Ekaristi, Sakramen Puncak Kebersamaan Dengan Tuhan dan Sesama (5)

REFLEKSI SISTEMATIS: TEOLOGI EKARISTI DALAM AJARAN KONSILI VATIKAN II

• Konsili Vatikan II merumuskan ajarannya mengenai Ekaristi secara ringkas dalam SC 47: “Pada perjamuan terakhir, pada malam Ia diserahkan, Penyelamat kita mengadakan Korban Ekaristi Tubuh dan DarahNya. Dengan demikian, Ia mengabadikan Kurban Salib untuk selamanya, dan mempercayakan kepada Gereja Mempelai-Nya yang terkasih kenangan Wafat dan Kebangkitan-Nya: sakramen cinta kasih, lambang kesatuan, ikatan cinta kasih, perjamuan Paskah. Dalam perjamuan itu Kristus disambut, jiwa dipenuhi rahmat, dan kita dikaruniai jaminan kemuliaan yang akan datang.”

• Berpangkal dari SC 47 dan dikaitkan dengan dokumen Vatikan II lainnya, kita bisa mengambil beberapa point teologis tentang Ekaristi.

1. Dimensi Kristologis
- Perayaan Ekaristi bukan ciptaan dan rekayasa Gereja. Ekaristi ditetapkan dan diperintahkan oleh Tuhan Yesus Kristus sendiri, yaitu pada perjamuan terakhir, saat Tuhan bersabda, “Lakukanlah ini sebagai kenangan akan Daku.” Dalam hal ini Vatikan II menegaskan ajaran tradisional (Konsili Trente DS 1637),

- Ekaristi ditetapkan Yesus sebagai kenangan akan Diri-Nya, yaitu Dia dan karya penyelamatan-Nya yang berpuncak pada wafat dan kebangkitan-Nya. Gereja merayakan misteri Paskah Kristus ata maut dihadirkan di situ (bdk. SC 6). Karya penebusan Kristus terwujud dalam Kurban salib-Nya, maka perayaan Ekaristi menjadi kenangan Kurban Salib Kristus secara sakramental dalam tindakan liturgis Gereja.

a) Ekaristi sebagai kurban
• Ajaran Vatikan II mengenai Ekaristi sebagai kurban (SC 2.7.47; LG 10.11.28 ; PO 2) jelas berhubungan dengan tradisi teologis dan ajaran Konsili Trente, misalnya, dalam SC 7 sesudah pernyataan “Kristus hadir dalam kurban misa, baik dalam pribadi pelayan.”
• Vatikan mengutip kata-kata Trente tentang kurban secara harafiah, “Karena yang sekarang mempersembahkan diri melalui pelayanan imam sama saja dengan Dia yang ketika itu mengurbankan Diri di kayu salib.” (DS 1743),
• Di satu pihak, rumusan Ekaristi sebagai kurban ini menegaskan ajaran tradisional Gereja (Trente- DS 1738-1759 dan diulangi Mediator Dei 66). Akan tetapi, dilain pihak, tampaknya Vatikan II memperhatikan suasana diskusi teologis pada waktu itu, khususnya suasana diskusi ekumenis,
• Dalam teologi Katolik, pertanyaannya bukan lagi seperti Trente, apakah misa itu suatu kurban, tetapi yang dipersoalkan adalah bagaimana “keidentikan” kurban misa dan kurban salib Kristus itu harus dipahami. Bagaimana harus dimengerti bahwa Ekaristi merupakan kurban Ekaristi yang dirayakan Gereja sekaligus juga kurban salib Kristus,
• Vatikan II menghubungkan kurban Ekaristi dengan perjamuan terakhir dan kurban salib sakaligus. Kristus “mengadakan kurban Ekaristi Tubuh dan Darah-Nya.” Pada perjamuan terakhir (SC47). Kurban Ekaristi ditetapkan Untuk “mengabadikan kurban salib untuk selamanya.” (SC 47), maka tampak di sini kesatuan kurban Ekaristi dan kurban salib Kristus. Artinya, Ekaristi merupakan suatu kurban di mana Yesus Kristus mengabadikan kurban salibNya yang sekali untuk selamanya itu (Ibrani 7:27) di dalam, melalui, dan dengan Gereja,

b) Ekaristi sebagai perayaan kenangan (anamnese)

• Persoalan yang harus dijawab ialah bagaimana kurban Ekaristi sekaligus merupakan kurban salib Kristus juga. SC 47 memberi jawaban atas soal itu dengan “menabadikan” (prepetuare) dan “kenangan” (memoriale),
• Pengabadian kurban sakib Kristus terjadi dalam perayaan Ekaristi melalui perayaan kenangan atau memoria. Dengan istilah kenangan, mau diungkapkan pengertian biblis mengenai anamnese (bahasa Yunan) yang menunjuk pada tindakan penyelamatan Allah di masa lampau, tetapi tindakan itu kini dihadirkan secara real dan nyata sedemikian rupa, sehingga sebenarnya yang menjadi objek pengenangan tetaplah tindakan penyelamatan Allah pada hari dan saat ini dan di tempat ini. Mengapa? Karena tindakan Allah tidak pernah bersifat basi dan lampau,
• Aktualisasi tindakan Allah di masa lampau ke masa sekarang ini tidak pernah terpisahkan dengan cakrawala pandangan ke depan, di mana Allah akan memenuhi dan menyelesaikan tindakan-Nya di akhir zaman. Jadi, kenangan atau anamnese ini bukan sekadar tindakan mengingat-ingat secara intelektual atau tindakan melamun untuk mengingat kisah atau pengalaman masa lampau,
• Demikianlah, dalam perayaan Ekaristi kurban salib Kristus yang sekali untuk selamanya itu kini dikenang. Artinya, dihadirkan dalam kerangka Gereja, tetapi kini kurban salib Kristus yang satu dan sama itu dirayakan oleh Kristus melalui dan bersama dengan Gereja-Nya dalam rupa roti dan anggur.

c) Ekaristi sebagai Sakramen.

• SC 47 juga menyebut bahwa Kristus “mempercayakan kepada Gereja, Mempelai-Nya yang terkasih, kenangan wafat dan kebangkitan-Nya: sakramen cinta kasih, lambang kesatuan ikatan cinta kasih”,
• Ekaristi yang menghadirkan kurban salib Kristus itu disebut juga sebagai sakramen. Ini berarti, Vatikan II tidak memisahkan konsepsi sakramen dan kurban Ekaristi,
• Hal ini merupakan suatu kemajuan dan pembaruan karena dalam teologi sesudah Trente hingga pra-Vatikan II, makna kurban, sakramen, dan realis praesentia dari Ekaristi dibicaralan dalam traktat sendiri-sendiri dan hampir tidak pernah ada usaha mempersatukannya,
• Barangkali ini berkaitan dengan dekrit trente sendiri yang karena berbagai alasan praktis dan historis membahas Ekaristi dalam tiga sesi bidang,
• Pembahasan Ekaristi yang tidak dalam satu kesatuan sidang dari Trente ini tampaknya ditafsirkan oleh teologi sesudahnya juga sebagai pembagian logis dan teologis,
• Konsili Vatikan II ingin menyatakan bahwa perayaan Ekaristi merupakan perayaan sakramental yang mengenangkan kurban salib Kristus,
d) Ekaristi sebagai perjamuan
• Vatikan II juga mengajarkan Ekaristi sebagai perjamuan Paskah. Ungkapan Ekaristi sebagai perjamuan Paskah ini harus dimengerti secara holistik dalam rangka seluruh perayaan Ekaristi. Artinya, Ekaristi merupakan perayaan kenangan dan sakramen karya keselamatan Allah yang memuncak dalam misteri Paskah Kristus dalam bentuk: perjamuan.

2. Dimensi Eklesiologis

a) Ekaristi sebagai perayaan Gereja.
• Tuhan Yesus Kristus mempercayakan perayaan Ekaristi ini kepada Gereja. Dengan Ekaristi, kini Gereja mendapat cara dan jalan masuk ke misteri penyelamatan Allah dalam Kristus karena melalui liturgi, terutama dalam kurban ilahi Ekaristi, terlaksanalah karya penebusan manusia (Sc2),
• Lebih dari itu, Ekaristi sebagai lambang kesatuan (bdk SC 47) menunjuk maksud penganugerahan Ekaristi oleh Kristus itu, yakni agar Gereja memiliki kebersamaan dan kesatuan dengan Allah melalui Dia dalam Roh Kudus dan warga Gereja sendiri (bdk. SC 48),
• Di samping itu, dengan merayakan Ekaristi, Gereja sebenarnya mengungkapkan dan melaksanakan dirinya sebagai sakramen keselamatan Allah (SC 5.26; LG 48; GS 42; AG 1.5). justru karena Gereja menghadirkan Kristus, Sang Sakramen induk itu,
• Hal ini juga terungkap dalam SC 2,”Sebab melalui liturgilah, terutama dalam kurban ilahi ekaristi, terlaksana karya penebusan kita..”. dalam SC 48 dan terutama SC 26 dinyatakan sifat eklesial dari setiap perayaan liturgi termasuk ekaristi: “Upacara-upacara liturgi bukanlah tindakan perorangan, melainkan perayaan Gereja sebagai sakramen kesatuan, yakni umat kudus yang berhimpun dan diatur di bawah para Uskup, maka upacara-upacara itu menyangkut seluruh tubuh Gereja dan menampakkan serta mempengaruhinya; sedangkan masing- masing anggota disentuhnya secara berlain-lainan, menurut keanekaan tingkatan, tugas, serta keikutsertaan aktual mereka.”
• SC 26 tersebut mengungkapkan bahwa Ekaristi merupakan perayaan seluruh Gereja dan bukan perayaan pribadi, maka berapa pun jumlah pesertanya suatu perayaan Ekaristi tetap merupakan perayaan Ekaristi yang sah, apabila telah dirayakan sesuai dengan kehendak Gereja, justru karena Ekaristi merupakan perayaan seluruh Gereja,
b) Ekaristi sebagai pusat liturgi.
• Misteri Ekaristi dipandang oleh Vatikan II sebagai pusat seluruh liturgi (bdk. SC 6). Sentralitas Ekaristi dalam liturgi menunjuk pada pemahaman Vatikan II yang di satu pihak melihat Ekaristi sebagai perwujudan tertinggi liturgi dan di lain pihak memandang aneka perayaan liturgi yang lain dari sudut Ekaristi,
• Dengan perkataan lain, segala maca, bidang perayaan liturgi mengalir dan tertuju pada perayaan Ekaristi sebagai pusat dan puncaknya.

Disunting dari buku,
Sakramen-Sakramen Gereja [Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Pastoral]
RD. E. Martasudjita