“Ia berpaling dan menegor mereka” (Ayb 3:1-3.11-17.20-23; Mzm 88:2-6; Luk 9:51-56)

“Ia berpaling dan menegor mereka”

“Ketika hampir genap waktunya Yesus diangkat ke sorga, Ia mengarahkan pandangan-Nya untuk pergi ke Yerusalem, dan Ia mengirim beberapa utusan mendahului Dia. Mereka itu pergi, lalu masuk ke suatu desa orang Samaria untuk mempersiapkan segala sesuatu bagi-Nya. Tetapi orang-orang Samaria itu tidak mau menerima Dia, karena perjalanan-Nya menuju Yerusalem. Ketika dua murid-Nya, yaitu Yakobus dan Yohanes, melihat hal itu, mereka berkata: "Tuhan, apakah Engkau mau, supaya kami menyuruh api turun dari langit untuk membinasakan mereka?" Akan tetapi Ia berpaling dan menegor mereka. Lalu mereka pergi ke desa yang lain”(Luk 9:51-56), demikian kutipan Warta Gembira hari ini

Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:

· Yerusalem adalah kota suci atau kota idaman, maka kalau Yesus mengarahkan pandanganNya berarti menatap atau menghadapi pemenuhan tugas pengutusanNya dan bagi kita berarti pemenuhan cita-cita atau dambaan yang baik dan suci alias menjadi suci. Untuk menjadi suci atau baik memang harus menghadapi aneka tantangan, masalah dan hambatan. Ada kecenderungan umum di antara kita ketika menghadapi tantangan, masalah atau hambatan dari ssorang bernafsu untuk membunuh atau memusnahkan orang tersebut, sebagaimana dimohonkan oleh Yakobus dan Yohanes “Tuhan apakah Engkau mau, supaya kami menyuruh api turun dari langit untuk membinasakan mereka”. Kita tidak baik membinakan orang yang menghambat atau mengganggu kita, melainkan yang baik adalah dengan rendah hati mempertobatkan mereka. Maka baiklah kami mengingatkan dan mengajak kita semua: hendaknya jangan membinasakan atau membunuh para pendosa, melainkan ajaklah para pendosa untuk bertobat, jangan menyingkirkan mereka yang bodoh, bermasalah, dst.., melainkan didik dan dampingi mereka untuk mengatasi kebodohan dan permasalahan mereka. Hadapi masalah, tantangan dan hambatan sebagai wahana atau jalan untuk mendewasakan diri, sebagai bantuan bagi kita untuk semakin menjadi suci, semakin dikasihi oleh Tuhan dan sesama manusia dimanapun dan kapanpun. Mereka yang menghindari tantangan atau masalah akan menjadi pribadi yang kerdil dalam hal kepribadian alias tidak akan pernah menjadi dewasa. Mari kita belajar dari dunia wayang, yaitu Werkudoro atau Seno yang ttidak takut ancaman binatang buas di hutan belantara maupun gelombang samudera dalam mengusahakan untuk bertemu “Hyang Suci” di kedalaman samodra. Dengan begitu Werkudoro disebut sebagai ‘penegak Pandowo’, penegak saudara-saudaranya.

· Mengapa terang diberikan kepada yang bersusah-susah, dan hidup kepada yang pedih hati; yang menantikan maut, yang tak kunjung tiba, yang mengejarnya lebih dari pada menggali harta terpendam; yang bersukaria dan bersorak-sorai dan senang, bila mereka menemukan kubur; kepada orang laki-laki yang jalannya tersembunyi, yang dikepung Allah” (Ayb 3:20-23). “Terang diberikan kepada yang bersusah-payah,dan hidup kepada yang pedih hati” mungkin juga menjadi pertanyaan kita semua, namun hemat saya itulah kebenaran sejati. Yang sungguh membutuhkan terang adalah mereka yang bersusah-payah dan hidup adalah yang pedih hati. Jika kita mawas diri secara jujur kiranya masing-masing dari kita sedang dalam keadaan susah-payah dan pedih hati juga, maka baiklah kami mengajak dan mengingatkan kita semua: marilah dengan rendah hati kita membuka diri terhadap aneka bantuan dari orang lain agar kita senantiasa dalam keadaan hidup bergairah serta terang-benderang terus menerus, sebaliknya ketika ada saudara-saudari kita yang menerima anugerah terang dan hidup alias hidup bahagia dan sejahtera hendaknya kita tidak iri hati, melainkan bersyukur. Marilah kita lihat dan cermati apakah di antara saudara-saudari kita ada yang sedang sangat bersusah-payah dan pedih hati, yang membutuhkan terang dan kegairahan hidup. Mereka kita doakan dan jika mungkin kita datangi dengan rendah hati guna membantu mereka terbebaskan dari susah-payah maupun pedih hati. Susah-payah dan pedih hati yang lahir dari kesadaran dan penghayatan diri sebagai yang berdosa, lemah dan rapuh merupakan rahmat dan awal untuk hidup dalam terang sejati. Susah-payah dan pedih hati yang demikian itu merupakan hiburan rohani, karena dengan demikian kita menyadari dan menghayati diri sebagai yang berdosa dan dipanggil oleh Tuhan untuk berpartisipasi dalam karya penyelamatanNya. Dari susah-payah dan pedih hati yang demikian ini akan lahirlah nilai-nilai atau keutamaan-keutamaan yang menyelematkan dan membahagiakan jiwa.

“Ya TUHAN, Allah yang menyelamatkan aku, siang hari aku berseru-seru, pada waktu malam aku menghadap Engkau. Biarlah doaku datang ke hadapan-Mu, sendengkanlah telinga-Mu kepada teriakku; sebab jiwaku kenyang dengan malapetaka, dan hidupku sudah dekat dunia orang mati. Aku telah dianggap termasuk orang-orang yang turun ke liang kubur; aku seperti orang yang tidak berkekuatan. Aku harus tinggal di antara orang-orang mati, seperti orang-orang yang mati dibunuh, terbaring dalam kubur, yang tidak Kauingat lagi, sebab mereka terputus dari kuasa-Mu”(Mzm 88:2-6).

Jakarta, 28 September 2010


Romo. Ign. Sumarya, SJ