Tak Cukup Hanya Peluk Agama, Uskup Suharyo: Perlu Semangat Saling Mengasihi

Jakarta, (Kompas, 26 September 2010) Memeluk agama saja tidak cukup. Lebih dari itu, menurut pemimpin umat Katolik Jakarta, Uskup Agung Mgr Suharyo Pr, dalam khotbah Natalnya di Gereja Katedral, Jakarta, Sabtu (25/12), manusia membutuhkan semangat untuk saling mengasihi.

”Baik pada masa dahulu dan sekarang, banyak orang dengan atas nama agama justru melakukan berbagai hal yang menyayat rasa kemanusiaan dan menyakiti sesama,” tutur Mgr (Monseigneur) Suharyo, dalam homili (khotbah)-nya.

Misa dihadiri sekitar 2.000 umat yang meluber hingga ke teras di halaman gereja. Setiap orang yang masuk diperiksa terlebih dahulu dengan pendeteksi metal. Malam sebelumnya, misa malam Natal, dipadati sekitar 3.000 umat. Sebagian umat tidak mendapatkan tempat duduk. Mereka akhirnya duduk di halaman samping gereja dengan beralaskan koran, duduk di sela-sela tanaman hias gereja, ataupun berdiri.

”Adanya kelompok-kelompok yang berani membunuh, menganiaya, dan mengucilkan sesama yang dianggap bertentangan dengan keyakinan mereka tidak memberi ruang untuk toleransi dan semangat bela rasa,” kata Mgr Suharyo dalam misa yang juga dihadiri Duta Besar Vatikan untuk Indonesia, Leopordo Girelli.

Seruan tentang aksi mengasihi, dan diakhirinya aksi kekerasan atas nama agama ini senada dengan seruan pemimpin umat Katolik sedunia, Paus Benediktus XVI dalam pesan Natalnya di Vatican City. ”Semoga kasih Tuhan memberi inspirasi kepada para pemimpin politik dan agama untuk menghormati sepenuhnya kebebasan beragama bagi kita semua,” kata Paus Benediktus XVI.

Seperti tradisi pada setiap pesan Natalnya, Paus Benediktus XVI juga mengucapkan salam Natalnya dalam 65 bahasa dunia, termasuk bahasa Indonesia.

Tekanan beribadah

Pendeta Matulapelwa dalam khotbah di Gereja Kristen GPIB Immanuel, Jakarta, Jumat (24/12) malam, mengatakan, 2.000 tahun yang lalu, saat kelahiran Yesus pun, ada tekanan dan teror dari Herodes terhadap orang yang mau beribadah. Hal ini relevan dengan saat ini ketika beberapa kelompok masih berada dalam tekanan-tekanan untuk beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya.

Ketua Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Mgr Martinus Dogma Situmorang, OFM Cap yang memimpin misa di gereja darurat di Km 37 Pulau Pagai Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, menyatakan bahwa Natal adalah karunia dan kalau direnungkan secara mendalam, intinya adalah pengertian terhadap kasih sayang kepada sesama manusia.

Hal ini disampaikan kepada umat dengan bahasa Mentawai. Jemaat yang hadir dalam gereja darurat tampak menyimak kata demi kata renungan Natal itu sembari beberapa di antaranya menyatakan keheranannya atas kefasihan Mgr Situmorang berbicara dalam bahasa Mentawai.

Mgr Situmorang menyatakan, peristiwa Natal dengan kelahiran Yesus mesti dipahami dari sudut pandang sebagai pemberi rasa damai dan sejahtera. Rasa damai ini, menurut Pendeta Matulapelwa terwujud dengan Natal 2010 yang berjalan dengan damai dan aman.

Membantu kaum miskin

Di tengah semakin sempitnya ruang untuk semangat bela rasa dan toleransi, masih banyak masyarakat yang menjunjung semangat itu. Mgr Suharyo mencontohkan sekelompok masyarakat yang memberikan bantuan kepada kaum miskin.

Di Semarang, Jawa Tengah, Romo Paroki Gereja St Maria Ratu Rosario Suci (Katedral), Romo Sukendar Wignyosumarto, Pr, menyebutkan, Natal 2010 dirayakan dalam nuansa kepedulian dan keberpihakan bagi masyarakat sekitar. Keberadaan gereja harus nyata dan dapat dirasakan oleh banyak orang.

”Semua bergerak dan mengerahkan segenap tenaga ataupun dana untuk menolong sesama kita,” ujar Romo Sukendar.

Dijamin

Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo yang datang di tengah kebaktian di GPIB Immanuel mengatakan bahwa setiap warga dijamin haknya untuk melakukan ibadah. ”Tidak boleh ada perlakuan yang diskriminatif kepada siapa pun yang mau beribadah,” ucapnya.

Fauzi Bowo yang datang setelah khotbah, di tengah kebaktian mengucapkan salam ”assalamualaikum” yang dibalas umat dengan ”wa alaikum salam”.

Dari Sleman, Romo Y Suyatno, saat renungan Malam Natal di Gereja Somohitan (Gereja St Yohanes Rasul) mengingatkan, bencana membuat manusia sadar, tak ada satu pun manusia yang bisa hidup tanpa bantuan orang lain.

”Ketika Merapi meletus, semua sadar, manusia itu cilik (kecil), cilik juga nyalinya. Ternyata manusia, yang kuat sekalipun, juga ciut nyalinya. Merapi mengajarkan, kita sangat kecil di hadapan alam, apalagi di hadapan Tuhan. Jadi ’Natal’-nya adalah manusia sadar butuh orang lain, dan sadar bahwa ada yang butuh bantuan. Inilah ’kelahiran kembali’, makna Natal sekarang. Jangan hilang begitu kita pulang kembali ke rumah, tak lagi menjadi pengungsi,” ujarnya.

Ia menambahkan, Tuhan selalu hadir lewat relawan, sahabat, teman, dan semua yang terketuk hatinya.

Aksi kekerasan di Irak

Suasana Natal kali ini juga diwarnai keprihatinan dunia atas terjadinya aksi kekerasan terhadap umat Katolik di Irak, Oktober lalu. Sekelompok orang bersenjata yang mengatasnamakan kelompok yang berafiliasi dengan kelompok teroris, Al Qaeda, menyerbu sebuah gereja di Baghdad, Irak, pada 31 Oktober 2010. Setidaknya 44 umat yang tengah beribadah serta 2 imam dan 7 anggota aparat keamanan tewas dalam insiden itu.

Pada Natal kali ini ratusan warga Kristen Irak masih bisa melihat sisa-sisa kekerasan itu, berupa bekas-bekas lubang peluru di dinding gereja serta bangku-bangku kayu yang rusak dan diganti dengan bangku-bangku plastik dan bangku logam.

Serangan di gereja Baghdad tersebut menyebabkan gelombang eksodus warga Kristen meninggalkan Irak, atau menyingkir ke wilayah lebih aman.

(AP/AFP/Reuters/EGI/SIN/UTI/PRA/INK/sha)