Ekaristi, Sakramen Puncak Kebersamaan Dengan Tuhan dan Sesama (4)

EKARISTI DALAM KITAB SUCI [ Bagian ke-3]

F. Beberapa Makna Teologis Ekaristi dalam Perjanjian Baru. Perjanjian Baru memuat suatu refleksi teologis yang amat kaya mengenai Ekaristi. Kita bisa mendekati melalui cara pembahasan teks-teks Ekaristi dari Perjanjian Baru. Dan dari sana menarik beberapa point teologis, tetapi kita juga bisa mengambil secara umum pokok-pokok teologis mengenai Ekaristi sebagaimana terungkap dalam teks-teks Perjanjian Baru.

• Ekaristi sebagai persatuan-kebersamaan dengan Yesus Kristus. Dalam perjamuan Ekaristi, Yesus Kristus menjadi Tuan Rumah sekaligus Hidangannya sendiri. Dalam 1Kor 11:20, dikatakan bila kita berkumpul, kita berkumpul untuk makan perjauman Tuhan. Kata “perjamuan Tuhan” berarti perjamuan yang diselenggarakan oleh Tuhan sendiri. Sedangkan dalam 1 kor 10:21, Kitab Suci berbahasa Indonesia menerjemahkan “perjamuan Tuhan”, tetapi maksud sebenarnya adalah “meja Tuhan.” Dengan kata, “meja Tuhan” ditunjuk korban persembahannya atau hidangannya sendiri, maka dengan ikut perayaan Ekaristi, kita beroleh kesatuan dan kebersamaan dengan Kristus sendiri. Kesatuan dan kebersamaan dengan Yesus Kristus ini juga diungkapkan dalam Injil Yohanes, “Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia tinggal di dalam Aku dan Aku dalam dia.” (Yoh 6:56),
• Ekaristi sebagai persatuan-kebersamaan dengan seluruh Gereja. Macam dan jenis koinonia kedua yang dibangun oleh Ekaristi adalah kebersamaan kita denagn sesama warga Gereja. Cukup menarik adalah cara atau logika Pauslu: bertolak dari partisipasi (koinonia) kita dalam satu tubuh (dalam arti ekaristik), maka kita ini (Gereja) adalah satu tubuh. “Bukankah roti yang kita pecah-pecahkan adalah partisipasi/persekutuan kita dengan Tubuh Kristus (Ekaristi) karena roti adalah satu, maka kita, sekalipun banyak, adalah satu tubuh (Gereja) karena kita semua mendapat bagian dalam roti yang satu itu.” (1kor 10:16-17),

• Ekaristi sebagai kehadiran Yesus dalam roti dan anggur (Realis Praesentia). Dalam teks- teks kisah perjamuan terakhir diungkapkan suatu ajaran realis praesentia tatkala Yesus berkata, “Inilah Tubuh-Ku” (Mat 26:26; Mrk 14:22; Luk 22:19; 1Kor 11:24) dan “Inilah Darah-Ku” (Mat 26:28; Mrk 14:24). Kata “TUBUH” ( Yunani: SOMA) dalam Kitab Suci bukan sekadar berarti bagian fisik kita, seperti, kepala, kaki, dada, atau perut. Kata tubuh atau soma merupakan konsepsi biblis yang menunjuk seluruh pribadi manusia. Jadi, tubuh menunjuk seluruh diri, nasib, dan hidup manusia seluruhnya. Kalo begitu, “tubuh” dalam kata-kata Institusi tersebut ingin mengungkapkan bahwa Yesus mengidentikkan roti itu dengan diri-Nya sendiri. Kata “darah” dalam Perjanjian Lama menunjuk sumber, hakikat, dan intisari kehidupan (bdk. Im 17:11.14; Ul 12:23; Ul 19:10; Kej 9:6). Dengan demikian, kata darah juga menunjuk seluruh pribadi manusia dan bukan hanya darah dalam arti bagian tubuh kita yang berupa cairan merah tersebut. Oleh karena itu, kata-kata “Inilah Tubuh-Ku” dan “Inilah Darah-Ku” menunjuk kehadiran Yesus yang sungguh-sungguh real dalam rupa roti dan anggur, agar kita beroleh kebersamaan dan solidaritas dengan hidup dan seluruh nasib-Nya yang wafat dan bangkit untuk kita. Masalah kehadiran Yesus Kristus yang real dalam roti dan anggur juga sudah diajarkan dengan jelas dalam teks Yohanes 6, Yohanes menyebut dengan tegas soal makan “dagingKu” dan minum “darahKu” (lih. Yoh 6:51-56),

• Ekaristi sebagai darah Perjanjian Baru. Dalam teks liturgi Ekaristi kita, kita biasa mendengar kata-kata Yesus yang diucapkan oleh Pastor, “Inilah DarahKu, darah Perjanjian Baru dan kekal......” menyangkut soal perjanjian di sini, sebenarnya ada dua hal yang berbeda, yaitu istilah “darah perjanjian” dan “perjanjian baru”. Kata darah perjanjian hanya terdapat dalam kelompok Markus dan Matius yang menunjuk pada teks Kel 24. Teks Kel 24 berbicara mengenai darah perdamaian yang digunakan sebagai pengikat perjanjian antara Alalh dan umat-Nya, maka darah Kristus adalah darah pendamaian yang mendamaikan Allah dan umat manusia dalam suatu ikatan yang baru. Kata perjanjian baru terdapat dalam teks Lukas dan Paulus yang menunjuk pada Yer 31:31-34. Konteks Yer 31 adalah zaman eskatologis, zaman pemulihan, yaitu zaman perjanjian baru yang akan terjadi pada akhir zaman, pemulihan perjanjian itu telah digenapi dalam Kristus yang kini menghadirkan perjanjian baru dari zaman akhir itu,

• Ekaristi sebagai penebusan dan pengampunan dosa. Ekaristi mengenangkan wafat Yesus yang dimaksudkan bagi keselamatan kita. Inilah ciri soteriologis Ekaristi bahwa Yesus itu menyerahkan diri bagi kita dan bagi pengampunan dosa (luk 22:19; 1Kor 11:24; Mrk 14:24; Mat 26:28). Teks-teks ini merupakan pengertian dan penafsiran Gereja Perdana atas wafat Yesus menurut teks Hamba Yahwe yang bersengsara (Yes 53). Kematian Yesus adalah wafat untuk penebusan dosa semua orang. Artinya penganugerahan pengampunan dosa, maka Ekaristi merayakan karunia penebusan dan pengampunan dosa yang diberikan Allah kepada kita melalui wafat Yesus.

• Ekaristi sebagai partisipasi dalam perjamuan eksatologis. Perayaan Ekaristi juga merupakan perjamuan surgawi, perjamuan eskatologis (Mrk 14:25; Mat 26:29; Luk 22:18). Dalam pewartaan-Nya mengenai Kerajaan Allah, Yesus sering mengungkapkan perjamuan eskatologis ini (Mat 8:11; 22:1-14). Dengan Ekaristi, kita mencicipi perjamuan eskatologis yang berupa kebersamaan dengan Allah secara kekal (bdk. 1Kor 11:26). Yohanes menyebut Ekaristi sebagai karunia hidup kekal ketika mengutip kata-kata Yesus, “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jikalau kamu tidak makan daging Anak Manusia dan minum darahNya, kamu tidak mempunyai hidup di dalam dirimu. Barangsiapa makan dagingKu dan minum darah-Ku, ia mempunyai hidup yang kekal dan Aku akan membangkitkan dia pada akhir zaman.” (Yoh 6:53-54)

• Ekaristi sebagai penetapan Tuhan. Perayaaan Ekaristi Gereja bukanlah hobi ataupun rekayasa para murid Kristus. Apabila kita merayakan Ekaristi, itu karena diperintahkan Tuhan. Ekaristi ini ditetapkan oleh Yesus sendiri. Teks sentralnya adalah kata-kata Yesus, “Perbuatlah ini guna memperingati Aku” (Luk 22:19; 1Kor 24:25). Kata “memperingati” menunjuk ciri anamnesis perayaan Ekaristi. Istilah anamnese bukan hanya menunjuk gagasan mengingat-ingat secara intelektual- subjektif, melainkan menghadirkan apa yang dikenang itu sehingga apa yang dikenang itu kini benar-benar ada, hadir, dan berdaya/bertindak. Dalam Ekaristi, kita mengenangkan Kristus dan karya penyelamatan-Nya. Artinya, Kristus dan karya penyelamatan0Nya itu kini sungguh hadir bagi kita di sini.

• Ekaristi sebagai pewartaan dan tanda iman. Dengan merayakan Ekaristi, kita sebenarnya mewartakan “kematian Tuhan” (1Kor 11:26). Memberitakan atau mewartakan wafat Tuhan sama saja berarti menghadirkan peristiwa wafat Yesus itu. Atas berita akan wafat Tuhan itu, dituntut iman. Itulah sebabnya, Yesus menuntut iman kepercayaan dari para pendengarNya, “Inilah pekerjaan yang dikehendaki Allah, yaitu hendaklah kamu percaya kepda Dia yang telah diutus Allah.” (Yoh 6:29). Ekaristi memang harus dirayakan dengan iman dan kepercayaan dari mereka yang merayakannya.

EKARISTI DALAM PRAKSIS DAN AJARAN GEREJA

Kita hanya akan mengikuti dua bagian pokok dari sejarah praksis dan ajaran gereja mengenai Ekaristi, yaitu dari sisi praktik liturgi perayaan Ekaristi dan dari sisi pandangan teologis dan ajaran Gereja mengenai Ekaristi. Dalam hal ini akan disampaikan pokok-pokoknya saja.
.Praksis Liturgis Ekaristi.

a. Sudah sejak awal Gereja merayakan Ekaristi sebagai pusat dan puncak kehidupannya. Perayaan Ekaristi itu dirayakan pada pertemuan jemaat kristiani setiap Minggu. Kis 20:7-11 mengisahkan pertemuan umat kristiani di Troas. Dalam pertemuan jemaat itu, dirayakan pemecahan roti. “Pada hari pertama dalam minggu itu, ketika kami berkumpul untuk memecah-mecahkan roti, Paulus berbicara dengan saudara-saudara di situ karena ia bermaksud berangkat pada keesokan harinya.” (Kis 20:7). Jemaat kristiani purba memang memiliki kebiasaan untuk berkumpul pada Minggu (bdk. Yoh 20:19.26; Luk 24:1.33; 1Kor 16:2) karena Tuhan bangkit pada hari itu (bdk. Mat 28:1; Mrk 16:1; Luk 24:1; Yoh 20:1). Pada mulanya perayaan Ekaristi Gereja disatukan dengan perjamuan makan biasa yang disebut Agape. Menurut penelitian, pada bentuknya yang tertua, perayaan Ekaristi dirayakan menurut model perjamuan malam terakhir dengan Yesus, yaitu pemecahan roti ekaristis lalu perjamuan makan sebenarnya dan akhirnya minum piala ekaristis pada akhir perjamuan. Walaupun tindakan pemecahan roti dan miunum piala ekaristis itu terpisah, keduanya tetap dipandang sebagai satu kesatuan tindakan perayaan Ekaristi. Akan tetapi, dalam waktu relatif cepat, bagian pemecahan roti ekaristis ini digabungkan dengan bagian minum piala eksristis, sehingga kedua bagian membentuk satu kesatuan perayaan Ekaristi. Akibat penggabungan kedua bagian itu adalah pemisahan perayaan Ekaristi dari perjamuan makan sebenarnya (Agape). Pada waktu itu perayaan Ekaristi dirayakan sesudah perjamuan makan agape. Tulisan Didache (pada 80-130an) memberikan contoh doa-doa bagi perayaan Ekaristi yang tampaknya dihubungkan dengan perayaan Agape ini.

PANDANGAN TEOLOGIS DAN AJARAN GEREJA
1. Ekaristi Dalam Ajaran Para Bapa Gereja. Umumnya para Bapa Gereja melanjutkan gagasan biblis mengenai Ekaristi. Para Bapa Gereja tidak mengalami kesulitan dalam pemikiran sakramental-simbolis. Realis-praesentia, yaitu Kristus yang sungguh hadir dalam rupa simbol roti dan anggur,juga ditekankan dan diterima tanpa persoalan dalam masa Patristik.

• Santo Agustinus dari Antiokhia. Melanjutkan gagasan teologi Ekaristi Santo Paulus, yaitu dengan membangun suatu eklesiologi ekaristik. Menurut isinya, Ignatius mengajarkan mengenai roti Ekaristi sebagai tubuh Tuhan sendiri (Surat untuk umat di Smyrna 7:1, dan umat Roma 7:23),

• Santo Yustinus Martir. Meyakini bahwa santapan Ekaristi adalah tubuh dan darah Yesus Kristus sendiri, dan yang cukup menarik, Yustinus menekankan bahwa Sang Logos itulah yang menjadi Sang Konsekrator sendiri. Kalo begitu, makna epiklese sudah disadari, hanya saja di sini ialah “epiklese Logos”. Teologinya begini, sebagaimana Sang Logos dulu mengambil kodrat manusia, menjadi Yesus, kini Dia pun menjadi daging dalam Ekaristi. Dalam santapan ekaristik, hadirlah Sang Logos yang dulu menjadi manusia dalam Yesus Kristus,
• Santo Irenius. Memahami Ekaristi menurut dua cara pandang.
a. Pandangan ekaristiknya berhubungan dengan pemahamannya yang positif akan penciptaan. Hal ini sangat berlawanan, misalnya, dengan paham gnostisisme. Pandangannya yang positif akan penciptaan ini tampak dalam konsentrasi teologisnya pada realitas tubuh dan darah Yesus,
b. Pemikiran Irenius juga memusatkan perhatian pada masalah Logosmitteilung atau masalah pewahyuan Sang Logos. Nyatanya, dua cara pemikiran Irenius ini akan terpisah dalam dua mashab sekolah Yunani, yakni mashab Alexandria dan Antiokia,

• Sekolah Alexandria (Mesir). Sekolah ini bergerak dalam alam pikir filsafat yang bertolak pada pemikiran Plato dan terpengaruh ole Gnosis Yunani. Tokoh-tokohnya adalah Origenes, Klemens, dan Athanasius. Fokus teologi Alexandria adalah pribadi Sang Logos yang ditemukan dalam Ekaristi. Manusia dapat berjumpa dengan Sang Logos karena Sang Logos melaksanakan dalam Ekaristi suatu inkarnasi sakramental,

• Sekolah Antiokia (Siria). Tentang Ekaristi, mashab ini menekankan kehadiran Yesus historis dalam santapan ekaristik. Di sini gagasan anamnese amat ditekankan. Isi dari peristiwa keselamatan yang dikenangkan adalah inkarnasi yang pemenuhannya terjadi dalam wafat dan kebangkitan Yesus Kristus. Lalu perayaan Ekaristi menjadi gambaran/citra/salinan (abbild) dari peristiwa yang dikenangkan sebagai Urbildnya (gambar/peristiwa aslinya), yaitu peristiwa penyelamatan Kristus itu. Dengan demikian, sekolah Antiokia memikirkan anamnese sebagai berikut: perayaan Ekaristi menghadirkan peristiwa penyelamatan Allah dalam Yesus Kristus oleh daya kekuatan Roh Kudus. Tokohnya adalah Yohanes Chrisostomus,

• Bapa-bapa Gereja Latin. Tekanan ajaran Ekaristi Bapa-bapa Gereja Latin adalah masalah Realis praesentia. Dua tokoh penting dalam ajaran sakramen Bapa Gereja Latin adalah Ambrosius dan Agustinus.

a. Ambrosius. Memandang santapan sakramental sebagai benar-benar tbuh dan darah Yesus. Prinsip yang membuat itu adalah Sabda Kristus. Sabda Kristus ini menyebabkan suatu perubahan (consecratio, mutatio) dari roti dan anggur menjadi tubuh dan darah Kristus. Ambrosius pertama-tama mau menonjolkan soal realitas perubahan itu. Dalam Ekaristi itu, benar-benar terjadi perubahan dari roti dan anggur menjadi Tubuh dan Darah Kristus. Itu yang dikatakan Ambrosius. Akan tetapi, Ambrosius belum menjelaskan proses perubahan itu. Sisi yang kelihatan dan luar mempunyai fungsi simbolis atau gambaran untuk kebenaran sakramen (yang dilambangkan),
b. Agustinus. Memiliki orientasi pada segi antroposentris dan eklesiologis untuk teologi sakramennya. Ia merenungkan sakramen dan juga Ekaristi dalam hubungannya dengan subjek sakramen dan dimensi eklesialnya, yaitu jemaat yang merayakannya. Agustinus mengembangkan ekslesiologi ekaristi yang bagus, suatu eklesiologi yang dikembangkan dengan bertolak dari Ekaristi. Kesatuan Gereja dibangun atas kesatuan kita dengan Ekaristi. Akan tetapi, juga sebaliknya: hanya bila kita ini warga Tubuh Kristus (Gereja) yang benar, kita sungguh menerima tubuh dan darah Kristus. Agustinus umumnya bergerak pada pemahaman realismus, simbolismus, dan spiritusalismus. Akibatnya, para ahli tidak bisa sepakat dalam penafsirannya akan teologi Agustinus karena pahamnya bergerak kemana-mana. Hal ini dapat kita pahami. Pada suatu saat, Agustinus berkata mengenai santapan Ekaristi yang sungguh-sungguh tubuh Kristus, tetapi pada kesempatan lain, ia berbicara mengenai santapan Ekaristi yang harus dipahami secara spiritual. Cara pandang yang melihat sakramen sebagai tanda tegangan antara yang simbolis danreal itu juga menjadi latar belakang Agustinus membedakan prinsip sakramen, tetapi cara pandang Agustinus yang masih mempertahankan kesatuan makna simbolis dan realis ini agak sulit dipahami pada masa kemudian sehingga terjadilah suatu arah pandang yang ekstrem, seperti terjadi pada pertikaian tentang Ekaristi pada abad IX dan XI, yang di lain pihak justru mengarahkan Gereja pada perenungan mendalam mengenai Transsubstantiatio.

Disunting dari buku,
Sakramen-Sakramen Gereja [Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Pastoral]
Rm. E. Martasudjita, Pr