Bulan Katekese Liturgi Hari ke 8 - 14

Merenungkan RITUS PEMBUKA

Hari ke-8



Setelah membuat tanda salib, seorang anak usia kelas6 SD bertanya kepada ibunya, “Bu, kok Ramanya sudah kotbah, ya? Ibu sich kelamaan. Jadinya kan kita terlambat!” Ibunya kebingungan menjawab pertanyaan itu. “Adik jangan ribut, ya! Nanti dimarahi Rama, lho!” Si ibu jelas bingung karena ia tahu bahwa sebenarnya Perayaan Ekaristi baru dimulai. Tanda salib tersebut bukan tanda akhir kotbah tetapi tanda salib awal Misa Kudus. Selidik punya selidik, Ramanya ternyata suka mengawali dan mengakhir kotbah dengan tanda salib, sehingga anak itu berkomentar begitu. Tanda Salib mengawali bagian Ritus Pembuka dan tanda salib yang sama akan kita buat saat kita menerima berkat imam di akhir Misa Kudus. Secara liturgis, tanda salib yang resmi hanya sebanyak dua kali tersebut. Homili atau kotbah imam mestinya tidak perlu dibuka dan diakhiri dengan tanda salib. Memang kalau ada orang yang berulang-ulang membuat tanda salib selama Misa Kudus ya tentu tidak berdosa. Namun kebiasaan tersebut dipandang sebagai devosi pribadi.

Inti pokok makna Ritus Pembuka ialah mempersiapkan hati dan diri kita sebelum menerima Sabda Tuhan dan Ekaristi Kudus nantinya. Meski namanya Ritus Pembuka, bagian ini tetaplah penting. Jangan lalu menganggap, aah masih boleh terlambat. Ritus Pembuka itu penting, karena di situ kita diajak untuk bertobat setelah disapa dengan salam dan pengantar singkat. Menurut Pedoman Umum Misale Romawi (PUMR), pengantar semestinya pendek saja dan tidak perlu menjadi homili atau kotbah pertama. Kyrie atau Tuhan kasihanilah kami dapat diucapkan atau dinyanyikan; dan kemuliaan sebaiknya dinyanyikan pada hari Minggu dan hari raya. Ritus Pembuka diakhiri dengan Doa Pembuka yang termasuk doa presidensial; artinya hanya diucapkan oleh imam.

Merenungkan MENCIUM ALTAR

Hari ke-9

Sesaat sesudah perarakan masuk pada awal Misa Kudus, imam dan para petugas liturgi membungkuk atau berlutut di depan altar. Kalau di sana ada Sakramen Mahakudus, para petugas liturgi hendaknya berlutut; tetapi kalau tidak ada Sakramen-nya, ya cukup membungkuk yang dalam kearah altar. Sesudah itu imam menuju altar dan mencium altar. Kenapa altar dicium? Apa karena altarnya wangi? Tentu bukan karena itu. Imam mencium altar untuk menghormati altar. Altar itu dihormati karena altar adalah simbol Tuhan Yesus Kristus sendiri yang senantiasa hadir pada saat perayaan Ekaristi. Altar adalah tempat kurban Yesus Kristus yang tersalib dikenangkan dan dihadirkan kembali di tengah kita, yang kini dalam rupa roti dan anggur! Justru karena simbol Kristus sendiri, altar menjadi pusat panti imam dan bahkan pusat seluruh gedung gereja. Altar adalah meja perjamuan Tuhan, di sekelilingnya umat Allah berhimpun dan saling berbagi. Altar menjadi pusat kegiatan bersyukurnya umat. Sebagai meja perjamuan kudus, altar menjadi tempat yang sangat mulia dan perlu dihormati. Itulah sebabnya, bila kita memasuki gedung gereja dan mengambil air suci dengan jari-jari kita, hendaklah kita menghadap altar sambil membuat tanda salib. Menurut tradisi kuno, altar didirikan di atas se buah makam seorang martir atau orang kudus. Kemudian karena makam seorang martir atau orang kudus tidak selalu ada atau mudah, muncul kebiasaan untuk menempatkan relikwi salah seorang kudus di meja altar. Relikwi itu haruslah asli. Sekarang ini pemasangan relikwi tidak diharuskan, tetapi masih dianjurkan. Maka dengan mencium altar, seorang imam menyatakan hormat dan cintanya kepada Kristus dan siap bersaksi demi Kristus sampai mati seperti martir atau orang kudus yang dihormati di altar tersebut! Dengan demikian, mencium altar itu penuh makna dan bukan sekedar gaya-gayaan belaka. Sedangkan umat yang menghormati altar ingin mengikuti teladan imam yang mencium altar tersebut!

Hari ke-10
Merenungkan DOA-DOA PRESIDENSIAL


Meskipun TPE baru sudah diberlakukan selama 5 tahun,ya masih saja ada satu-dua paroki atau komunitas yang

memiliki kebiasaan: mendoakan doa-doa presidensial bersama-sama! Bahkan ada imam muda yang belum

lama tahbisan yang mengajak umat untuk mendoakan doa-doa presidensial itu. Aduh Tuhan, kasihanilah kami! Dalam hal ini biasanya bukan umatnya yang memulai, tetapi Tim Liturginya atau imamnya yang memang

sengaja melibatkan umat dalam mengucapkan doa-doa tersebut. Semoga kebiasaan ini tidak dilanjutkan

lagi, dan kita kembali pada semangat taat asas tanpa kehilangan semangat kasih dan persaudaraan.

Yang dimaksud dengan doa-doa presidensial ialah: Doa Syukur Agung atau DSA (ini yang terpokok),

lalu juga: Doa Pembuka, Doa Persiapan Persembahan, dan Doa Sesudah Komuni. Doa-doa presidensial

disampaikan oleh imam kepada Allah atas nama seluruh umat kudus dan semua yang hadir, dan melalui dia, Kristus sendiri memimpin himpunan umat. Maka doa-doa presidensial ini perlu dibawakan dengan suara lantang dan diucapkan dengan jelas oleh imam, sehingga mudah ditangkap oleh umat. Ketika imam mendoakan doa-doa presidensial ini, umat memadukan hati dan menjadikan doa ini doa dalam hati mereka.

Kritik yang biasa diajukan ialah bukankah kalau hanya didoakan umat, lalu partisipasi umat terasa kurang? Jawabannya ialah: bukankah partisipasi tidak selalu berarti serba ikut mengucapkan doa? Dan lagi bukankah sejak awal, yakni nyanyian pembuka, tanda salib, salam, doa tobat, Kyrie, Kemuliaan dst hingga akhir Misa, umat sudah sahut-sahutan gantian mengucapkan doa/nyanyian dengan imam atau petugas? Apa ya masih kurang? Bukankah ada saat tertentu seorang pemimpin harus berbicara atau membawakan tugasnya yang khas? Dan tugas membawakan doa-doa presidensial itu memang tugas khas imam yang diperoleh dari kuasa tahbisannya menurut tradisi suci Gereja!



Hari ke-11

MERENUNGKAN:

LITURGI SABDA: BACAAN HARUS KITAB SUCI


Suatu kali dalam sebuah EKM (Ekaristi Kaum Muda), bacaan pertama diganti dengan puisi Kahlil Gibran! Banyak anak muda yang senang, tetapi beberapa juga bertanya-tanya: bolehkah bacaan Misa diganti dengan bacaan yang non-Kitab Suci! Jawaban Gereja resmi mantap sekali: tidak boleh! Norma liturgi menyatakan bahwa saat bacaan Misa umat mendengarkan Sabda Allah. Nah yang diakui resmi sebagai Sabda Allah kan hanya Kitab Suci? Maka yang harus dibacakan juga mesti kutipan dari Kitab Suci. Melalui OLM (Ordo Lectionum Missae), Gereja mengatur agar dalam waktu 3 tahun, umat dapat mendengarkan Sabda Tuhan dari hampir seluruh bagian Kitab Suci. Untuk hari Minggu dan hari raya, bacaan-bacaan dibagi ke dalam tahun A, B, dan C.

Cara menghitungnya mudah sekali: tahun yang habis dibagi 3 pasti tahun C. Tahun 2010 ini dapat habis dibagi 3, makanya tahun ini tahun C. Lalu tahun A dan B tinggal menghitung dari sana; artinya tahun 2011 pasti tahun A, tahun 2012 pasti tahun B.

Bagaimana kalau kita mempunyai bacaan yang bagus untuk renungan di luar Kitab Suci? Ya silahkan saja memasukkannya, tetapi ya jangan sebagai bacaan Misa. Bukankah bacaan yang non-Kitab Suci itu bisa dibacakan saat pengantar? Atau saat homili? Atau saat pengantar sebelum berkat? Begitu pula peragaan!

Peragaan jangan pernah untuk mengganti bacaan Kitab Suci, apalagi bacaan Injil! Peragaan boleh saja asalkan dipersiapkan dan memang sesuai tema, tetapi ditempatkan sesudah Injil, katakanlah sebagai bagian dari renungan dan homili. Ini semua mengabdi pada satu tujuan: agar Misteri Paskah atau karya keselamatan Tuhan benar-benar dirayakan dan dihadirkan kepada umat sesuai dengan apa yang telah ditentukan dengan cermat oleh Gereja, dan bukan oleh selera masing-masing orang!

Catatan Redaksi:
Seringkali terjadi di beberapa paroki yang memotong bacaan hari Minggu atau Hari Raya yang seharusnya 3 bacaan, menjadi 2 bacaan saja, yakni salah satu bacaan oleh lektor, dan bacaan Injil oleh imam. Hal itu sebenarnya tidak diperbolehkan, dan tidak dianjurkan. Maka praktik salah satu atau beberapa paroki tidak serta merta lalu membuat aturan itu berubah dari tidak boleh lalu menjadi boleh, seolah praktik itu melegitimasikan praktik-praktik lanjutan serupa.

Anjuran: Sebaiknya setia ikuti aturan baku yang sudah jelas, sekalian untuk mendidik umat bahwa beribadat pada hari Minggu itu bukan hanya sekedar memenuhi target atau hukum lalu praktiknya disederhanakan sesuai dengan keinginan kita. Kita perlu belajar mempersembahkan seluruh waktu dan perhatian kita hari itu untuk Hari Tuhan itu. Jadi membiasakan diri beribadat serba tergesa dengan alasan praktis demi waktu, dll - adalah tidak mendidik hati dan iman umat untuk memuliakan Tuhan dengan segenap hati, segenap tenaga, akal budi, dan tentu saja akhirnya waktu.


Merenungkan MAZMUR TANGGAPAN DAN BAIT PENGANTAR INJIL

Hari ke-12



Setelah membacakan bacaan pertama dan Mazmur Tanggapan dalam Misa harian di sebuah paroki, lektor atau petugas langsung turun dari mimbar, dan imam menyanyikan Bait Pengantar Injil (BPI) atau Alleluia. Praktek ini sebenarnya kurang tepat. Yang bertugas menyanyikan BPI atau Alleluia mestinya adalah petugas dari paduan suara atau lektor itu sendiri dan bukan imam. Sebab ternyata masih ada yang berpandangan bahwa menyanyikan BPI atau Alleuia itu tugas imam, padahal sebenarnya bukan tugas imam.

Pertama kita pahami dahulu Mazmur Tanggapan. Mazmur Tanggapan umumnya telah disediakan dalam Buku Bacaan Misa atau Lectionarium. Pada hari Minggu atau hari raya dianjurkan agar Mazmur Tanggapan ini dinyanyikan, sekurang-kurangnya bagian ulangan (refren) yang dibawakan oleh umat. Mazmur tanggapan ini bersifat menanggapi Sabda Allah yang baru saja didengarkan. Dari bobotnya yang merupakan bagian dari Kitab Suci, Mazmur Tanggapan sangatlah unggul, oleh karena itu jangan mudah menggantikan Mazmur Tanggapan dengan lagu-lagu lain, apalagi lagunya tidak biblis. Mazmur Tanggapan ini bukan sekedar selingan atau ‘jeda’ dari bacaan pertama dan bacaan lainnya.

Berikutnya: Bait Pengantar Injil (BPI) atau Nyanyian Alleluya.

BPI atau Alleluia tidak untuk menanggapi bacaan sebelumnya. Bait Pengantar Injil atau Alleluya justru mempersiapkan hati umat untuk menyambut Yesus Kristus yang hadir dan bersabda melalui warta Injil. Umat Allah diajak berdiri untuk menyampaikan hormat atas ‘pemenuhan sabda’ yang diwartakan pada Injil. Bila ada perarakan Kitab Injil, selama Alleluya dinyanyikan, diakon tertahbis atau imam mengarak Kitab Injil dari altar ke mimbar dengan agung dan khidmat, sementara misdinar mendupai Kitab Injil tersebut. Akan tetapi, apabila Bait Pengantar Injil atau Alleluya tidak dinyanyikan, maka dilewati saja, diakon tertahbis atau imam langsung membuka pembacaan Injil dengan dialog pembuka Injil. Praktek yang salah ialah: kata Alleluya pada BPI itu dibaca saja dan bukan dinyanyikan. Dari sononya Alleluya selalu dinyanyikan!


Merenungkan HOMILI DALAM MISA BUKAN TUGAS AWAM

Hari ke-13



Ada seorang katekis awam yang diminta oleh imam untuk memberikan homili pada Misa Hari Raya Kenaikan Tuhan. Mengawali homilinya katekis itu menceritakan pengalamannya saat mengajar calon baptis. Ia bertanya, “Para calon baptis yang terkasih, setelah Yesus bangkit dari mati, Ia naik ke mana?” Seorang ibu cepat sekali mengangkat tangannya dan menjawab: “Ke atas pohon pak”. Dan cerita ini membuat umat tertawa. Suasana menjadi segar dan cair. Homili disampaikan secara menarik oleh bapak katekis tersebut.

Pertanyaan kita sederhana saja: Bolehkah awam menyampaikan homili dalam Misa atau Perayaan Ekaristi?

Pedoman Umum Misale Romawi (disingkat: PUMR) dari Tahta Suci menyatakan:

Homili merupakan bagian liturgi dan sangat dianjurkan, sebab homili itu penting untuk memupuk semangat hidup Kristen. Homili itu haruslah merupakan penjelasan tentang bacaan dari Alkitab, ataupun penjelasan tentang teks lain yang diambil dari ordinarium atau proprium Misa hari itu, yang bertalian dengan misteri yang dirayakan, atau yang bersangkutan dengan keperluan khusus umat yang hadir (no.65).

Pada umumnya yang memberikan homili ialah imam pemimpin perayaan. Ia dapat menyerahkan tugas ini kepada salah seorang imam konselebran, atau kadang-kadang, tergantung situasi, kepada diakon, tetapi tidak pernah kepada seorang awam.

Dalam kesempatan-kesempatan tertentu atau karena alasan khusus, tugas homili bahkan dapat diberikan kepada seorang uskup atau imam yang hadir dalam perayaan Ekaristi tetapi tidak ikut berkonselebrasi (no.66).

Dengan demikian, awam tidak boleh berhomili dalam Misa Kudus. Lha pada kesempatan khusus misalnya Misa ulang tahun perkawinan, apakah pasutri boleh menyampaikan sharing pengalaman hidup berkeluarganya pada kesempatan homili? Ya boleh saja, akan tetapi sharing tersebut harus ditempatkan dalam suatu homili oleh imam itu. Misalnya imam mengawali dan kemudian menutup sharing pasutri tersebut dengan penegasan dan ajaran iman sebagai pewartaan Sabda Allah.



Merenungkan DOA UMAT YANG KONTEKSTUAL

Hari ke-14



Dari tahun ke tahun, isi maupun rumusan doa umat dalam Perayaan Ekaristi hari Minggu di banyak paroki tidak berubah. Perubahan terjadi hanya apabila tahun liturginya berubah. Penyebabnya tiada lain karena petugas hanya mengambil rumusan doa yang telah tersedia dalam buku Doa Umat atau buku Misa Hari Minggu dan Hari Raya yang tebal itu. Padahal buku tersebut dibuat puluhan tahun yang lalu dengan konteks waktu itu. Kalau begitu doa umat tersebut cenderung menjadi acara ritualisme atau formalisme belaka, tidak relevan dengan keadaan zaman atau konteks hidup sekarang.

Doa Umat merupakan bagian Liturgi Sabda dalam Perayaan Ekaristi yang justru dapat disesuaikan dengan situasi konkret dan aktual umat saat ini. Inilah kesempatan bagi Tim Liturgi Paroki untuk berkreasi membuat doa yang kontekstual, sehingga segala suka-duka, kegembiraan dan keprihatinan umat dan masyarakat dapat terungkap di situ. Oleh karena itu, marilah Tim-tim liturgi berani membuat Doa Umat yang baik dalam Misa Kudus. Bagaimana menyusun Doa Umat yang kontekstual? Tentu kita harus mengenal keprihatinan Gereja, masyarakat dan paroki kita sendiri. Lalu dari sana kita susun doa umat dengan urutan, misalnya sesuai dengan Pedoman Umum Misale Romawi:

1. Doa untuk Gereja, khususnya para pemimpin Gereja dan dapat juga seluruh umat beriman.

2. Doa untuk masyarakat, misalnya para pemimpin masyarakat dan rakyat pada umumnya

3. Doa untuk mereka yang sedang menderita, misalnya orang-orang kecil, lemah, miskin, tersingkir, korban bencana alam dsb.

4. Doa untuk paroki atau komunitas kita sendiri, termasuk umat yang hadir dalam perayaan Ekaristi. Pada akhir, Doa Umat dapat diisi kesempatan untuk doa pribadi sejenak. Urutan di atas terutama untuk Doa Umat pada Misa Minggu dan Hari Raya. Tetapi untuk keperluan Misa Khusus, susunan dan urutan doanya dapat disesuaikan.

Sumber: BKL 2010 Komisi Liturgi KAS.