22 September: Pw. St. Padre Pio, Imam

"Siapa gerangan Dia ini yang kabarnya melakukan hal-hal demikian?"
(Pkh 1:2-11; Luk 9:7-9)


"Herodes, raja wilayah, mendengar segala yang terjadi itu dan ia pun merasa cemas, sebab ada orang yang mengatakan, bahwa Yohanes telah bangkit dari antara orang mati. Ada lagi yang mengatakan, bahwa Elia telah muncul kembali, dan ada pula yang mengatakan, bahwa seorang dari nabi-nabi dahulu telah bangkit. Tetapi Herodes berkata: "Yohanes telah kupenggal kepalanya. Siapa gerangan Dia ini, yang kabarnya melakukan hal-hal demikian?" Lalu ia berusaha supaya dapat bertemu dengan Yesus" (Luk 9:7-9), demikian kutipan Warta Gembira hari ini.

Berefleksi atas bacaan-bacaan serta mengenangkan pesta St.Pius Padre Pio , imam, hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:
• Hidup terpanggil secara khusus menjadi imam, bruder atau suster atau membujang sering menjadi pertanyaan bagi mereka yang tidak atau kurang memahaminya, apalagi jika yang bersangkutan memeperoleh rahmat khusus dari Allah sebagaimana dialami oleh Padre Pio, yang memperoleh anugaerah `stigmata'. . Mereka yang tidak atau kurang memahami hidup terpanggil tersebut akan bertanya-tanya seperti Herodes mempertanyakan Yesus, "Siapa gerangan Dia ini, yang kabarnya melakukan hal-hal demikian?". Hal senada kiranya juga menjadi pertanyaan ketika dalam hidup bersama ada orang baik, jujur, disiplin, tertib alias tidak melakukan korupsi di tempat kerja atau tugas pada masa yang masih sarat dengan tindakan korupsi saat ini. Maka kami berharap kepada siapapun yang terpanggil secara khusus maupun hidup baik dan berbudi pekerti luhur untuk tetap setia hidup dan bertindak sesuai dengan panggilan dan tugas pengutusannya. Biarlah cara hidup dan cara bertindak yang demikian menjadi pertanyaan bagi mereka yang mendengar atau melihat. Jika yang bertanya-tanya tersebut berkehendak baik, percayalah bahwa mereka akan meniru apa yang kita hayati dan lakukan, sebaliknya jika mereka berkehendak jahat, percayalah bahwa mereka akan kecewa dan ada kemungkinan tergerak untuk menyingkirkan yang menimbulkan pertanyaaan tersebut. Hidup setia pada panggilan atau tugas pengutusan pada masa kini sungguh mendesak untuk dihayati dan disebarluaskan, mengingat dan memperhatikan cukup banyak orang yang tidak atau kurang setia pada panggilan dan tugas pengutusan mereka. "Setia adalah sikap dan perilaku yang menunjukkan keterikatan dan kepedulian atas perjanjian yang telah dibuat" (Prof Dr Edi Sedyawati/edit: Pedoman Penanaman Budi Pekerti Luhur, Balai Pustaka – Jakarta 1997, hal 24).

"Kesia-siaan belaka, kata Pengkhotbah, kesia-siaan belaka, segala sesuatu adalah sia-sia. Apakah gunanya manusia berusaha dengan jerih payah di bawah matahari" (Pkh 1:2-3). Apa yang dikatakan oleh kitab Pengkhotbah ini hemat kami merupakan suatu peringatan bagi kita semua bahwa apa yang ada di dunia ini bersifat sementara alias tidak abadi/tidak kekal. Dengan kata lain hendaknya jangan bersikap mental materialistis di dalam hidup sehari-hari, baik di dalam masyarakat maupun tempat kerja/tugas. Pengalaman dan pengamatan menunjukkan bahwa mereka yang bersikap materialistis ketika terjadi musibah seperti kebakaran atau kebanjiran dimana harta kekayaannya musnah, maka yang bersangkutan stress, stroke, bahkan ada yang gila atau sinthing. "Segala sesuatu adalah sia-sia. Apakah gunanya manusia berusaha dengan jerih payah di bawah matahari?". Peringatan ini kiranya mengingatkan dan mengajak kita semua untuk hidup sederhana, karena dengan hidup sederhana pasti akan tetap tegar dan tak berubah dalam menghadapi aneka macam musibah maupun gejolak kehidupan seperti krisis moneter. Memang ketika segala sesuatu didekati dan disikapi dengan sikap mental bisnis, pada umumnya orang tak mungkin hidup sederhana, karena yang menjadi acuan atau pedoman hidup adalah untung-rugi dan dengan demikian senantiasa mengejar keuntungan kapan saja dan dimana saja tiada henti. Marilah kita sikapi segala sesuatu sebagai anugerah Allah, yang kita terima melalui mereka yang telah berbuat baik kepada kita, karena dengan demikian kita akan tergerak untuk hidup sederhana. Mereka yang hidup sederhana di bumi ini pasti akan tahan terhadap aneka macam ancaman, krisis maupun godaan. Kami ingatkan juga bahwa orang yang pandai atau cerdas sejati pada umumnya dapat menyampaikan atau mengajarkan apa yang sulit dan berbelit-belit dengan sederhana dan dengan demikian dapat dimengerti oleh siapapun juga, demikian orang suci pada umumnya juga hidup sederhana.

"Engkau mengembalikan manusia kepada debu, dan berkata: "Kembalilah, hai anak-anak manusia!" Sebab di mata-Mu seribu tahun sama seperti hari kemarin, apabila berlalu, atau seperti suatu giliran jaga di waktu malam. Engkau menghanyutkan manusia; mereka seperti mimpi, seperti rumput yang bertumbuh, di waktu pagi berkembang dan bertumbuh, di waktu petang lisut dan layu" (Mzm 90:3-6)

Jakarta, 23 September 2010


Romo. Ign Sumarya, SJ