Renungan Bulan Katekese Liturgi Hari ke 4, 5, 6, dan 7

Merenungkan AKLAMASI-AKLAMASI

Hari ke-7

Perayaan Ekaristi selalu dibuka dengan Tanda Salib yang dij awab oleh umat dengan kata “Amin”. Nah, Amin ini merupakan salah satu aklamasi dalam perayaan liturgi. Namun sayangnya, banyak dari kita yang salah menyanyikan kata Amin menurut TPE baru. Yang betul itu A-nya pendek, min-nya yang panjang; dan bukan A-nya yang panjang dan min-nya pendek. Silahkan latihan!

Masih banyak aklamasi lain dalam Misa Kudus. Misalnya: Alleluia, klamasi sebelum dan sesudah bacaan Injil, dialog pembuka prefasi, Kudus, aklamasi anamnese, Amin untuk doksologi, aklamasi untuk embolisme, aklamasi sebelum berkat. Bila aklamasi-aklamasi tersebut tidak dinyanyikan dengan benar, Misa menjadi tampak kurang bersemangat dan panjang; apalagi bila dinyanyikan dengan nada dasar yang terlalu rendah. Memang berbunyi, bersuara, namun tidak ada greget atau semangat.

Rasanya sebuah Misa sungguh tanpa gairah atau greget, ketika tidak ada yang dinyanyikan dalam seluruh bagian Misa. Alasannya biar cepet, kan Misa harian. Namun menurut norma liturgi, aklamasi-aklamasi sebenarnya menduduki tingkat pertama yang semestinya dinyanyikan. Tentu tidak dilarang untuk didaraskan atau diucapkan, tetapi tetaplah yang paling ideal: dinyanyikan. Secara khusus, Alleluia atau bait pengantar Injil mesti dinyanyikan oleh petugas dan bukan imam! Bila tidak dinyanyikan, Alleluia atau Bait Pengantar Injil dilewati saja. Cukup banyak paroki yang belum mencoba semua alternatif nyanyian aklamasi-aklamasi dalam Misa. Ada paroki yang bisanya cuma satu macam aklamasi sesudah Injil atau aklamasi anamnese; yang itu itu saja. Waduh!

Merenungkan CARA MEMILIH NYANYIAN

Hari ke-6



Lima menit sebelum Misa di lingkungan, seorang Rama mendekati seseorang dan berkata: “Tolong pilih dan sekaligus pimpin nyanyian ya!” Orang itu kaget dan sebelum sempat memberi jawaban, Rama tadi sudah meninggalkannya. Lalu orang tadi langsung membuka buku Puji Syukur (PS) bagian “Pembukaan”(sekarang nyanyian “Pembuka”). Anda bisa melihat pada buku PS no. 319-338. Nah, langkah begini betul tidak? Sebagai langkah darurat, jawabannya: ya betul! Idealnya, sudah ada petugas yang telah mempersiapkan pilihan nyanyiannya.

Di bawah ini diberikan langkah-langkah memilih nyanyian untuk hari Minggu atau Hari Raya. Untuk Misa harian atau di lingkungan, pesta, ulang tahun dsb. bisa menyesuaikan langkah-langkah di bawah ini juga.

1. Membaca bacaan Injil, bacaan pertama, dan Mazmur Tanggapan. Dari bacaan-bacaan itu, carilah inti sarinya.

2. Dari inti sari itu kita lalu mencari nyanyian-nyanyian pembuka, persiapan persem bahan, komuni, dan penutup yang sesuai. Paling tidak ada satu yang sesuai dengan tema bacaan atau intisari bacaan tersebut. Untuk itu kita tidak perlu terikat dengan pengelompokkan nyanyian yang ada pada buku-buku Puji Syukur, Madah Bakti atau buku lainnya. Gunakan juga macam-macam indeks yang ada di bagian belakang buku Puji Syukur sebagai alat bantu mencari nyanyian yang sesuai tema.

3. Bisa juga – bila kesulitan dengan bacaan di atas – bacaan kedua kita pakai. Mengapa? Karena bacaan kedua pada masa biasa diurutkan begitu saja. Lain halnya bila Pesta dan Hari Raya, ketiga bacaan berhubungan.

4. Pada masa-masa khusus (Adven, Natal, Prapaska dan Paska) kita bisa saja mengambil nyanyiannya nyian pada kelompok masa biasa, asalkan sesuai dengan langkah 1-3 di atas. Demikian juga sebalik nya. Pada masa biasa, kita bisa memakai nyanyian-nyanyian pada kelompok masa khusus. Perlu diingat, pada masa Prapaskah, Alleluia tidak dinyanyikan.

5. Ada dua antifon, yaitu Antifon Pembuka dan Komuni. Kedua antifon itu bisa membantu untuk

mencari nyanyian pembuka dan komuni. Sedangkan nyanyian komuni bisa mengulangi tema mazmur

tanggapan hari yang bersangkutan. Selain catatan di atas, perlu diperhatikan: masa liturgi yang sedang dirayakan, siapa yang datang dalam perayaan Ekaristi, kemampuan umat yang berliturgi, tempat nyanyian dalam liturgi, serta lama perayaan liturginya bila semua lagu dinyanyikan.


Merenungkan RUMAH TUHAN

Hari ke-5


Bila kita masuk ke sebuah rumah, tentu kita memperhatikan ini rumah siapa, bagaimana bentuk dan jenis bangunan dan perabotannya. Kalau lantainya bagus dan bersih, kita mungkin akan melepas sepatu atau san dal kita. Nah, bila kita masuk ke gedung gereja, bukankah kita akan lebih menaruh hormat lagi? Kenapa? Ya karena gereja itu Rumah Allah, Rumah Tuhan. Memasuki ke rumah seorang pembesar atau atasan kita saja, kita sudah sangat sopan, apalagi ini memasuki Rumah Tuhan, mestinya kita lebih sopan lagi. (Gedung) gereja disebut Rumah Tuhan karena gedung tersebut telah diberkati dan dikhususkan sebagai tempat pertemuan Tuhan dan umat-Nya dan terutama karena di dalam rumah tersebut Tuhan hadir secara istimewa, yakni dalam Ekaristi Kudus. Karena gedung itu menjadi tempat dirayakannya kehadiran Tuhan dalam Ekaristi, tempat itu menjadi tempat yang kudus. Yang kudus pertama-tama adalah Tuhan sendiri yang hadir; dan selanjutnya umat Allah atau umat beriman yang berkumpul disebut juga orang-orang kudus karena mereka ambil bagian dalam kekudusan Allah sebagaimana dialami dan diterima melalui Ekaristi Mahakudus. Secara lahiriah kekudusan gereja sebagai Rumah Tuhan tampak dalam adanya Sakramen Mahakudus yang disimpan di dalam tabernakel. Apabila di tabernakel ada Sakramen Mahakudus, maka lampu abadi menyala!



Justru karena gereja adalah Rumah Tuhan, marilah kita memasuki gereja dengan penuh hormat dan khidmat. Kita mengambil air suci dengan jari-jari kita dan membuat tanda salib sambil memandang ke altar dan salib, dan menunduk. Apa arti air suci di sini? Untuk mengenangkan sakramen baptis kita! Kita melangkah menuju ke tempat duduk dengan tenang dan jangan lupa berlutut dahulu di hadapan Sakramen Mahakudus. Barulah kita duduk dan berdoa untuk mempersiapkan hati sebelum Misa dimulai.



Merenungkan MISA KOK PINDAH-PINDAH PAROKI

Hari ke-4

Ada umat yang suka mengikuti Misa di paroki lain dari pada di parokinya sendiri. Bahkan tidak hanya ke satu paroki namun mereka suka berpindah-pindah dari paroki yang satu ke paroki yang lain. Ada umat yang sama sekali tidak mau Misa di parokinya sendiri. Ada juga umat yang lebih memilih menjadi pengurus di paroki lain. Berbagai macam alasan diajukan, entah karena di paroki lain parkirnya luas, Misanya cepat, homilinya menarik, bisa bertemu umat lain dari berbagai tempat dan seribu macam alasan yang lain.

Sikap seperti ini sebenarnya kurang bijaksana. Mengikuti Perayaan Ekaristi tidak hanya sekedar selera atau karena pertimbangan senang atau tidak senang, menarik atau tidak menarik. Mengikuti Ekaristi berarti mengembangkan nilai ekklesial atau paguyuban gerejawi. Dan nilai ekklesial atau paguyuban gerejawi itu paling tampak dalam hidup berparoki. Untuk itu, kita diajak untuk mencintai paroki sendiri, mengembangkan nilai sense of belonging, rasa memiliki atau menjadi bagian paroki dimana kita tinggal. Entah paroki kita jelek atau baik, pendek kata seperti apapun keadaan paroki kita, itulah paroki yang wajib kita cintai. Mencintai yang benar biasanya bukan atas pertimbangan senang dan tidak senang, amun atas dasar kerelaan berkurban. Amat tidak pas bila Misa mingguannya di paroki lain, sedangkan urusan-urusan lain seperti kalau ada perlu (pernikahan, kematian saudara) baru di parokinya sendiri. Saat senang orang pergi ke paroki lain, saat sedih atau mempunyai kebutuhan orang baru mengadu pada tempatnya sendiri. Rasanya sikap seperti ini kurang bijaksana.

Marilah kita mencintai paroki kita masing-masing, entah sesuai atau tidak sesuai dengan selera kita. Suka dan duka paroki kita merupakan suka dan duka kita. Paroki kita adalah harta yang tak ternilai dalam kehidupan menggereja kita. Paroki kita adalah keluarga yang harus kita cintai dan kembangkan.