius dalam perayaan Paskah, meskipun dagingnya yang putih, kadang-kadang, dikatakan melambangkan kemurnian dan tanpa cela. Gereja tidak pernah memberikan pemberkatan istimewa bagi kelinci. Namun demikian, kelinci mendapat peran yang menyenangkan dalam perayaan Paskah sebagai tokoh legenda penghasil telur-telur Paskah bagi anak-anak di berbagai negara. Di berbagai daerah di Jerman, dipercaya bahwa kelinci Paskah meletakkan telur-telur merah pada hari Kamis Putih dan telur-telur berbagai macam warna pada malam sebelum Minggu Paskah. Kelinci-kelinci Paskah dalam bentuk kue-kue dan gula-gula mulai populer di Jerman selatan, dan sekarang kue dan gula-gula tersebut amat disukai anak-anak di berbagai macam negara.


BABI

Jangan melupakan si babi yang memberikan dagingnya sebagai hidangan dalam jamuan Paskah tradisional. Babi selalu melambangkan keberuntungan dan kemakmuran di kalangan orang-orang Indo-Eropa. Sisa-sisa pemakaian simbol kuno ini masih tetap hidup di jaman kita sekarang. Celengan anak-anak dalam bentuk babi misalnya, merupakan perwujudan dari tradisi kuno ini.

Merupakan tradisi yang diwariskan turun-temurun dari masa sebelum masa Kristiani, untuk makan daging babi dalam berbagai perayaan. Orang-orang Inggris dan Skandinavia menyantapnya, orang-orang Jerman dan Slavia menyantap daging babi panggang pada Hari Raya Natal. Juga, di berbagai wilayah di Eropa, daging babi panggang masih tetap merupakan jamuan utama tradisional dalam pesta pernikahan dan dalam perayaan-perayaan. Pada masa Paskah, ham asap, juga daging anak domba, menjadi santapan sebagian besar bangsa Eropa sejak masa silam, serta merupakan menu Paskah tradisional di berbagai wilayah.


sumber : Easter Symbols and Foodtaken from The Easter Book by Fr. Francis S. Weiser; www.intermirifica.org
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “disarikan dan diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya”





Minggu, 04 April 2010: HR PASKAH KEBANGKITAN TUHAN

HR PASKAH KEBANGKITAN TUHAN

BACAAN PERTAMA: Kis 10:34:37-43
BACAAN KEDUA: Kol 3:1-4
I N J I L: Yoh 20:1-9 (Pagi); Luk 24:13-35 (Sore)

“Masuklah juga murid yang lain, yang lebih dahulu sampai di kubur itu dan ia melihatnya dan percaya”

Ketika saya tinggal di Wisma Uskup, Keuskupan Agung Semarang, dan bertugas sebagai Ekonom Keuskupan Agung Semarang, saya sering harus bepergian ke luar kota dan pulang larut malam. Biasanya saya membawa kendaraan sendiri atau ‘nyopir sendiri’. Ada yang sungguh menarik dan mengesan bagi saya, yaitu: ketika saya pulang tengah malam dan kendaraan sudah mendekati pintu gerbang, yang pertama kali terbangun serta menyambut kedatangan saya adalah anjing piaraan kami, bukan penjaga malam (yang mungkin tertidur). Nampaknya anjing tersebut sudah hafal dan peka akan suara mesin mobil yang saya pakai, maka begitu mendengar suara mesin mobil ybs.. ia langsung berlari cepat ke pintu gerbang, menggonggong untuk menyambut kedatangan kami. Memang kami begitu mengasihi anjing tersebut, yang memang sungguh berfungsi di malam hari sebagai penjaga malam, maka sebagai yang dikasihi ia cepat tanggap dan berlari cepat menyambut kami. Itulah yang sering terjadi dalam kehidupan bersama kita, siapapun yang merasa dikasihi pada umumnya tanggap dan cepat berreaksi ketika yang mengasihi menghadapi masalah atau di dalam kesulitan. Yohanes, adalah murid terkasih Yesus, ketika ia dan Petrus diberi tahu oleh para perempuan bahwa Yesus yang telah dimakamkan tidak ada lagi alias ‘hilang’, mereka berdua berlari menuju makam, tetapi Yohanes ‘yang lebih dahulu sampai ke kubur itu dan ia melihatnya dan percaya’.

“Masuklah juga murid yang lain, yang lebih dahulu sampai di kubur itu dan ia melihatnya dan percaya” (Yoh 20:28)

Yang terkasih datang lebih cepat, melihatnya dan menjadi percaya, itulah yang terjadi. Kata ‘melihat’ dan ‘percaya’ di dalam Injil Yohanes sering dipakai dan dengan demikian kata-kata tersebut sungguh bermakna atau berarti. Yang dapat melihat dan kemudian menjadi percaya, hemat saya tidak hanya melihat dengan mata insani/phisik melulu tetapi juga dengan mata hati dan jiwa. Apa yang dilihatnya menyingkapkan aneka pengalaman atau mengingatkan apa yang telah terjadi dan dialami. Pengalaman murid yang terkasih ini kiranya dapat menjadi bahan permenungan atau refleksi bagi kita semua.

Siapa yang terkasih di antara kita, atau dari siapa saya merasa paling dikasihi? Jawaban yang mudah atas pertanyaan ini tentu akan datang dari para suami dan isteri, kemudian dari anak-anak. Yang terkasih dan yang paling mengasihi bagi suami adalah sang isteri dan sebaliknya, sedangkan yang paling mengasihi anak-anak tentu saja orangtuanya, itulah kebenaran sejati. Maka dengan ini juga kami berharap kepada para suami, isteri, orangtua/ayah ibu dan anak-anak untuk saling melihat dan percaya; hendaknya tidak saling mencurigai ketika untuk sementara harus berpisah, entah satu hari, satu minggu atau beberapa hari. Maklum pada masa kini karena adanya HP (Hand Phone) dengan mudah orang untuk saling berkomunikasi, tetapi dengan mudah juga curiga terhadap yang terkasih dan dengan demikian setiap saat mencoba menghubungi dengan HP-nya. Sadar atau tidak kehadiran HP mau tidak mau telah menggerogoti kepercayaan satu sama lain atau juga menggerogoti sopan santun, etika atau tata-krama.

Jika kita tidak mampu mempercayai mereka yang dekat dengan kita setiap hari, entah di dalam keluarga, tempat kerja maupun masyarakat, maka rasanya akan menjadi sulit untuk percaya kepada orang lain yang belum begitu dikenal, apalagi percaya kepada Tuhan, Yang Ilahi. Maka dengan ini kami mengingatkan kita semua: marilah kita perdalam, teguhkan dan perkuat saling percaya kita kepada yang terkasih, yang setiap hari hidup atau bekerja bersama kita. Untuk membantu hal ini baiklah kita lebih mengutamakan untuk melihat apa yang baik, indah, benar, luhur dan mulia dalam diri saudara-saudari kita, yang kiranya lebih banyak daripada apa yang amburadul, jorok, salah, dst… Beriman kepada Yesus yang telah dibangkitkan dari mati berarti percaya kepada RohNya yang terus menerus bekerja, dan dengan demikian juga dipanggil untuk melihat buah-buah Roh dalam diri saudara-saudari kita maupun dalam seluruh ciptaan Allah di bumi ini. Buah-buah Roh itu antara lain “kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri.” (Gal 5:22-23) , marilah kita lihat buah-buah ini dalam diri saudara-saudari kita agar kita semakin saling percaya satu sama lain. Marilah kita renungkan juga sapaan Paulus kepada umat di Kolose di bawah ini.

“Karena itu, kalau kamu dibangkitkan bersama dengan Kristus, carilah perkara yang di atas, di mana Kristus ada, duduk di sebelah kanan Allah. Pikirkanlah perkara yang di atas, bukan yang di bumi.” (Kol 3:1-2)

Kita diingatkan oleh Paulus untuk ‘mencari dan memikirkan perkara yang di atas’, yang berarti senantiasa mengusahakan diri berbudi pekerti luhur dalam hidup sehari-hari. Maka baiklah saya kutipkan sekali lagi nilai-nilai atau keutamaan-keutamaan sebagai perwujudan berbudi pekerti luhur, yaitu : “bekerja keras, berani memikul resiko, berdisiplin, beriman, berhati lembut, berinisiatif, berpikir matang, berpikiran jauh ke depan, bersahaja, bersemangat, bersikap konstruktif, bersyukur, bertanggung jawab, bertenggang rasa, bijaksana, cerdik, cermat, dinamis, efisien, gigih, hemat, jujur, berkemauan keras, kreatif, kukuh hati, lugas, mandiri, mawas diri, menghargai karya orang lain, menghargai kesehatan, menghargai waktu, pemaaf, pemurah, pengabdian, pengendalian diri, produktif, rajin, ramah tamah, rasa kasih sayang, rasa percaya diri, rela berkorban, rendah hati, sabar, setia, sikap adil, sikap hormat, sikap tertib, sopan santun, sportif, susila, tangguh, tegas, tekun, tetap janji, terbuka dan ulet “(Prof.Dr. Edi Sedyawati/edit: Pedoman Penananam Budi Pekerti Luhur, Balai Pustaka, Jakarta 1997)

Keutamaan atau nilai mana yang menurut anda mendesak dan up to date untuk dihayati dan disebar-luaskan dalam hidup sehari-hari dalam lingkungan hidup anda, silahkan dicermati dan dipilih sendiri. Hemat saya ketika kita unggul dalam penghayatan keutamaan atau nilai tertentu, secara implisit keutamaan atau nilai lain terhayati juga. Baiklah di sini saya mengangkat keutamaan ‘disiplin’ yang menurut pengamatan saya perlu dihayati dan disebarluaskan. “Berdisiplin adalah kesadaran akan sikap dan perilaku yang sudah tertanam dalam diri sesuai dengan tata tertib yang berlaku dalam suatu keteraturan secara berkesinambungan yang diarahkan pada suatu tujuan atau sasaran yang telah ditentukan” (Prof Dr Edi Sedyawati/edit: Pedoman Penanaman Budi Pekerti Luhur, Balai Pustaka – Jakarta 1997, hal 10). Kami berharap berdisiplin ini sedini mungkin ditanamkan atau dibiasakan pada anak-anak di dalam keluarga dan sekolah-sekolah, dan tentu saja dengan teladan dari para orangtua dan para guru. Kami berharap juga kepada kita semua untuk berdisiplin di jalanan, taatilah aneka macam rambu-rambu dan petunjuk jalan yang terpampang dengan jelas. Apa yang terjadi di jalanan hemat saya dapat menjadi cermin kwalitas hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

“Tangan kanan TUHAN berkuasa meninggikan, tangan kanan TUHAN melakukan keperkasaan!" Aku tidak akan mati, tetapi hidup, dan aku akan menceritakan perbuatan-perbuatan TUHAN. Batu yang dibuang oleh tukang-tukang bangunan telah menjadi batu penjuru. Hal itu terjadi dari pihak TUHAN, suatu perbuatan ajaib di mata kita.” (Mzm 118:16-17.22-23)

‘SELAMAT PASKAH, ALLELUYA”


Jakarta, 4 April 2010

Rm. I. Sumarya .SJ.





Malam Paskah: "Mengapa kamu mencari Dia yang hidup, di antara orang mati?"

Malam Paskah

"Mengapa kamu mencari Dia yang hidup, di antara orang mati?"


Bagi banyak orang kuburan atau makam pada umumnya menakutkan, apalagi ketika baru saja orang mati yang dimakamkan atau dikubur. Rekan-rekan perempuan pada umumnya juga lebih takut daripada rekan-rekan laki-laki. Berjalan sendirian di malam hari menelusuri jalan di pinggir makam atau kuburan merasa takut sekali, itulah yang sering terjadi. Dalam Warta Gembira hari ini dikisahkan bahwa pagi-pagi benar beberapa perempuan mendatangi makam Yesus, tanpa takut dan gentar sedikitpun. Memang setelah Yesus wafat di kayu salib para murid dalam ketakutan, jangan-jangan mereka juga akan mati dengan cara disalibkan juga; dengan kata lain ketakutan menguasai para murid, lebih-lebih para murid laki-laki. Suasana sungguh genting dan menakutkan, tetapi para murid perempuan tanpa takut dan gentar mendatangi tempat Yesus dimakamkan. Yang pertama kali menanggapi secara positif kedatangan Penyelamat Dunia adalah seorang perempuan, Bunda Maria, demikian pula yang pertama kali menjadi saksi kebangkitan Penyelamat Dunia juga perempuan, yaitu "Maria dari Magdala, dan Yohana, dan Maria ibu Yakobus." . Ketika mereka sampai di makam dan batu penutup makam telah terbuka serta tidak melihat jenasah Yesus, maka mereka termangu-mangu dan bertanya-tanya dalam hatinya. Tiba-tiba datanglah malaikat yang berkata: "Mengapa kamu mencari Dia yang hidup, di antara orang mati? Ia tidak ada di sini, Ia telah bangkit. Ingatlah apa yang dikatakan-Nya kepada kamu, ketika Ia masih di Galilea, yaitu bahwa Anak Manusia harus diserahkan ke tangan orang-orang berdosa dan disalibkan, dan akan bangkit pada hari yang ketiga." (Luk 24:5-7). Marilah kita renungkan sapaan malaikat kepada para perempuan tersebut.

"Mengapa kamu mencari Dia yang hidup, di antara orang mati? Ia tidak ada di sini, Ia telah bangkit. Ingatlah apa yang dikatakan-Nya kepada kamu, ketika Ia masih di Galilea, yaitu bahwa Anak Manusia harus diserahkan ke tangan orang-orang berdosa dan disalibkan, dan akan bangkit pada hari yang ketiga." (Luk 24:5-7)

Yesus, yang telah dibangkitkan dari mati, hidup dan berkarya tanpa kenal batas waktu dan tempat melalui Rohnya yang hidup dan berkarya dalam diri manusia yang percaya kepada-Nya alias beriman. Mereka yang hidup dari dan oleh Roh antara lain menghasilkan buah-buah Roh seperti "kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri" (Gal 5:22-23). Maka marilah kita `mencari Dia yang hidup, telah dibangkitkan dari mati' dalam diri saudara-saudari kita yang hidup dari dan oleh Roh, yang menghayati keutamaan-keutamaan sebagai buah Roh tersebut diatas .

Malaikat, utusan Tuhan, mengingatkan para perempuan dan kita semua untuk "mengingat-ingat atau mengenangkan apa yang telah dikatakan-Nya kepada kamu, ketika Ia masih di Galilea', yang bagi kita antara lain berarti mengenangkan berbagai nasihat, saran, ajaran, dst.. dari orangtua kita masing-masing ketika kita masih tinggal di dalam keluarga, lebih-lebih ketika masih kanak-kanak. Kami percaya para orangtua kita masing-masing pasti juga menasihati, mengajarkan kepada kita keutamaan-keutamaan sebagai buah Roh tersebut di atas, maka baiklah sebagai orang yang beriman kepada Yesus kita menghayati keutamaan-keutamaan tersebut di dalam hidup kita sehari-hari, dimanapun dan kapanpun juga. Dari keutamaan-keutamaan tersebut di atas hemat saya yang utama dan pertama-tama harus kita hayati adalah kasih, sebagaimana juga diajarkan oleh Yesus.

Para perempuan yang di pagi-pagi buta mendatangi makam Yesus, hemat saya juga merasa telah menerima kasih Tuhan melimpah ruah. Hidup dan bertindak dalam dan oleh kasih memang tiada ketakutan sedikitpun, maka kami secara khusus berharap kepada rekan-rekan perempuan untuk menjadi saksi dan teladan dalam hal kasih dan kerahiman, dimana anda yang telah menjadi ibu telah mengandung dan melahirkan serta membesarkan yang terkasih dengan penuh kasih dan kerahiman. Sapa dan dekati serta sikapi rekan-rekan laki-laki dalam dan dengan kasih, sebagaimana dilakukan oleh para perempuan, saksi kebangkitan yang pertama, kepada Petrus, sehingga "Petrus bangun, lalu cepat-cepat pergi ke kubur itu. Ketika ia menjenguk ke dalam, ia melihat hanya kain kapan saja. Lalu ia pergi, dan ia bertanya dalam hatinya apa yang kiranya telah terjadi" (Luk 24:12). Sentuhan dan sapaan kasih pasti membuat orang bertanya-tanya dalam hati, dan membuat orang semakin bergairah dan berani menghadapi aneka tantangan, hambatan maupun masalah.

"Kematian-Nya adalah kematian terhadap dosa, satu kali dan untuk selama-lamanya, dan kehidupan-Nya adalah kehidupan bagi Allah. Demikianlah hendaknya kamu memandangnya: bahwa kamu telah mati bagi dosa, tetapi kamu hidup bagi Allah dalam Kristus Yesus" (Rm 6:10-11)

Paulus mengingatkan kita semua bahwa "kamu telah mati bagi dosa, tetapi kamu hidup bagi Allah dalam Kristus Yesus", maka marilah peringatan ini kita perhatikan dan hayati. Sebelum Trihari Suci kiranya kita telah mengaku dosa serta menyesali dosa-dosa yang telah kita lakukan dan berkehendak untuk bertobat alias memperbaharui diri. Pada malam ini juga dalam Perayaan Ekaristi untuk mengenangkan Kebangkitan Tuhan Yesus Kristus, kita juga memperbaharui janji baptis bersama-sama, antara lain berjanji untuk menolak semua godaan setan dan hanya mau mengabdi kepada Tuhan Allah saja. Rahmat Sakramen Baptis merupakan pintu masuk menjadi anggota Gereja, Umat Allah, dan menjadi dasar atau landasan iman kita, maka marilah kita perbaharui penghayatan janji baptis tersebut dalam hidup kita sehari-hari, sebagai penghayatan iman kita akan kebangkitan Tuhan Yesus Kristus.

Yang menjadi simbol atau lambang kebangkitan Tuhan adalah `Lilin Paskah' dan kita yang berpartisipasi dalam Perayaan Paskah malam ini juga menyalakan lilin dengan mengambil api dari Lilin Paskah, sambil memegang lilin yang bernyala kita memperbaharui janji baptis. Kita semua berharap dapat menjadi `lilin yang bernyala' alias menjadi `sinar terang' dalam hidup kita bersama dimanapun dan kapanpun, itulah antara lain artinya `hidup bagi Allah dalam Kristus Yesus'. Kehadiran dan sepak terjang kita dimanapun dan kapanpun diharapkan menjadi `sinar terang', sehingga memperjelas aneka masalah, mempermudah orang melangkah, menggairahkan dan menggembirakan orang lain, dst.. Menjadi `sinar terang' berarti juga menjadi petunjuk atau arah bagi orang lain menuju ke keselamatan atau kebahagiaan sejati dan banyak orang tertarik atau tergerak untuk mendekati kita.

Pada malam ini kita juga saling mengucapkan `Selamat Paskah', saling membangkitkan dan menggairahkan satu sama lain. Warna pakaian liturgi mulai malam ini juga menjadi warna terang, dari warna gelap/ungu, yang juga melambangkan perubahan dari gelap ke terang. Di dalam gelap semuanya dapat nampak sama, entah baik semua atau jelek semua, sebalinya di dalam terang nampaklah aneka macam perbedaan yang ada, perbedaan yang semakin membuat suasana semakin semarak dan ceria, karena yang berbeda hanyalah bagian luar saja, yaitu pakaian, wajah, postur tubuh dst., sedangkan bagian dalam sama, yaitu hati yang telah diperbaharui, sebagaimana dikatakan oleh nabi Yehezkiel, maka marilah kita renungkan apa yang dikatakan oleh nabi Yehezkiel di bawah ini.

"Kamu akan Kuberikan hati yang baru, dan roh yang baru di dalam batinmu dan Aku akan menjauhkan dari tubuhmu hati yang keras dan Kuberikan kepadamu hati yang taat. Roh-Ku akan Kuberikan diam di dalam batinmu dan Aku akan membuat kamu hidup menurut segala ketetapan-Ku dan tetap berpegang pada peraturan-peraturan-Ku dan melakukannya. Dan kamu akan diam di dalam negeri yang telah Kuberikan kepada nenek moyangmu dan kamu akan menjadi umat-Ku dan Aku akan menjadi Allahmu" (Yeh 36:26-28). Hati yang baru, yang taat bukan yang keras, roh yang baru di dalam batin, dianugerahkan kepada kita semua, sehingga kita mampu `hidup menurut segala ketetapan Tuhan dan tetap berpedang pada peraturan-peraturan Tuhan dan melakukannya, kita menjadi umat Allah sejati'. Kami berharap kepada kita semua untuk tidak memiliki hati yang keras, beku dan membatu, melainkan hati yang terbuka, siap sedia untuk menerima sapaan dan sentuhan dari Tuhan maupun sesama
manusia serta ciptaan-ciptaan Tuhan lainnya di bumi ini. Kita diharapkan meneladan Hati Yesus, yang terluka karena ditusuk tombak, dan dari Hati-Nya mengalir darah atau air segar, lambang sakramen-sakramen Gereja, yang menghidupkan dan menyegarkan. Kita akan memiliki hati yang demikian itu jika kita setia dan taat melaksanakan aneka ketetapan dan peraturan dari Tuhan, yang antara lain diterjemahkan ke dalam aneka aturan dan tatanan yang terkait dengan hidup, panggilan dan tugas pengutusan kita masing-masing.

Roh yang baru berarti bersemangat baru, maka dengan dianugerahi roh yang baru berarti kita diharapkan bersemangat baru dalam menghayati panggilan serta melaksanakan aneka tugas, kewajiban dan perintah. Dalam dan dengan semangat baru diharapkan kita dinamis, cekatan, gembira dan bergairah dalam menghayati panggilan serta melaksanakan tugas perutusan. Dalam dan dengan semangat baru kita tidak takut dan tidak gentar menjadi saksi-saksi iman dalam hidup sehari-hari: misalnya berlaku jujur, adil, disiplin, terbuka, dst.. serta berani memberantas aneka macam kejahatan, antara korupsi yang masih marak dan merajalela di sana-sini. Dalam dan dengan semangat baru pula marilah kita berantas aneka macam bentuk kemiskinan.

Kita adalah sama-sama umat Allah, sama-sama beriman, maka selama masih ada kemiskinan dalam kehidupan bersama kita berarti masih ada orang yang berhati keras dan memiliki roh yang lama alias berdosa. Maka baiklah sebagai penghayatan iman akan kebangkitan Tuhan, kami mengajak anda sekalian untuk mendatangi mereka yang berhati keras tersebut, sebagaimana para perempuan mendatangi para rasul. Sekeras-kerasnya hati orang kita dapat diperlembut dan dibuka, tentu saja hanya dapat didekati dan disikapi dengan hati yang taat, yang siap sedia terluka seperti Hati Yesus. Dengan dan sikap mereka yang berkeras hati dengan rendah hati, dan percayalah pada suatu saat dari hatinya pasti akan muncullah pertanyaan dan kehendak untuk mencari pencerahan atau pembaharuan.

"Jadikanlah hatiku tahir, ya Allah, dan perbaharuilah batinku dengan roh yang teguh! Janganlah membuang aku dari hadapan-Mu, dan janganlah mengambil roh-Mu yang kudus dari padaku! Bangkitkanlah kembali padaku kegirangan karena selamat yang dari pada-Mu, dan lengkapilah aku dengan roh yang rela! Maka aku akan mengajarkan jalan-Mu kepada orang-orang yang melakukan pelanggaran, supaya orang-orang berdosa berbalik kepada-Mu." (Mzm 51:12-15)


"SELAMAT PASKAH , ALLELUYA"

Jakarta, 3 April 2010


I. Sumarya, SJ






Kisah Kasih Sengsara

  • Oleh Aloys Budi Purnomo Pr
”CINTA dalam tindakan merupakan hal yang brutal dan mengerikan dibandingkan dengan kasih dalam impian!” Begitulah Fyodor Mikhaylovich Dostoyevsky (1821-1881) novelis, esais, dan filsuf asal Rusia mengungkapkan gagasan itu dalam novelnya The Brothers Karamazov (1881).

Kalimat itu menegaskan pemahamannya tentang hakikat kasih sejati. Kasih sejati terjadi dalam praksis-tindakan, bukan dalam impian dan janji. Kasih sejati siap menanggung segala risiko, sebrutal dan semengerikan apapun!

Dalam perspektif iman kristiani, kasih sejati terjadi dalam diri Yesus Kristus yang mati tersalib! Kasih sejati-Nya terwujud saat Ia menerima tindakan yang brutal dan mengerikan yang harus ditanggung-Nya pada hukuman salib.

Dalam sejarah Romawi, penyaliban adalah sebentuk tindakan brutal dan mengerikan. Namun sejak dan berkat Yesus Kristus, penyaliban diubah menjadi tanda kasih sejati. Umat kristiani sedunia mengenangkannya setiap Hari Jumat Agung, yang tahun 2010 ini jatuh pada tanggal 2 April.

Kisah tentang salib Yesus senantiasa dipahami sebagai kisah kasih dalam sengsara. Itulah sebabnya, dalam Gereja Katolik, secara liturgis, pada Hari Minggu Palma dan Jumat Agung, selalu direnungkan Passio: Kisah Sengsara Yesus Kristus. Dalam bahasa Indonesia, passio diterjemahkan sebagai penderitaan, kesengsaraan.

Sebetulnya, kata passio maknanya lebih mendalam dari sekadar penderitaan dan kesengsaraan. Dalam bahasa Latin, passio yang diturunkan dari kata patior berarti cinta yang sangat kuat sehingga mendorong seseorang untuk rela berkorban dan menanggung penderitaan. Yesus rela menanggung passio ini demi umat manusia.

Karenanya, passio-Nya bukan sekadar kesengsaraan dan penderitaan semata, melainkan demi manusia sehingga menjadi compatior atau compassio, yakni belas kasih, bela rasa, kesetiakawanan, dan solidaritas terhadap mereka yang sengsara dan menderita.

Benarlah yang direnungkan Soren Kierkegaard bahwa kerelaan Yesus untuk mengorbankan diri-Nya pada salib merupakan bukti kasih sejati walaupun harus ditanggung dalam kesengsaraan dan penderitaan. Itulah harga pasti dari kasih sejati untuk membayar dan menebus umat manusia. Harga pasti itu ditempuh melalui tindakan nyata menerima hukuman yang brutal dan mengerikan yang disebut skandal salib.
Rasa Sakit Pada zaman-Nya, salib memang merupakan skandal (bahasa Yunani: skandalon ), yang mendatangkan rasa sakit yang amat sangat, baik secara fisiologis maupun psikologis. Namun, kesakitan dan penderitaan bahkan kematian itu menjadi bukti kasih sejati.
Maka, kesengsaraan, kesakitan, dan penderitaan itu adalah sebuah kisah kasih dalam sengsara. Ini membuktikan kata-kata Yesus sendiri, ”Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang menyerahkan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya!” (Yohanes 15:13).

Kematian-Nya pada kayu salib adalah wujud penyerahan nyawa, bukti konkret tindakan kasih sejati, meski dalam peristiwa yang brutal dan mengerikan!
Tahun lalu (2009), sehari menjelang kenangan akan wafat Yesus Kristus, bangsa kita menyelenggarakan hajatan demokrasi, memilih anggota legislatif yang notabene bukan hanya menjadi wakil rakyat, melainkan juga pemimpin-pemimpin yang menentukan masa depan bangsa.

Artinya, sekarang ini, wakil rakyat terpilih tersebut sudah setahun mereka bertugas. Keputusan-keputusan politik mereka diharapkan menampilkan citra mereka sebagai pemimpin yang berbela rasa terhadap rakyat, bukan demi kepentingan kekuasaan semata.
Kita pun berhak bertanya: apakah mereka yang terpilih menjadi wakil rakyat di sehamparan negeri ini sudah tampil sebagai pemimpin berbela rasa, penuh kasih sejati yang rela menanggung kesengsaraan dan penderitaan demi rakyat yang merindukan keadilan, perlindungan, dan kesejahteraan?

Ataukah, mereka justru menjadi pembawa kesengsaraan dan penderitaan untuk rakyat karena keadilan, perlindungan, dan kesejahteraan ternyata tak kunjung mereka perjuangkan, apalagi diwujudkan?

Dalam hati hening-budi bening-jiwa jernih, kita melihat dan menangkap, dari tahun ke tahun, rakyat selalu dibuai dengan janji-janji calon pemimpin republik ini. Namun, pada saat mereka dipilih rakyat, ternyata janji-janji itu tak lebih dari isapan jempol, habis manis sepah dibuang. Bahkan, rakyat selalu harus melihat oknum wakil rakyat dan pemimpin negeri ini yang berperilaku korup dan tidak adil terhadap rakyat.

Karenanya, Kritik St Agustinus, dalam De Civitate Dei, mengenai kepemimpinan yang tidak berbela rasa dan tidak berkeadilan perlu mendapat perhatian: remota itaque iustitia quid sunt regna nisi magna latrocinia! Artinya, pemerintahan yang tidak menyelenggarakan keadilan tidak lebih dari sekawanan perampok bagi rakyatnya!

Kita merindukan hadir dan tampilnya pemimpin-pemimpin rakyat yang penuh cinta sejati yang rela berkorban dan berjuang demi rakyat, bukan demi kepentingan sendiri atau pun kelompoknya saja. Kenangan akan kesengsaraan, penderitaan dan wafat Yesus Kristus demi keselamatan umat manusia dapat menjadi inspirasi bagi siapapun untuk mewujudkan masa depan rakyat Indonesia yang kian adil dan sejahtera.

Syaratnya, mereka harus rela menjadi pemeran utama pada kisah kasih dalam sengsara untuk bangsa ini, melalui pengorbanan, bukan kehausan akan kekuasaan! Selamat Paskah! (10)

— Aloys Budi Purnomo, rohaniwan, Ketua Komisi HAK, Keuskupan Agung Semarang

Harian Suara Merdeka, Edisi: 01 April 2010
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2010/04/01/104162/Kisah-Kasih-Sengsara





Umat Katolik Diajak Terapkan Cinta Tuhan dalam Keseharian

JAKARTA, KOMPAS.com - Umat Katolik diminta untuk betul-betul bisa meresapi cinta kasih yang diberikan oleh Tuhan. Hanya dengan merefleksikan karunia yang telah didapatkan, maka dengan demikian tiap-tiap manusia mampu menyalurkan cinta kasihnya kepada setiap orang dalam kesehariannya.

Demikian pesan Misa Kamis Putih yang disampaikan oleh Romo Totok Subagyo SJ dalam homilinya di Gereja Katedral Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga, Jakarta, Kamis (1/4/2010).

"Hanya dengan cara meresapi pengalaman dicintai oleh Tuhan Yesus Kristus yang memungkinkan kita untuk mencintai orang lain dalam keseharian kita. Dengan meresapi pengalaman diutuhkan, dimanusiakan, dimampukan, maka kita dapat meneruskannya kepada orang lain," ujar Romo Totok.

Seperti diketahui, hari ini merupakan Hari Raya Kamis Putih yang dirayakan oleh umat Katolik di seluruh dunia. Misa Kamis Putih merupakan salah satu dari rangkaian perayaan Pekan Suci yang terdiri dari perayaan Minggu Palma, Jumat Agung, Malam Paskah, dan Minggu Paskah. Dalam perayaan Kamis Putih, umat Katolik mengenangkan Perjamuan Terakhir (The Last Supper) yang menjadi salah satu puncak iman Kristiani dalam bentuk Misa Ekaristi.

Pastor kelahiran Yogyakarta ini mengingatkan, seringkali manusia lupa meresapi tiap-tiap kasih karunia yang Tuhan berikan. Umat dinilai sering tidak peka akan cinta kasih Tuhan yang disampaikan melalui orang-orang di sekeliling mereka. "Akibatnya, hidup ini menjadi kering dan tidak bersyukur. Karena itu saya tadi mengajak umat untuk bisa meresapi bahkan hingga sampai dimana, kapan, apa saja, karunia yang telah mereka rasakan selama ini," urainya.

Terkait dengan tema Paskah kali ini, yakni "Mari Melawan Kemiskinan", Romo Totok mengungkapkan rumusannya sendiri. Ia menjelaskan, kemiskinan yang harus dilawan tidak hanya kemiskinan dalam arti kemampuan ekonomi saja. "Situasi kemiskinan memang harus kita ikut membenahi. Tapi bukan hanya kemiskinan saja, namun juga kebodohan, amoral, dan berbagai tindakan yang tidak memanusiakan manusia lainnya," ujarnya.

  • Penulis: C11-09
  • Editor: made