Selamat Natal 2010 “Imanuel : Allah Menyertai Kita” (Mat 1:23)

Dalam ibadat kita bertegur sapa. Ucapan “Tuhan sertamu” ditanggapi dengan “Besertamu juga”. Tegur sapa tersebut menyimpan suatu sejarah panjang tentang pemahaman sangat mendalam mengenai siapakah Allah, dan siapakah manusia.

Dalam hati manusia ada kerinduan untuk berelasi dengan sumber keberadaannya, yaitu Allah. Kerinduan tersebut sepanjang sejarah manusia ada, juga pada saat ketika Allah dikira tidak ada oleh manusia. Ketika Allah dikira tidak ada, manusia bisa bertindak seolah-olah allah. Perkiraan inilah yang menjadi penyebab utama penyalahgunaan kekuasaan, sehingga manusia menempati kedudukan Allah menjadi penguasa bagi yang lain dan semesta. Dan ketika kekuasaan disalahgunakan, apalagi dengan kedok agama, dapat muncul malapetaka antar manusia karena kekerasan dijadikan alat melestarikan kekuasaan itu.

Perilaku manusia dapat menjadi seperti perilaku binatang, seperti serigala memangsa yang lain. Homi homini lupus. Konflik dan peperangan merusak kemanusiaan, dan dapat mengantar manusia pada titik tanpa pengharapan. Namun, pada saat ini pula, kerinduan manusia pada sumber keberadaannya tetap dapat menjadi dasar untuk berharap akan masa depan yang lebih baik. Begitulah harapan akan kedatangan seorang penyelamat tersimpan dalam hati manusia sepanjang sejarahnya.

Dalam budaya patriarki, yang subur bagi ketidaksetaraan gender, muncul nubuat Yesaya, yang melawan arus budaya patriarki tersebut. Ketika perempuan dan anak tidak diperhitungkan dalam budaya patriarki, dengan lantang Yesaya memperhitungkan mereka, dan bernubuat, “Sesungguhnya, seorang perempuan muda mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki, dan ia akan menamakan Dia Imanuel.” (Yes 7:14). Nubuat Yesaya tergenapi dalam diri Yesus, sebab Dialah Imanuel, yang berarti Allah menyertai kita (Mat 1:23)

Pesan Natal bahwa “Imanuel : Allah menyertai kita” (Mat 1:23) tetap relevan pada zaman kita, karena pada zaman kita sekarang ini pun kita belum terbebas dari rekayasa budaya patriarki yang tidak memperhitungkan perempuan dan anak, dan yang menyalahggunakan kekerasan untuk menindas yang lemah. Peristiwa Natal pertama menampilkan Yesus, yang menghadirkan Allah dengan wajah manusiawi, sebab seorang anak telah lahir untuk kita, seorang putera telah diberikan untuk kita (bdk. Yes 9:5). Seorang putra itu disertai oleh Maria dan Yusuf, sebagai sosok-sosok manusia lembut, warga masyarakat zaman kepenuhan nubuat Yesaya.

Pada zaman itu setiap sepatu tentara yang berderap-derap dan setiap jubah yang berlumuran darah akan menjadi umpan api (bdk. Yes 9:4). Bom rakitan akan dijinakkan oleh seorang anak, dan diubahnya menjadi bunga api yang menyinari kegelapan. Pedang dan senjata tajam diubah menjadi cincin-cincin ikatan kasih persaudaraan dan kedamaian. Wajah sangar menjadi wajah penuh senyum persaudaraan.

Maka, ketika diperbincangkan siapakah yang seharusnya menjadi penjaga keamanan Natal, saya nimbrung, “Pada zaman normal, ketika Natal pertama, sesuai dengan kisah Kitab Suci, yang menjadi penjaga-penjaga malam Natal adalah para gembala, sapi, domba dan kambing. Damai di hati, damai di bumi. ” (bdk. Luk 1: 8-20)

Tegur sapa kita “Tuhan sertamu”, yang ditanggapi “Dan sertamu juga” merupakan ungkapan iman kepercayaan kita, bahwa telah datang Sang Imanuel, Allah menyertai kita. Mari kita rayakan dengan gembira.

Selamat Natal : Imanuel, Allah menyertai kita. Semoga damai Natal terjadi juga pada malam Natal tahun 2010 ini. Salam, doa ‘n Berkat Tuhan,

Lembang, 23 Desember 2010

+ Johannes Pujasumarta