Orang Muda Katolik (OMK) dan Penghayatan Imannya


oleh Romo Yohanes Dwi Harsanto, Pr *

Keluhan-keluhan


Dengan segala hormat pada seorang ibu yang menuliskan keluhan melalui e-mail kepada saya, surat beliau saya tampilkan sebagai awal tulisan ini:

(Friday, February 13, 2009 6:46 AM): Romo bisa beri advis ke kami tentang anak saya. Anak saya saat ini usianya 17 tahun, laki-laki, berwatak keras, tapi perasaannya sangat halus, yang berakibat saya jadi sangat hati – hati kalau bicara dengan dia kawatir tersinggung. Sebab kerap kali jika berbicara dengan ayahnya, sering beda pendapat dan berakibat perang mulut, akhirnya marah2 , pernah jadi anaknya kabur, sementara saya dan adiknya pendiam. Jadi kalau ribut begini kami berdua sedih dan tidak suka. Anak pertama saya ini, pintar omong dan sangat setia kawan, jadi jika sudah kumpul sama teman-temannya suka lupa waktu, meskipun tempat di mana dia ngumpul / nongkrong, kami orangtua tahu, termasuk No. HP teman-temannya . Tentang ke gereja, menurut dia itu hanya setor muka saja. Kerap kali dia tidak komuni. Sepertinya dia mengalami kehampaan. Pernah suatu kali dia bilang Tuhan tidak pernah dengar doa saya, jadi percuma saja saya berdoa (saya sedih sekali dengarnya) Saya ingin giring dia untuk mau mengaku dosa tapi kog susah banget ya? Semoga ada Bapak Rohani yang bisa nasehati dia. Sementara ini dulu. Semoga ada advis dari Romo, terima kasih sudah mau membaca uneg2 saya.

Keluhan para orangtua mengenai dinamika anak-anaknya pada saat mereka beranjak remaja dan menjadi pemuda-pemudi kerap terdengar. Surat di atas ialah salah satu dari sekian banyak surat yang mampir ke in-box saya. Keluhan mengenai soal psikologis dan bagaimana mendampingi perkembangan Orang Muda Katolik (OMK) biasanya juga bersamaan dengan keluhan mengenai perkembangan iman Katolik-nya, seperti surat ibu di atas yang mengeluhkan iman anaknya yang sedang mengalami kehampaan. Dari pihak OMK sendiri pun keluhan soal pengetahuan iman sering muncul. Di in-box saya sepanjang tahun 2008 telah mampir 23 keluhan kebingungan mengenai pengetahuan iman. Salah satunya ini:


(Wednesday, January 14, 2009, 15.47 PM): Romo, saya telah 3 bulan kerja di kawasan Kelapa Gading. Syukurlah lumayan baik, walau sering banjir. Tapi yg saya gelisah. Teman saya cowok beragama bukan Katolik. Tampaknya ia naksir saya. Ia baik, tapi suka bertanya-tanya ttg iman Katolik. Yang bikin saya gelisah, ia memberi buku-buku dan mempertanyakan iman Katolik saya. Saya bingung nih Romo. Saya pun tak tahu mesti ngejawab apa. Misalnya ia bilang bahwa Katolik salah karena percaya paus yang hanya manusia, itupun dikatakan bahwa paus kebal salah. Juga soal katolik menyembah Bunda Maria dan bikin patung itu salah besar. Juga salah jika kita misa karena itu berarti kejam karena menyalibkan Tuhan Yesus lagi. Saya jujur saja kini sedang goyah. Tak pernah lagi ikut misa. Bagaimana Romo, saya bingung.


Menimbang Perkara

Dari dua pucuk surat elektronik di atas, saya menemukan ada sebuah fakta yang sukar dibantah, yaitu bahwa pengetahuan dan penghayatan iman saling berhubungan. Pengetahuan iman yang minim akan membuat semangat OMK dalam menghayati iman gampang padam. Sebaliknya, penghayatan iman yang suam-suam kuku, tidak akan menyemangati OMK untuk menambah pengetahuan imannya. Surat yang pertama di atas ialah mengenai seorang anak berusia 17 tahun yang bersemangat suam-suam kuku dan bolehlah ditebak berpengetahuan iman rendah. Surat yang kedua dari seorang gadis

Katolik berusia 34 tahun, dengan penghayatan iman yang pada mulanya semangat, namun oleh karena pengetahuan imannya rendah, maka penghayatannya menjadi goyah. Pada kedua surat tersebut, baik OMK berusia 17 tahun maupun OMK berusia 33 tahun ternyata pengalaman dan pengetahuan imannya relatif sama.

Pedoman Karya Pastoral Kaum Muda yang dikeluarkan Komisi Kepemudaan KWI, membatasi usia OMK sejak 13 hingga 35 tahun sejauh masih lajang. Dari pengalaman menerima keluhan sekitar iman OMK itu, saya memberanikan diri menarik fakta bahwa sejak usia 13 tahun hingga 35 tahun, pengetahuan iman OMK mengalami stagnasi. Pengetahuan iman mereka begitu-begitu saja sejak ia komuni pertama, krisma, hingga menjelang masuk jenjang perkawinan. Saya menduga hal ini mungkin karena katekese kita yang “tradisional” (persiapan komuni I, persiapan krisma) masih berupa formalitas alias sebagai syarat saja untuk menerima komuni I dan krisma. Metode Katekese yang tidak menyentuh hati dan merangsang daya pikir itulah yang bisa jadi membuat iman Katolik kurang bergema di hati dan pemikiran OMK.

Kita bisa pula menimbang dari sisi pewarisan pengetahuan dan penghayatan iman dari keluarga. Ketika mengucapkan janji pernikahan dahulu di depan altar, suami-isteri berjanji akan mendidik anak-anak secara Katolik. Pendidikan itu mestinya pertama-tama merupakan kesaksian cinta kasih, kebenaran, doa dan iman serta pendidikan hati nurani. Seruan apostolik Paus Yohanes Paulus II “Familiaris Consortio” serta surat-surat beliau kepada keluarga ( 2 Februari 1994) jelas-jelas menunjuk betapa agung dan indahnya tugas ini. Keluarga merupakan sekolah iman yang pertama, sebuah “Gereja keluarga”.

Dari sisi OMK sendiri, kita tahu, mereka kini mengalami tekanan berat dari sistem ekonomi dan politik serta budaya yang kurang mempercayai mereka. Sistem pendidikan nasional di Indonesia makin menekan mereka dengan berbagai kesulitan pribadi yang tidak mudah dipecahkan. Jika mereka mengelompok dalam kelompok se-lingkungan, separoki, sebaya, seminat, seprofesi sekalipun, maka tak ayal, tekanan itu bisa ditahan, namun tetap diragukan kehandalannya tanpa dukungan nyata dari pembimbing yang mereka percayai. Sebenarnya, tetap ada harapan bahwa situasi kualitas iman OMK ini bisa diubah menjadi lebih tangguh, ulet dan militan. Marilah kita menelaah dari kekayaan ajaran Katolik sendiri yang memberikan inspirasi bagi peningkatan iman OMK. Saya mengusulkan hal-hal di bawah ini, dengan mensyaratkan peran pembimbing, entah orangtua, pastor paroki, maupun para pendamping lainnya.

Kedalaman Mistik

Pasca Konsili Vatikan II (1965), paham akan Allah Tritunggal Mahakudus dan Gereja Kudus bukan saja menjadi sebuah pengetahuan melainkan juga sebuah misteri pengalaman hidup konkrit umat beriman baik secara pribadi maupun bersama di tengah dunia yang sedang dan selalu berubah. Iman itu lebih dari sekedar pengetahuan, melainkan relasi personal dengan Allah yang telah mewahyukan diri dalam Kristus. Karya itu terjadi dalam diri manusia berkat jasa Roh Kudus (bdk. Dei Verbum, 5). Iman sejati menyentuh pada tataran mistik, batin, kerohanian, ketika manusia beriman termasuk OMK secara pribadi bertemu Allah. Iman tidak sekedar ajaran yang di’ketahui’ saja melainkan juga sebuah sikap dan cara hidup yang di’hayati’. Maka, doa dalam keluarga mesti dibiasakan oleh orangtua sejak anak-anak mereka masih kecil, agar misteri kedalaman penghayatan iman itu dikenal. Doa-doa dalam pertemuan OMK mesti dibuat tanpa bosan-bosan. Di samping itu, mesti dibuat liturgi sedemikian rupa sehingga OMK merasakan sentuhan pada lapisan kedalaman hatinya yang terdalam. Liturgi haruslah dirancang dan dipersiapkan serta dilaksanakan oleh imam dengan melibatkan OMK sedemikian rupa sehingga membantu OMK untuk menghayati iman tersebut. Liturgi perlu dikerjakan sesuai dengan bahasa OMK yang merayakannya, agar dapat dipahami dan dihayati. Sungguh, jika OMK diberi kepercayaan dan didampingi dengan serius oleh pendamping yang tekun, maka mereka akan melakukan perkara-perkara baik yang tidak kita duga sebelumnya. Lebih dari itu, mereka akan mennghayati iman secara hidup dan cool.

Berkomunitas

Pentingnya berkomunitas bagi OMK mesti didasarkan pula oleh paham teologis yang tepat mengenai Gereja. Sampai dengan Konsili Vatikan II, banyak orang memahami Gereja sebagai sebuah ‘fenomena sosial/keagamaan’ yakni kelompok orang kristiani yang dipimpin oleh hirarki. Konsili menegaskan bahwa paham seperti itu tidak cukup! Gereja harus dimengerti bukan sebagai fenomena sosial, yang kelihatan, yang jasmani belaka. Ia adalah komunitas iman, harapan dan kasih dalam Kristus (bdk. Lumen Gentium, 8) Gereja ada bukan karena prakarsa manusia melainkan atas prakarsa Allah (bdk. Lumen Gentium 2,3,4). Pembimbing OMK mesti menyadari bahwa komunitas-komunitas OMK perlu berjejaring dan bergerak dalam misteri ini. Perlu dibatinkan oleh pembimbing, bahwa OMK ada karena panggilan Allah sendiri melalui Kristus dalam Roh Kudus. Mereka tak sekedar berkumpul karena sama-sama berminat akan hobi tertentu, namun pertama-tama karena inisiatif Yesus yang memanggil mereka menjadi satu kawanan. Jika hal ini dibuat, tentu keluhan bahwa OMK lari ke komunitas lain tak akan terjadi, atau yang lari akan kembali, karena merasakan kehangatan rohani dalam misteri panggilan Kristus dalam gereja-Nya. Seorang muda yang menulis surat kedua di atas akan tertolong jika memiliki dan dimiliki oleh sebuah komunitas OMK yang hangat, yang berpusat pada misteri kehadiran Kristus.

Katekese yang Menggerakkan

Pengajaran iman yang animatif, menggerakkan olah pikir pasti akan menggairahkan OMK. Para katekis dan pastor, bahkan orangtua, perlu mempelajari cara-cara baru untuk mengajarkan bagian-bagian pengajaran iman Katolik. Yang menarik adalah, sumber-sumber itu sekarang bisa didapatkan secara berlimpah ruah oleh para pendamping dan katekis manakala mereka mengunduh bahan-bahan itu dari internet. Lebih dari itu, muncul prakarsa-prakarsa dari para pendamping yang melibatkan OMK sendiri untuk membangun situs web dengan memanfaatkan media internet.

Metode katekese calon komuni I dan krisma mestinya tak hanya klasikal dan tradisional. Katekis bisa saja membuka kesempatan OMK mempelajari pokok-pokok iman dari internet, dengan melibatkan orangtua untuk mendampingi dan memeriksanya. Mmetode ini mensyaratkan adanya website-website Katolik yang baik. Dalam penelusuran saya, telah ada web-web mengenai pengajaran iman Katolik dalam bahasa Indonesia. Kita bisa mencoba mencari dengan google dengan kata kunci misalnya “katolisitas”, “gereja katolik”, “iman katolik”, “ekaristi”, dan semacamnya. Cara ini akan jauh menggairahkan dan menggerakkan jika pembimbing OMK terampil membuat tantangan bagi OMK agar memanfaatkan teknologi terkini yang mulai nereka digemari ini. Selain itu, OMK perlu dirangsang agar kritis dan tertantang untuk menanyakan segala hal yang menjadi ganjalan hatinya manakala mendengar aspek katekese tertentu.

Pembimbing yang Berkarakter Kuat

Pembimbing yang berkarakter kuat ialah pendamping OMK yang sabar dan tekun, ada (available) untuk dan bersama komunitas OMK. Ia merupakan pengejawantahan Gembala yang Baik, yang mengenal domba-dombanya, dan domba-dombanya mengenalnya. Ia mendengar perkembangan OMK yang dinamik. Bagaikan menerbangkan layang-layang, ia tahu kapan saat menarik benang dan kapan saat untuk mengulurnya, mencermati arah angin. OMK percaya kepadanya, sebagaimana ia percaya kepada OMK yang ia dampingi, bahwa mereka memiliki daya kekuatan ilahi dari dalam diri mereka untuk berkembang. Pembimbing yang demikian itu ialah para orangtua dalam keluarga, para pastor, para animator dan pengurus bidang kepemudaan paroki, para penggiat OMK di komunitas-komunitas ketegorial seperti komunitas pelajar, mahasiswa dan karyawan muda Katolik, dan semacamnya. Maka, organisasi pengelola pastoral OMK semestinya selalu mengkader pembimbing-pembimbing yang handal. Perlu dibuat secara rutin oleh Komisi Kepemudaan dalam kerjasama dengan komisi lain dalam Gereja, untuk membentuk pendidikan para pembina, agar ada out put ketersediaan pembina yang berkarakter gembala yang baik. Kata lainnya ialah pembimbing yang berusaha menjadikan diri mereka teladan, yang menghayati iman dalam perkara harian. OMK akan menghargai dan mengikuti arah keteladanan pembimbing yang mengakui kelemahannya, namun tidak berkompromi untuk dibelokkan ke arah budaya sekularistik.

Catatan: Artikel ini dibuat untuk acara “Temu Darat Katolisitas 1″, yang diselenggarakan pada tanggal 7 Desember 2010 di Jakarta Utara. Artikel ini pernah dimuat di buletin KommKel KWI tahun 2009.

* Sekretaris Eksekutif Komisi Kepemudaan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI