30 September: Santo Hieronimus, Imam dan Pujangga Gereja

Eusebius Hieronimus Sophronius lahir di Stridon, Dalmatia pada tahun 342. Ayahnya, Eusebius, adalah seorang beriman Kristen yang saleh hidupnya dan dikenal luas sebagai tuan tanah yang kaya raya. Ia mendidik Hieronimus sesuai dengan kebiasaan-kebiasaan hidup Kristiani dan kebiasaan kerja keras. Ketika Hieronimus berusia 12 tahun, ia mengirimnya ke Roma untuk belajar ilmu hukum dan filsafat. Studinya berjalan lancar, hanya cara hidupnya tidak tertib karena pengaruh kehidupan moral orang Roma yang tidak terpuji pada masa itu. Untunglah bahwa ia lekas sadar dan bertobat dari cara hidupnya yang tidak tertib itu. Pada saat itulah ia meminta dipermandikan oleh Paus Liberius. Rahmat permandian yang diterimanya terus dihayatinya dengan banyak berdoa dan berziarah ke makam para martir dan para Rasul bersama kawan-kawannya. Kehidupan rohaninya terus meningkat, demikian pula cintanya kepada Tuhan dan sesama.

Pada tahun 370, ia berangkat ke kota Aquileia dan tinggal di sana: beberapa lama untuk mendapat bimbingan dari Valerianus, seorang Uskup yang saleh. Dari sana ia pindah ke kota Antiokia, dan menjalani hidup bertapa di padang gurun Chalcis, di luar kota Antiokia. Empat tahun lamanya ia hidup di dalam kesunyian padang gurun untuk belajar dan meningkatkan hidup rohaninya dengan doa dan puasa. Di bawah bimbingan seorang rabbi, ia belajar bahasa Yunani dan Ibrani.

Berkat kemajuan hidup rohaninya yang besar, ia dianggap layak untuk ditahbiskan menjadi imam. Peristiwa itu terjadi di Antiokia pada tahun 379. Setelah menjadi imam, Hieronimus pergi ke Konstantinopel karena tertarik pada cara hidup Santo Gregorius dari Nazianza. Ia memperoleh banyak pengalaman dari Gregorius bagi peningkatan hidupnya. Hieronimus kemudian berangkat ke Roma dan di sana ia menjadi sekretaris pribadi Sri Paus Damasus (366-384). Karena pengetahuannya yang luas dan mendalam tentang Kitab Suci dan kecakapannya dalam bahasa Latin, Yunani dan Ibrani, Hieronimus ditugaskan oleh Paus Damasus untuk membuat terjemahan baru atas seluruh isi Alkitab dari bahasa Yunani dan Ibrani ke dalam bahasa Latin. Untuk menunaikan tugas suci itu, ia pindah ke Betlehem, tempat kelahiran Yesus. Ia tinggal di sana selama 30 tahun untuk bekerja, belajar dan bersemadi. Perjanjian Lama diterjemahkannya dari bahasa Ibrani dan Aramik ke dalam bahasa Latin, sedangkan Perjanjian Baru diterjemahkannya dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Latin. Hasil terjemahannya sangat baik dan disukai banyak orang. Oleh karena itu terjemahannya disebut Vulgata, yang berarti Populer, dan sampai kini masih dianggap sebagai terjemahan yang resmi dan sah oleh Gereja.

Selain terkenal luas karena hasil terjemahannya, Hieronimus juga dikenal luas sebagai seorang pembela iman dari berbagai aliran bidaah dan pembimbing rohani. Dari segala penjuru datanglah banyak orang untuk mendapatkan bimbingannya dalam berbagai masalah ketuhanan dan Kitab Suci. Di Betlehem, Hieronimus mendirikan dua buah biara dan memimpinnya selama berada di Betlehem. Satu dari dua biara itu diperuntukkan bagi para biarawati di bawah pimpinan Santa Paula dan kelak oleh Santa Eustachia. Dua biara itu kemudian dibakar oleh para pengikut bidaah Pelagianisme. Kendatipun tertimpa kesedihan besar, Hieronimus terus giat menulis dan mengajar hingga wafatnya pada tahun 420. la dinyatakan oleh Gereja sebagai Orang Kudus sekaligus sebagai seorang Pujangga Gereja yang besar.

“Kerajaan Allah sudah dekat padamu”

(Ayb 19:21-27; Luk 10:1-12)

Kemudian dari pada itu Tuhan menunjuk tujuh puluh murid yang lain, lalu mengutus mereka berdua-dua mendahului-Nya ke setiap kota dan tempat yang hendak dikunjungi-Nya. Kata-Nya kepada mereka: "Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit. Karena itu mintalah kepada Tuan yang empunya tuaian, supaya Ia mengirimkan pekerja-pekerja untuk tuaian itu. Pergilah, sesungguhnya Aku mengutus kamu seperti anak domba ke tengah-tengah serigala. Janganlah membawa pundi-pundi atau bekal atau kasut, dan janganlah memberi salam kepada siapa pun selama dalam perjalanan. Kalau kamu memasuki suatu rumah, katakanlah lebih dahulu: Damai sejahtera bagi rumah ini. Dan jikalau di situ ada orang yang layak menerima damai sejahtera, maka salammu itu akan tinggal atasnya. Tetapi jika tidak, salammu itu kembali kepadamu. Tinggallah dalam rumah itu, makan dan minumlah apa yang diberikan orang kepadamu, sebab seorang pekerja patut mendapat upahnya. Janganlah berpindah-pindah rumah. Dan jikalau kamu masuk ke dalam sebuah kota dan kamu diterima di situ, makanlah apa yang dihidangkan kepadamu, dan sembuhkanlah orang-orang sakit yang ada di situ dan katakanlah kepada mereka: Kerajaan Allah sudah dekat padamu.Tetapi jikalau kamu masuk ke dalam sebuah kota dan kamu tidak diterima di situ, pergilah ke jalan-jalan raya kota itu dan serukanlah: Juga debu kotamu yang melekat pada kaki kami, kami kebaskan di depanmu; tetapi ketahuilah ini: Kerajaan Allah sudah dekat. Aku berkata kepadamu: pada hari itu Sodom akan lebih ringan tanggungannya dari pada kota itu." (Luk 10:1-12), demikian kutipan Warta Gembira hari ini

Berrefleksi atas bacaan-bacaan serta mengenangkan pesta St.Hieronimus, imam dan pujangga Gereja, hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:

· Kerajaan Allah berarti Allah yang meraja atau menguasai, maka para murid yang diutus untuk memberitakan Kerjaaan Allah berarti mereka harus mengusahakan agar semua ciptaan Allah di dunia ini, terutama manusia, senantiasa hidup dan bertindak sesuai dengan kehendak Allah. Kehendak Allah antara lain tertulis di dalam Kitab Suci, yang ditulis dengan ilham Roh Kudus. St. Hieronimus yang kita kenangkan hari ini dikenal sebagai pecinta Kitab Suci, maka baiklah sambil mengenangkan rahmat Allah kepadanya, marilah kita mawas diri sejauh mana hidup dan bertindak sesuai dengan kehendak Allah antara lain menghayati atau melaksanakan apa yang tertulis di dalam Kitab Suci. Hemat saya semua yang tertulis di dalam Kitab Suci menguraikan ajaran atau kehendak Allah yang utama dan pertama, yaitu ‘saling mengasihi satu sama lain’, maka marilah kita mawas diri sejauh mana kita senantiasa hidup dan bertindak saling mengasihi satu sama lain. Memang berbicara tentang kasih lebih mudah daripada melaksanakannya, karena kasih memang yang utama adalah untuk dihayati bukan diomongkan. Hidup dan bertindak dalam kasih pada masa kini hemat saya harus menghadapi aneka tantangan, hambatan dan masalah, mengingat egoisme dan keserakahan masih marak di sana-sini, dan mungkin egoisme dan keserakahan ini juga masih bercokol dalam diri kita yang lemah dan rapuh ini. Hidup dan bertindak dalam kasih antara lain berarti tidak mengandalkan pada aneka macam sarana-prasarana atau harta benda, melainkan pada Penyelenggaraan Ilahi.

· Sesudah kulit tubuhku sangat rusak, tanpa dagingku pun aku akan melihat Allah, yang aku sendiri akan melihat memihak kepadaku; mataku sendiri menyaksikan-Nya dan bukan orang lain. Hati sanubariku merana karena rindu”(Ayb 19{26-27), demikian kesaksian iman Ayub, yang kiranya baik menjadi permenungan atau refleksi kita bersama. Anggota tubuh kita dapat rusak, hancur, namun hati yang terpikat dan rindu akan Penyelenggaraan Ilahi akan tetap abadi. Maka baiklah kami mengajak dan mengingatkan kita semua untuk senantiasa memiliki hati yang terpikat dan terpesona pada Penyelenggaraan Ilahi, sehingga mau tak mau dambaan dan kerinduan kita ada pada Allah yang telah menciptakan dan mendampingi perjalanan hidup kita sampai kini. Dambaan suci, begitulah istilah dalam bahasa rohani, yang hendaknya kita miliki sebagai orang beriman. Memiliki dambaan suci berarti senantiasa berusaha untuk hidup suci, mewartakan apa yang baik dan menyelamatkan di dalam hidup sehari-hari. Untuk membantu ketahanan dan kekokohan dambaan suci ini hendaknya secara rutin sering membaca dan merenungkan apa yang tertulis di dalam Kitab Suci, karena “Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran.”(2Tim 3:16). Apa yang tertulis di dalam Kitab Suci pertama-tama untuk dibacakan dan didengarkan, bukan untuk didiskusikan atau berpolemik, maka bacalah dan dengarkan dengan baik dan rendah hati apa yang tertulis di dalam Kitab Suci.

“Dengarlah, TUHAN, seruan yang kusampaikan, kasihanilah aku dan jawablah aku! Hatiku mengikuti firman-Mu: "Carilah wajah-Ku"; maka wajah-Mu kucari, ya TUHAN.Janganlah menyembunyikan wajah-Mu kepadaku, janganlah menolak hamba-Mu ini dengan murka; Engkaulah pertolonganku, janganlah membuang aku dan janganlah meninggalkan aku, ya Allah penyelamatku” (Mzm 27:7-9)

Jakarta, 30 September 2010


Romo. Ign. Sumarya, SJ