Doa untuk para Imam selama retret Tahun Imam bulan Pebruari - Mei 2010

Allah Bapa yang mahabaik, kami bersyukur kepada-Mu atas para imam gembala kami yang senantiasa mengantarkan kami kepada-Mu melalui Putera-Mu Yesus Kristus. Kami berdoa untuk para iamam yang kami kasihi, khususnya yang berkarya di Keuskupan Agung Semarang ini yang selama bulan Pebruari hingga Mei tahun ini mengadakan retret bersama-sama yang dijalani dalam acara hidup harian. Utuslah Roh Kudus-Mu untuk membimbing para imam kami agar dalam retret ini mereka mengalami dan menghidupi kesetiaan Kristus yang menjadi kekuatan kesetiaan para imam. Semoga mereka mengalami pembaruan hidup imamat dalam semangat kesucian dan kebersamaan sebagai landasan pelayanan mereka dalam gereja. Dengan pengantaraan Kristus Tuhan kami. Santa Perawan Maria, Bunda dan Ratu para imam, doakanlah kami. Santo Yohanes Maria Vianey, pelindung semua imam di seluruh dunia, doakanlah kami. Amin.


Bagikan

Tema Hari Komunikasi Sosial Sedunia 2010

(Vatican City 29/9/09) "The Priest and Pastoral Ministry in a Digital World: New Media at the Service of the Word" is the theme of the Pope's Message for the next World Day of Social Communications which is celebrated every year on 24 January, Feast of St. Francis of Sales, patron saint of journalists.

A communique made public today explains that the aim of the Message is "to invite priests in particular, during this Year for Priests and in the wake of the Twelfth Ordinary General Assembly of the Synod of Bishops, to consider the new communications media as a possible resource for their ministry at the service of the Word. Likewise, it aims to encourage them to face the challenges arising from the new digital culture".

The text continues: "The new communications media, if adequately understood and exploited, can offer priests and all pastoral care workers a wealth of data which was difficult to access before, and facilitate forms of collaboration and increased communion that were previously unthinkable".

The communique concludes by noting that "if wisely used, with the help of experts in technology and the communications culture, the new media can become - for priests and for all pastoral care workers - a valid and effective instrument for authentic and profound evangelisation and communion".(VIS-MIRIFICA.NET)

Bagikan

Surat Gembala Prapaskah Kepausan 2010

Surat Gembala Prapaskah Kepausan 2010
“Kebenaran
Allah telah dinyatakan karena iman dalam Yesus Kristus”[1]



Saudara-saudari yang terkasih,
Setiap tahun, pada kesempatan Masa Prapaskah, Gereja mengundang kita untuk dengan tulus meninjau kembali hidup kita dalam cahaya Injil. Tahun ini, saya ingin menawarkan kepada Anda sekalian beberapa permenungan atas tema besar “keadilan”, dengan bertitik-tolak pada penegasan Paulus ini: “Kebenaran Allah telah dinyatakan karena iman dalam Yesus Kristus” (lih. Rom. 3:21-22).

Keadilan: “memberikan kepada yang berhak menerimanya”
Pertama-tama saya ingin melihat arti istilah “keadilan”, yang pada umumnya mengandung pengertian “memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya”, menurut rumusan kesohor dari Ulpianus, seorang ahli hukum dari kota Roma pada abad ketiga. Namun, pada kenyataannya, definisi klasik ini tidak menspesifikasi, “hak” manakah yang harus diberikan kepada setiap orang itu. Apa yang paling dibutuhkan orang, tidak dapat dijamin oleh hukum. Agar supaya orang dapat hidup dengan sepenuhnya, dibutuhkanlah sesuatu yang lebih mendalam, yang dapat diberikan kepadanya hanya sebagai suatu pemberian: kita dapat mengatakan, bahwa seseorang hidup dari cinta-kasih itu, yang hanya bisa disampaikan oleh Allah, sebab Dialah yang menciptakan pribadi manusia sesuai dengan citra dan gambaran-Nya. Barang-barang duniawi memang berguna dan sungguh dibutuhkan, ─ sesungguhnya Yesus sendiri memang menaruh keprihatinan untuk menyembuhkan mereka yang sakit, memberi makan kepada orang banyak yang mengikuti-Nya, dan pastilah Dia mengutuk sikap tidak-mau-tahu, yang bahkan pada jaman sekarangpun telah menyebabkan rutusan juta orang mengalami kematian karena kekurangan makanan, air dan obat-obatan,─ namun “keadilan distributif” itu tetap saja tidak bisa memberikan kepada manusia seluruh kepenuhan “haknya”. Sebagaimana manusia membutuhkan makanan, demikian pula dia, malah lebih lagi, membutuhkan Allah. Santo Agustinus mencatat: seandainya “keadailan adalah keutamaan untuk memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya … lalu di manakah keadilan seseorang, apabila dia meninggalkan Allah yang benar?” (De Civitate Dei, XIX, 21).

Apakah Penyebab Ketidakadilan
Penginjil Markus melaporkan kata-kata Yesus berikut ini, yang disisipkannya di dalam perdebatan pada waktu itu tentang apa yang mencemarkan dan tidak mencemarkan orang: "Kamu semua, dengarlah kepada-Ku dan camkanlah. Apa pun dari luar, yang masuk ke dalam seseorang, tidak dapat menajiskannya, tetapi apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskannya." Kata-Nya lagi: "Apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskannya, sebab dari dalam, dari hati orang, timbul segala pikiran jahat” (Mrk. 7:14-15.20-21). Lebih jauh dari masalah yang secara langsung menyangkut makanan, kita dapat menemukan dalam reaksi orang-orang Farisi di sana, hadirnya godaan yang selalu ada pada diri manusia: yakni untuk menempatkan asal-usul kejahatan di dalam sesuatu yang ada di luar manusia. Juga kini pun, jauh di dalam lubuk pemikiran-pemikiran modern adalah pengandaian ini: karena ketidakadilan datang “dari luar”, maka agar supaya keadilan berjaya, cukuplah kita menyingkirkan penyebab luaran yang menghalanginya itu. Yesus memperingatkan: cara berpikir yang seperti itu terlalu dangkal dan sempit. Ketidakadilan, sebagai buah dari yang jahat, tidak bersumber hanya pada yang luaran saja; asal-muasalnya terletak di dalam hati manusia itu sendiri, yang benih-benihnya berada secara tersembunyi di dalam kerja-sama manusia dengan yang jahat. Inilah juga yang dengan pahit diakui oleh si Pemazmur: “Sesungguhnya, dalam kesalahan aku diperanakkan, dalam dosa aku dikandung ibuku” (Mzm. 51:7). Memang benar, manusia sangat diperlemah oleh suatu pengaruh yang sangat besar, yang bahkan melukai kemampuannya untuk masuk ke dalam persekutuan dengan orang lain.

Sebenarnya pada dasarnya manusia memiliki keterbukaan untuk berbagi secara bebas dengan orang lain, namun didapatinya juga di dalam dirinya suatu kekuatan asing berupa suatu daya-tarik yang membuatnya berbalik kepada dirinya sendiri dan mengafirmasikannya di atas dan melawan orang lain: inilah egoism, buah dan akibat dari dosa asal. Adam dan Hawa, tergoda oleh dusta tipuan si Iblis, dengan memetik buah misterius itu yang bertentangan dengan perintah Allah, telah menggantikan cara berpikir logis untuk menaruh kepercayaan kepada Cintakasih dan menukarnya dengan pola pikir logis kecurigaan dan persaingan; menggantikan sikap menerima dan mengharapkan dengan penuh kepercayaan kepada Yang Lain itu, dan menukarnya dengan mengambil secara bernafsu dan bertindak dari dirinya sendiri (bdk Kej. 3:6), dan dengan demikian lalu mengalami perasaan kecemasan dan kegelisahan.

Bagaimana orang bisa melepaskan dirinya sendiri dari pengaruh egoism ini lalu membuka dirinya terhadap Kasih?

Keadailan dan Sedaqah
Di jantung kebijaksanaan Israel, kita mendapatkan kaitan yang mendalam antara iman kepercayaan kepada Allah yang “menegakkan orang yang hina dari dalam debu” (Mzm. 113:7) dan keadilan kepada sesamanya manusia. Kata bahasa Ibrani itu sendiri, sedaqah, yang menunjuk kepada keutamaan keadilan, juga mengungkapkan hal itu dengan sangat bagus. Pada kenyataannya, sedaqah, di satu pihak mengungkapkan penerimaan manusia pada kehendak Allah Israel, tetapi di pihak lain juga mengungkapkan kesetaraan hubungan seseorang dengan sesamanya (lih. Kel. 20:12-17), terutama orang miskin, orang asing, para yatim-piatu dan jada-janda (lih. Ul. 10:18-19). Kedua arti itu berkaitan satu sama lain, karena bagi orang Israel, memberi kepada orang miskin, tidak lain dan tidak bukan sama artinya dengan memberikan kembali kepada Allah apa yang telah mereka dapatkan dari Dia, yang dahulu telah menaruh belas-kasihan kepada kesengsaraan umat-Nya. Pastilah bukan suatu kebetulan, bahwa penyerahan dua loh batu berisi hukum kepada Musa di Gunung Sinai itu terjadi sesudah mereka menyebrangi Laut Merah. Mendengarkan Hukum itu mengandaikan iman kepercayaan kepada Allah yang mula-mula “mendengar keluh-kesah” umat-Nya, dan lalu “turun untuk melepaskan mereka dari tangan orang Mesir” (lih. Kel. 3:8). Allah telah menaruh perhatian kepada seruan orang papa dan pada gilirannya Ia juga meminta supaya Dia didengarkan: dengan kata lain, Ia meminta sikap yang adil juga terhadap orang-orang papa (lih. Sir. 4:4-5, 8-9), terhadap orang-orang asing (lih. Kel. 22:20), terhadap budak-belian (lih. Ul. 15:12-18). Untuk dapat memasuki keadilan ini haruslah orang keluar dari dan meninggalkan rasa puas dirinya yang semu, yakni ketertutupannya yang mendalam, sebab justru itulah biang-keladi dari ketidakadilan. Dengan kata lain, yang sebenarnya dibutuhkan sekarang adalah suatu “exodus” yang lebih mendalam dari pada yang dahulu pernah dilakukan oleh Allah dengan Musa, yakni suatu pembebasan hati, yang tidak akan dapat dilakukan oleh Hukum itu dengan kekuatannya sendiri.

Kalau demikian, masih adakah bagi manusia harapan akan adanya keadilan?

Kristus, Keadilan Allah
Kabar Gembira kekristenan dengan sangat positif menjawab kehausan manusia akan keadilan itu. Santo Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Roma menegaskan: “Tetapi sekarang, tanpa hukum Taurat kebenaran Allah telah dinyatakan … karena iman dalam Yesus Kristus bagi semua orang yang percaya. Sebab tidak ada perbedaan. Karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah, dan oleh kasih karunia telah dibenarkan dengan cuma-cuma karena penebusan dalam Kristus Yesus. Kristus Yesus telah ditentukan Allah menjadi jalan pendamaian karena iman, dalam darah-Nya” (lih. Rom. 3:21-25).

Kalau demikian, apakah keadilan Kristus itu? Di atas semauanya, keadilan itu adalah yang keluar dari rakhmat, karena bukan manusia sendirilah yang telah mengadakan perbaikan yakni menyembuhkan diri sendiri dan orang lain. Pada kenyataannya, seperti dikatakan, bahwa “jalan pendamaian” itu mengalir dari darah Kristus, berarti, bahwa sebenarnya bukan kurban dari manusia itu sendiri yang telah membebaskannya dari beban dosa-dosanya, melainkan justru perbuatan kasih Allah, yang bahkan telah membuka Diri-Nya sampai sehabis-habisnya, bahkan sampai pada titik menerima dalam diri-Nya sendiri, “kutuk” yang sebenarnya harus dijatuhkan kepada manusia, sehingga dengan demikian manusia dapat menghaturkan “berkat” yang menjadi hak Allah (lih, Gal 3:13-14). Tetapi justru dari sini langsung muncul keberatan: keadilan macam apakah ini, di mana justru orang yang adil harus mati bagi mereka yang bersalah dan orang yang bersalah malah menerima berkat yang sebenarnya menjadi hak orang yang adil? Apakah ini bukan berarti, bahwa masing-masing menerima apa yang sebenarnya bertentangan dengan yang menjadi “hak”-nya? Pada kenyataannya justru di sinilah kita mendapatkan keadilan Allah, yang begitu berbeda dengan keadilan menurut pemahaman manusia. Allah telah membayar uang tebusan bagi kita dalam diri Putra-Nya, suatu harga tebusan yang sungguh tak terhingga besarnya. Terhadap keadilan Salib seperti itu orang mungkin memberontak, tetapi itu justru menunjukkan betapa manusia adalah makhluk yang sama sekali tidak bisa mencukupi dirinya sendiri. Ia membutuhkan Seorang Lain untuk dapat membuka dirinya dengan sepenuh-penuhnya. Akhir-akhirnya, berbalik kepada Kristus, atau percaya kepada Injil, berarti ini saja: keluar dari kepercayaan-semu bahwa ia mampu mencukupi dirinya sendiri, sehingga ia mempu mendapatkan dan menerima apa yang menjadi kebutuhannya, ─yakni kebutuhan akan orang-orang lain dan Allah sendiri, kebutuhan akan pengampunan dan persahabatan-Nya.

Dengan demikian kita dapat memahami, betapa sama sekali berbedanya iman kepercayaan dengan sekedar perasaan nyaman yang alami. Inilah fakta nyatanya: kerendahan hati sungguh dibutuhkan untuk dapat menerima, bahwa saya membutuhkan Yang Lain untuk dapat membebaskan diri saya dari “apa yang menjadi hak saya” dan untuk dapat menyerahkan diri saya dengan kerelaan sepenuhnya kepada “apa yang menjadi hak-Nya”. Dan hal ini terjadi terutama di dalam Sakramen Rekonsiliasi dan Ekaristi. Syukur kepada karya Kristus, sehingga kita dapat masuk ke dalam keadilannya yang “tertinggi” yang adalah karya kasih-Nya (lih. Rom. 13:8-10), yakni keadilan yang sungguh menyadarkan kita, bahwa, dalam segala-galanya, kita ini lebih merupakan “debitor” dari pada “kreditor”[2], justru karena kita telah menerima lebih dari pada yang kita harapkan.

Dikuatkan oleh pengalaman ini Umat Beriman digerakkan untuk berkontribusi menciptakan masyarakat yang adil, di mana setiap orang menerima apa yang dibutuhkannya untuk hidup sesuai dengan martabatnya yang khas sebagai manusia yang berkepribadian, dan di mana keadilan itu sungguh dihidupi oleh cintakasih.

Saudara dan saudari yang terkasih,
Masa Prapaskah ini akan mencapai puncaknya dalam Tri Hari Suci Paskah, di mana, dalam tahun ini juga, kita akan merayakan keadilan Allah, yakni kepenuhan kasih-Nya, anugerah-Nya dan juga karya penebusan-Nya. Semoga bagi seluruh Umat Beriman masa tobat ini akan merupakan masa pertobatan yang otentik dan masa untuk memupuk pengenalan kita akan misteri Kristus, yang telah datang untuk memenuhi setiap keadilan. Dengan harapan-harapan ini, Saya dengan setulus hati memberikan kepada Anda semua: Berkat Apostolik Saya.

Dikeluarkan di Vatikan, 30 Oktober 2009.

Benediktus XVI,
Paus


[1] Secara hurufiah Surat Gembala Kepausan ini berjudul: “Keadilan Allah telah dinyatakan karena iman dalam Yesus Kristus” (lih. Rom. 3:21-22). Akan tetapi Kata Yunani dikaiosynè (“keadilan”; Bahasa Latin: iustitia, Inggris justice) dalam Alkitab Perjanjian Baru kita diterjemahkan dengan kebenaran, kecuali dalam 2Kor. 6:7; 1Tim. 6:11; 2Tim. 2:22; Ibr. 1:9; 2Ptr. 1:1 kata itu diterjemahkan dengan keadilan. Dalam Mat. kata itu malah diterjemahkan dengan kehendak Allah (3:15) dan hidup keagamaan (5:20), sedang Tit. 3:5 menerjemahkannya dengan perbuatan baik. Dalam terjemahan ini kata “iustitia” (Lat.) atau “justice” (Ingg.) dipertahankan dengan ungkapan keadilan dalam teks Surat Gembala Prapaskah Kepausan, meskipun teks Alkitab yang direferensikannya, dipertahankan juga istilah alkitabiah Idonesianya, yakni kebenaran. Harap pembaca maklum adanya.

[2] Santo Bapa sengaja mempergunakan kedua istilah “debet” dan “kredit” ini, berkaitan dengan gagasan “penebusan” yang sering juga dikonsepkan sebagai “uang tebusan” yang harus dibayar seperti pembahasan dalam alinea sebelumnya.



Bagikan

Masa Prapaska

A. Masa Liturgi Gereja:

1. Masa Adven
2. Masa Natal
3. Masa Biasa
4. Masa Prapaska
5. Trihari Paska
6. Masa Paska
7. Pentakosta
8. Masa Biasa

B. Apa itu Prapaska? Persiapan untuk Paska

C. Apa itu Paskah? Kenangan dan selebrasi akan apa yang diperbuat oleh Allah dalam Yesus Kristus. Apa dibuat Yesus?

  • Ia tinggal di antara kita, memberi kita visi akan hidup yang penuh (bukan hanya agama)
  • Ia menderita dan wafat di salib; bukan sebagai tanda kegagalan, melainkan sebagai kesaksiaan atas cinta yang terbesar yg dapat ditunjukkan seseorang bagi temannya: mati untuknya.

D. Mengapa Prapaskah selama 6 minggu?

Enam minggu adalah sekitar 40 hari; Yesus berpuasa 40 hari di padang gurun mempersiapkan diri untuk karya dan misiNya

E. Bagaimana kita mempersiapkan diri untuk Paskah?

BERDOA

BERPUASA/BERPANTANG

MEMBERI SEDEKAH/MENDERMA

Praktek ini jamak dalam agama-agama besar: Yahudi, Hindu, Buddha, Islam dan Kristen.

1. Menurut Ajaran Gereja

  • Dalam Katekismus Gereja Katolik (KGK) no. 1434-1439 terdapat aneka bentuk tobat dalam hidup Kristen. Kitab Suci dan para Bapa Gereja menggariskan tiga bentuk utama ungkapan tobat itu yakni puasa, doa dan amal atau derma atau sedekah. Ketiganya dilihat sebagai pernyataan pertobatan terhadap diri sendiri, terhadap Allah dan terhadap sesama. Jadi puasa adalah salah satu bentuk atau ungkapan tobat.
  • Dalam tradisi Gereja, puasa merupakan ibadat penting yang dilaksanakan umat sebagai persiapan untuk perayaan-perayaan besar khususnya Paska. Masa puasa yang secara resmi ditetapkan Gereja terkandung dalam masa Prapaska. Tetapi selama masa Prapaska itu hari puasa resmi dan pantang hanya dua hari, yakni hari Rabu Abu dan Jumat Agung sebagaimana tertuang dalam Kitab Hukum Kanonik (KHK) no. 1251. Karena itu, masa Prapaska, yang berlangsung selama 40 hari, bukan berarti masa puasa selama 40 hari pula. Maka boleh dikatakan bahwa masa Prapaska selama 40 hari bukan terutama menekankan masa puasanya selama 40 hari, melainkan masa tobat khusus untuk perayaan-perayaan Paska. Menurut Kitab Hukum Kanonik, masa dan hari pertobatan dalam seluruh Gereja ialah masa tobat (masa Prapaska) 40 hari dan hari Jumat sepanjang tahun sebagai kenangan akan kematian Tuhan (KHK 1250).
  • Namun demikian Gereja sangat menghargai warganya yang berpuasa penuh selama 40 hari dalam masa Prapaska meneladan cara berpuasa Musa, Elia dan terutama Yesus.
  • Di samping berpuasa, Gereja juga punya tradisi berpantang. Hari Jumat sepanjang tahun sebagai hari pertobatan merupakan hari pantang dari makan daging atau dari makanan lainnya, kecuali hari Jumat itu terhitung sebagai hari raya gerejawi, bukan hari raya umum (KHK 1251). Dan perlu diingat bahwa Gereja menetapkan pantang selama satu jam sebelum kita menyambut Sakramen Mahakudus.
  • Semua orang Katolik yang berumur 18 tahun sampai umur 59 tahun (awal tahun keenampuluh) wajib berpuasa; dan semua orang Katolik yang berumur genap 14 tahun ke atas wajib berpantang (bdk KHK 1252).
  • Apa arti puasa dan pantang ? Dalam arti yuridis, puasa berarti satu kali makan kenyang dan dua kali makan sedikit saja selama 24 jam. Minum air tidak dilarang dalam puasa. Pantang berarti memilih tidak makan daging atau ikan atau garam atau tidak jajan atau merokok, tidak minum gula atau tidak nonton televisi.
  • Orang lanjut usia dan anak-anak, orang sakit, ibu yang hamil, orang yang sedang mengadakan perjalanan jauh dan pekerja berat dikecualikan dari puasa. Namun para gembala umat dan orangtua diajak Gereja untuk membina mereka, yang karena usianya masih kurang dan karena itu tidak terikat dengan puasa dan pantang, ke arah semangat tobat yang sejati (KHK 1252).
  • Salah satu ungkapan tobat bersama dalam masa Prapaska adalah Aksi Puasa Pembangunan, yang diharapkan mempunyai nilai dan dampak pembaharuan pribadi, serta mempunyai nilai dan dampak peningkatan solidaritas pada tingkat paroki, keuskupan dan nasional.




2. Menurut Kitab Suci Mat 6:1-18.

Berdoa

Pada masa Yesus, orang Yahudi diharuskan berdoa tiga kali sehari pada jam tertentu yakni jam 9 pagi, tengah hari, dan jam 3 sore. Di mana pun mereka berada, mereka diharapkan melakukan hal itu dengan sikap tertentu yakni menjulurkan tangan di mana telapak tangan menghadap ke langit. Tetapi banyak orang Yahudi membuat hal itu justru di tempat ramai, di jalan yang ramai. Mereka berdoa di tempat seperti itu dengan suara lantang agar didengar, ditonton dan dipuji orang. Bahkan ada yang berdoa sampai mengganggu lalu lintas. Mereka berdoa hanya kalau dilihat orang lain. Itu namanya munafik. Dan Yesus jelas menolak sikap seperti itu. Doa yang dimaksud Yesus adalah doa yang disampaikan kepada Allah, bukan kepada orang agar dipuji. Doa yang benar menurut Yesus adalah doa yang ditujukan dari hati yang tulus dan terbuka kepada Allah. "Jika engkau berdoa, masuklah ke dalam kamarmu, tutuplah pintu dan berdoalah kepada Bapamu yang ada di tempat tersembunyi" (Mat 6:6). Doa dan berdoa bukanlah sesuatu yang perlu dipamerkan. Bila seseorang tak bisa berdoa di gereja, karena alasan tertentu, ia bisa berdoa di rumah, di tempat tidur.

Berpuasa

Seperti doa, puasa adalah bagian yang penting dalam hidup kristen dan juga tanda pertobatan. Di Palestina pada masa Yesus, hari puasa adalah hari Senin dan Kamis, di mana pada hari itu juga hari pekan. Dengan wajah muram, orang memamerkan hidup keagamaannya di pasar agar dipuji orang. Itu tindakan munafik dan Yesus menolak tindakan seperti itu.

Yesus berkata: "Apabila engkau berpuasa, minyakilah kepalamu, cucilah mukamu, supaya jangan diketahui orang bahwa engkau sedang berpuasa." Tuhan berharap bahwa kita menjalani puasa dengan ceria, dengan bebas, bukan dengan terpaksa dan dengan wajah loyo. Puasa tidak dimaksudkan agar orang lain yang tidak berpuasa terganggu. Dalam masa prapaskah kita pertama-tama diharapkan mau memerangi dosa dan kejahatan, baru menyusul pantang makanan. Inilah puasa yang mengandung pertobatan. Puasa dalam hal konsumsi tidak punya arti bila kita tidak memerangi dosa dan kejahatan. Who fasts, but does not other good, saves his bread but goes to hell.

Menderma

Ada orang yang memberi derma lalu menceritakan hal itu ke mana-mana agar dipuji orang. Itu manafik. Lalu Yesus memberi pedoman: "Bila engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu."

F. Penutup

Ibu Theresa pernah mengunjungi sebuah keluarga miskin yang sudah beberapa hari tidak makan. Ia membawa makanan secukupnya saja. Anak-anak makan dengan lahap, karena rasa lapar yang tak tertahankan. Tetapi ada seorang anak yang baru berumur sekitar 10 tahun menarik perhatian ibu Theresa. Ketika anak itu mendapat makanan, ia cepat-cepat membaginya menjadi dua bagian; yang satu bagian dimasukkannya ke dalam plastik, lalu dibawanya pergi. Ketika anak itu kembali, ibu Theresa bertanya "Dari mana kau, nak?" Anak itu menjawab "Aku baru saja mengantar sebagian dari makanan yang kuperoleh dari ibu untuk temanku yang sakit dan sudah beberapa hari tidak makan juga.”


Sumber: http://www.mudikamelbourne.com/index.php?option=com_content&view=article&id=48:muatan-masa-prapaskah&catid=2:berita-artikel&Itemid=15




Bagikan